SISTEM
EKONOMI DALAM AGAMA ISLAM
MAKALAH
Untuk
memenuhi tugas matakuliah
Pendidikan
Agama Islam
Yang
dibina oleh Bapak Syafa’at S.Ag, M.Ag
Oleh
Danang Setiawan (130731607240)
Dwi Lidiawati (130731615709)
Dyah Anis (130731607244)
Fahat Akbar (130731615707)
Fahmi Nadzar (130731616736)
Faisal Fahmi Mohammad (130731607282)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
UCAPAN
TERIMAKASIH
Puja dan puji
syukur kehadirat Allah swt, yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya kepada
penulis, sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sistem Ekonomi
Dalam Agama Islam” ini. Dalam makalah ini, penulis mengangkat masalah yang
sering menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat.
Ucapan terima kasih selanjutnya, penulis mengucapkan
terima kasih kepada bapak Syafa’at selaku dosen yang telah membimbing
matakuliah Pendidikan Agama Islam. Kemudian kepada semua pihak yang membimbing
dan memberikanan pengarahan selama penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat
kekurangan-kekurangan dalam makalah ini, maka penulis mengharapkan kritik dan
saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Malang,
28 Pebruari 2014 Penulis
DAFTAR ISI
UCAPAN TERIMAKASIH................................................................................................. i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................... 2
1.3 Tujuan........................................................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Pembahasan
sistem ekonomi islam............................................................................... 3
2.2 pembahasan
tentang jual beli dalam islam.................................................................... 4
2.3
hukum Riba ............................................................................................................... 12
2.4
Bunga Bank............................................................................................................... 13
2.5
Valuta Asing.............................................................................................................. 17
BAB
III PENUTUP
3.1
Simpulan................................................................................................................... 21
3.2
Saran......................................................................................................................... 23
DAFTAR
RUJUKAN......................................................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sistem ekonomi
dalam islam membahas masalah-masalah yang menimbulkan pro dan kontra dalam
masyarakat untuk masa modern seperti sekarang. Karena sebagai contoh rentenir.
Memang ia dengan dali memberi pinjaman untuk orang yang membutuhkan. Banyak
orang yang berpendapat bahwa rentenir itu membantu dalam masalah orang yang
meminjam tadi, namun menurut agama Islam hal itu termasuk riba karena memberi
bunga yang cukup besar sehingga malah membebani orang yang dibantu. Itulah
salah satu contoh pentingnya mempelajari sistem ekonomi dalam agama islam agar
kita tidak salah dalam menanggapi masalah ekonomi yang sangat komplek pada masa
sekarang ini. Bunga bank yang kita lakukan sehari-hari. Apakah itu boleh atau
tidak menurut agama islam.
Kaidah-kaidah
dalam ekonomi islam tidak memperkenankan adanya riba, maisir, dan spekulasi.
Sistem ekonomi dalam islam, tidak terlepas dari ajaran agama islam yang
intergral dan komprehensif. Sehingga konsep-konsep dalam ekonomi islam mengacu
pada sistem syariat agama islam. Mempelajari ekonomi islam adalah agar tidak
berbenturan dengan peraturan-peraturan dalam agama islam yang menyangkut
kegiatan perekonomian.
Sistem Keuangan Islam merupakan
bagian dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi Islam. Sistem keuangan Islam
bukan sekedar transaksi komersial, tetapi harus sudah sampai kepada lembaga
keuangan untuk dapat mengimbangi tuntutan zaman. Bentuk sistem keuangan atau
lembaga keuangan yang sesuai dengan prinsip Islam ádalah terbebas dari unsur
riba. Kontrak keuangan yang dapat dikembangkan dan dapat menggantikan sistem
riba adalah mekanisme syirkah yaitu : musyarakah dan
mudharabah (bagi hasil).
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh ibnu
roshe dari Dr. Yusuf Qordhowi, pakar Islam kontemporer dalam karyanya “Daurul
Qiyam wal akhlaq fil iqtishod al-Islamy” menjelskan empat ciri ekonomi
Islam, yaitu ekonomi robbani, ekonomi akhlaqy, ekonomi insani dan ekonomi
wasati.
Keempat ciri tersebut mengandung pengertian bahwa
ekonomi Islam bersifat robbani, menjunjung tinggi etika, menghargai hak-hak
kemanusiaan dan bersifat moderat.
Maka dari itu,
sangat menarik bagi penulis membahas masalah sistem ekonomi dalam agama islam,
yang sangat menguntungkan dan sangat sedikit sekali nilai kerugiannya. jika
dipraktekkan dengan benar. Dan yang terpenting adalah agar kegiatan ekonomi
yang dilakukan tidak berbenturan dengan ajaran dalam agama islam.
1.2
Rumusan Masalah
Dari uraian
latar belakang di atas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa
sistem ekonomi dalam agama islam itu?
2.
Apa
sebenarnya hyar itu dan bagaimana hukum
jual beli dalam agama islam?
3.
Bagaimana
hukum riba dalam agama Islam?
4.
Bagaimana
hukum dan syariatnya bunga bank dalam agama islam?
5.
Bagaimana
masalah penerapan valuta asing dalam pandangan islam?
1.3
Tujuan
Dari ulasan
latar belakang dan rumusan masalah di atas dapat disimpulkan tujuan sebagai
berikut:
1.
Mengetahui
sistem ekonomi dalam agama islam
2.
Mengetahui
masalah hyar dan hukum jual beli dalam agama islam
3.
Mengetahui
hukum riba dalam agama islam
4.
Mengetahui
hukum dan syariat masalah bunga bank dalam agama islam
5.
Mengetahui
masalah valuta asing dalam pandangan islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sistem ekonomi islam
بسم الله الرحمن الرحيم
Sistem ekonomi
islam adalah sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari al
qur’an dan sunnah dan merupakan bangunan perekonomian yang didirikan diatas
landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan kondisi lingkungan dan masa
tertentu. Dalam sistem ekonomi islam mencakup tiga asas yaitu mencakup
penjelasan mengenai bagaimana memperoleh harta kekayaan (al malkiyah),
bagaimana mengelola hasil kekayaan (tasyarruf fil milkiyah), dan bagaimana
mendistribusikan kakayaan yang telah ada (tauziul tsarwah bayanaan-naas).
Allah memperbolehkan manusia memiliki suatu kepemilikan, namun kepemilikan yang
di maksud tersebut tidak akan lepas dari izin Allah Swt (As syari’),
sehingga dalam hal pemilikan yang telah didapat bukan hanya karena benda
tersebut, ataupun hanya karena orang yang berusaha mendapatkan barang tersebut,
akan tetapi lebih kepada karena adanya izin yang diberikan Allah Swt untuk
memiliki zat atau benda tersebut.
Beberapa firman
Allah yang menyatakan tentang ekonomi atau hak kepemilikan antara lain: QS.
An-nnur:33, QS Al-hadid:7, QS Nuh:12, QS An-nisaa’:6, QS Albaqoroh:275, QS
At-taubah:24, QS Al-lail:11 dan lain-lainnya.
Ilmuan
sekalipun menyatakan bahwa agama berpengaruh dalam hal ekonomi. Seperti Max
Weber dalam bukunya the protestant ethic and the spirit of capitalism
menuliskan bahwa ada hubungan antara (ajaran-ajaran) agama dan etika kerja,
atau antara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi. Penerapan sistem
ekonomi islam yang benar merupakan bagian dari ibadah muamalah. Di Indonesia
sendiri sistem ekonomi islam yang khas diterapkan adalah ekonomi dengan
koperasi. Apakah sistem ekonomi pancasila itu sama dengan sistem ekonomi dalam
agama islam. Yang paling mendekati dengan nilai-
nilai ajaran islam adalah koperasi yang diterapkan di Indonesia
yang telah di lakukan sejak dahulu di Indonesia.
2.2 Jual Beli
2.2.1Pengertian Jual Beli
Secara
etimologis, jual beli menurut bahasa berarti al-bai’, al-tijarah, dan al-mubadalah
atau berarti menukar/mengganti sesuatu dengan sesuatu. Sedangkan menurut
istilah syara’, jual beli adalah
menukar barang dengan barang lain untuk saling memiliki dengan adanya kerelaan.
Menurut hukum
syariat, jual beli memiliki pengertian tukar-menukar harta dengan harta, dengan
tujuan memindahkan kepemilikan, dengan menggunakan ucapan ataupun perbuatan
yang menunjukkan adanya transaksi jual beli, dengan demikian, transaksi jual
beli memiliki hubungan dengan harta. Adapun harta yang dimaksud dapat berupa
aktiva, hak kekayaan intelektual, dan hak manfaat.
2.2.2 Hukum Jual Beli
Jual beli dalam islam hukumnya boleh dengan catatan atas dasar suka
sama suka antara penjual dan pembeli bukan karena unsur keterpaksaan dan tidak
bertentangan dengan hukum-hukum yang telah disyariatkan oleh Islam. Allah SWT
berfirman :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”
(QS. Al-Baqarah :275).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29)
“janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan jalan yang
batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka
sama suka diantara kalian...” (QS.An-Nisa’:29)
Kutipan ayat Alquran diatas menunjukkan bahwa Allah menghalalkan
umatnya untuk mencari karunia Allah SWT di dunia dengan jalan yang
diridhoi-Nya, termasuk jual beli.
2.2.3 Syarat sah jual beli
Syarat sah jual beli menurut islam adalah sebagai berikut:
1.
Sama-sama
rela baik penjual maupun pembeli.
2.
Bahwa
boleh melakukan transaksi, yaitu dengan syarat keduanya orang yang merdeka,
mukallaf, dan cerdas
3.
Yang
dijual adalah yang boleh diambil manfaatnya secara mutlak (absolut). Tidak
boleh menjual yang tidak ada manfaatnya, dan tidak boleh yang diharamkan oleh
agama seperti miras, daging babi.
4.
Yang
dijual adalah milik dari penjual, atau diijinkan menjualnya
saat transaksi
5.
Yang
dijual sudah diketahui kedua belah pihak baik penjual maupun pembeli yang
melakukan transaksi dengan melihat atau dengan sifat-sifatnya
6.
Harganya
sudah diketahui
7.
Yang
dijual itu barang yang bisa diserahkan, bukan yang masih belum ada
2.2.4 Rukun Jual Beli
Rukun jual beli dalam islam
adalah sebagai berikut:
1.
Akad,
yaitu ikatan antara penjual dan pembeli
2.
Ada
penjual
3.
Ada
pembeli
4.
Ada Barang yang diperjual belika
2.2.5
Jenis Jual beli
Ada beberapa jenis Jual beli yang dilarang oleh agama islam
1.
Barang
yang dihukumkan najis oleh agama seperti anjing, babi, khamr
2.
Jual
beli anak binatang yang masih berada didalam perut induknya
3.
Jual
beli dengan munabadzah yaitu jual beli secara lempar-melempar
4.
Jual
beli dengan mukhadharah yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas
untuk dipanen
5.
Jual
beli setelah panggilan adzan sholat jum’at
6.
Jual
beli barang yang belum diterima, seorang muslim tidak boleh membeli suatu
barang kemudian menjualnya padahal ia menerima barang dagangan tersebut, karena
dalil-dalil berikut: Sabda Rasulullah SAW “Jika
engkau membeli sesuatu, engkau jangan menjualnya hingga engkau menerimanya.”
(H.R. Tabrani). Sabda Rasulullah SAW, “Barang
siapa membeli makanan, ia jangan menjualnya hingga menerimanya.” (H.R. Al
Bukhari).
7.
Jual
beli seorang muslim dari muslim lainnya, seorang muslim tidak boleh jika
saudara seagamanya telah membeli suatu barang seharga lima ribu rupiah
misalnya, kemudian ia berkata kepada penjualnya. “Mintalah kembali barang itu,
dan batalkan jual belinya, karena aku akan membelinya darimu seharga enam
ribu,’ karena Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah
sebagian dari kalian menjual di atas jual beli sebagian lainnya,” (H.R.
Muttafun ‘alaih).
8.
Jual
beli najasy, seorang muslim tidak
boleh menawar suatu barang dengan harga terentu padahal ia tidak ingin
membelinya, namun ia berbuat seperti itu agar di ikuti para penawar lainnya
kemudian pembeli tertarik membeli barang tersebut. Seorang muslim juga tidak
boleh berkata kepada pembeli yang ingin membeli suatu barang, “Barang ini di
beli dengan harga sekian”. Ia berkata bohong untuk menipu pembeli tersebut, ia
bersekongkol dengan penjual atau tidak, karena Abdullah bin Umar Ra berkata,
“Rasulullah SAW melarang jual beli najasyi.” Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah
kalian saling melakukan jual beli najasy.” (H.R. Muttafaqun ‘alaih).
9.
Jual
beli barang-barang haram dan najis, seorang muslim tidak boleh menjual
barang-barang yang menjurus kepada haram. Jadi ia tidak boleh menjual minuman
keras, babi, bangkai, berhala, dan anggur yang hendak dijadikan minuman keras,
karena dalil-dalil berikut: sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli minuman keras, bangkai, babi,
dan berhala.” Rasulullah SAW bersabda “Barangsiapa
menahan anggur pada hari-hari panen untuk ia jual kepada orang Yahudi, atau
oarng Kristen atau orang yang akan menjadikannya sebagai minuman keras, sungguh
ia menceburkan diri ke neraka dengan jelas sekali.”a (H.R Muttafaqun ‘alaih).
10.
Jual
beli gharar. Orang muslim tidak boleh
menjual sesuatu yang di dalamnya terdapat gharar (ketidakjelasan). Jadi ia
tidak boleh menjual ikan di air, atau menjual bulu di punggung kambing yang
masih hidup, atau anak hewan yang masih dalam perut induknya atau buah-buahan
yang masih belum masak, biji-bijian yang belum mengeras atau menjual barang
tanpa kejelasan sifatnya. Sabda Rasulullah SAW, “Janganlah kalian membeli ikan di air, karena itu gharar.” (H.R.
Muttafaqun ‘alaih).
11.
Jual
beli dua barang dalam satu akad, seorang muslim tidak boleh melangsungkan dua
jual beli dalam satu akad, namun ia harus melangsungkan keduanya
sendiri-sendiri, karena di dalamnya terdapat ketidakjelasan yang membuat orang
muslim lainnya tersakiti atau memakan hartanya dengan tidak benar. Dua jual
beli dalam satu akad mempunyai banyak bentuk, misalnya penjual berkata pada
pembeli, aku jual barang ini kepadamu seharga sepuluh ribu kontan arau lima
belas ribu sampai waktu tertentu (kredit).” Setelah itu akad jual beli
dilangsungkan dan penjual tidak menjelaskan jual beli manakah (kontan atau
kredit) yang ia kehendaki.
12.
Jual
beli urbun (uang muka), seorang muslim tidak boleh melakukan jual beli urbun,
atau mengambil uang muka secara kontan, karena diriwayatkan bahwa Rasulullah
SAW melarang jual-beli urbun (Imam Malik dalam Al Muwatha). Tentang jual
beli urbun, Imam Malik menjelaskan bahwa jual beli urbun ialah seseorang
membeli sesuatu atau menyewa hewan, kemudian berkata kepada penjual, “engkau
aku beri uang satu dinar dengan syarat jika kau membatalkan jual beli, maka aku
tidak memberimu uang sisanya.”
13.
Menjual
sesuatu yang tidak ada pada penjual, seorang muslim tidak boleh menjual sesuatu
yang tidak ada padanya atau sesuatu yang belum dimilikinya, karena hal tersebut
menyakiti pembeli yang tidak mendapatkan barang yang dibelinya. Rasulullah SAW
bersabda: “Janganlah engkau menjual
sesuatu yang tidak ada padamu.” (H.R. Tarmizi).
14.
Jual
beli utang dengan utang, seorang muslim tidak boleh menjual utangdengan utang,
karena itu menjual barang yang tidak ada dengan barang yang tidak ada pula dan
Islam tidak membolehkan jual beli seperti itu. Contohnya, Anda mempunyai
piutang dua kwintal beras pada orang lain yang akan dibayar pada suatu waktu,
kemudian Anda menjualnya kepada orang lain sehingga seratus ribu sampai waktu tertentu.
15.
Jual
beli Inah, seorang muslim tidak boleh
menjual suatu barang kepada orang lain dengan kredit, kemudian ia membelinya
lagi dari pembeli dengan harga yang lebih murah, karena jika ia menjual barang
tersebut kepada pembeli seharga sepuluh ribu rupiah, kemudian ia membelinya
dari pembeli yang sama seharga lima ribu rupiah, maka itu seperi orang yang
meminjam uang lima ribu rupiah dan meminta dikembalikan sebanyak sepuluh ribu rupiah. Hal seperti ini riba
nasi’ah yang diharamkan al-Qur’an dan al-Hadits.
16.
Jual
beli Musharah, seorang muslim tidak
boleh menahan susu kambing, unta atau lembu selama berhari-hari agar susunya
terlihat banyak, kemudian manusia tertarik membelinya dan ia pun
menjual-belikannya. Cara penjualan seperti ini merupakan kebatilan karena
mengandung penipuan.
Ada beberapa jenis jual beli yang diperbolehkan oleh islam
yang dapat dibedakan antara lain sebagai berikut.
1.
Murabahah
Akad jual beli
terjadi ketika harga dan keuntungan disepakati antara penjual dan pembeli,
jenis dan jumlah barang dijelaskan dengan rinci, barang diserahkan setelah akad
jual beli, dan pembayaran bisa dilakukan secara berangsur-angsur atau tunai
2.
Salam
(Kredit atau pinjaman modal)
Jual beli salam
adalah jual beli yang dilakukan dengan pemesanan dengan cara pembeli memberikan
uang terlebih dahulu kepada penjual, kemudian barang dikirim setelahnya
3.
Istishna’
(pemesanan spesifik)
Transaksi ini
dilakukan dengan cara pembeli memesan pembuatan barang sesuai spesifikasi yang
diinginka nya. Setelah itu, barang dibuat oleh
penjual sesuai keinginan pembeli dan pembayaran dilakukan
setelah barang diterima oleh pembeli
4.
Ijarah
Pengertian dari
jual beli ini adalah akad sewa menyewa barang untuk memperoleh manfaat atas
barang yang disewa, baik untuk yang menyewa maupun untuk yang menyewakan
5.
Bai’ Almuthlaq
Jual beli
semacam ini dilakukan dengan transaksi jual beli pada umumnya yaitu pertukaran
barang dengan uang.
6.
Muqayyad
Jual beli ini bisa
dikatakan sebagai barter. Jual beli semacam ini dilakukan sebagai jalan keluar
bagi ekspor yang tidak dapat menghasilakan mata uang asing.
7.
Sharf
Jual beli ini
adalah antara dua mata uang asing yang berbeda. Jual beli ini sesuai
dengan nilai kurs yang berlaku pada saat transaksi
8.
Bai’ Al Murabahah
Jual beli ini
dilakukan antara penjual dan pembeli dengan kesepakatan. Pembeli memesan barang
lewat perantara dan perantara menetapkan keuntungan
yang diperolehnya dan harga barang yang di pesan kepada pembeli.
2.2.6 Hukum jual beli kredit
Jual beli kredit adalah jual beli yang dilakukan dengan penjual
memberikan tempo waktu tertentu kepada pembeli untuk melunasi barang yang
diperjual belikan. Jual beli kredit adalah gambaran
dari penjualan nasi’ah. Hukumnya boleh. Jual beli nasi’ah ditempokan
untuk satu tempo, dan jual beli kredit ditempokan untuk beberapa waktu.
Syarat
syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli kredit yaitu
1. Harga harus disepakati di awal transaksi meskipun pelunasannya dilakukan
kemudian
2. Tidak boleh diterapkan sistem perhitungan bunga apabila pelunasannya
mengalami keterlambatan
3. Pembayaran cicilan disepakati oleh penjual dan pembeli dan waktu
pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari praktek bai’ gharar (penipuan)
Hukum jual beli via internet (E-commerce)
Jual beli via internet adalah
penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran
barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet. Jual beli via internet dapat melibatkan transfer dana elektronik, pertukaran data
elektronik, dan sistem pengumpulan data otomatis.
Jual beli online diperbolehkan menurut Islam selama tidak mengandung unsur-unsur
yang dapat merusaknya seperti riba, kezhaliman, penipuan, kecurangan dan yang
sejenisnya serta memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat dalam jual beli.
Langkah-langkah yang dapat
kita tempuh agar jual beli online diperbolehkan dalam islam
1. Barang yang dijual adalah barang
yang halal sebagaimana yang ditegaskan didalam hadits : “Sesungguhnya bila Allah telah mengharamkan atas suatu kaum
untuk memakan sesuatu, pasti Ia mengharamkan pula hasil penjualannya.” (HR
Ahmad, dan lainnya)
2. Kejelasan status
penjual dan pembeli dan kejelasan status kepemilikan barang apakah barang yang
dijual milik sendiri atau sebagai perwakilan pemilik barang tersebut
3. Harga dengan
kualitas barang yang diperjual belikan harus sesuai
4. Jujur dalam
melakukan transaksi jual beli
2.2.7 Pengertian Khyar Dan Hukum Jual Beli Dalam Agama Islam
Khiyar dan Hukumnya dalam Jual Beli
Khiyar
(hak pilih) dalam jual beli itu di syariatkan dalam masalah-masalah
berikut ini;
a.
Jika
penjual dan pembeli masih berada di suatu tempat dan belum berpisah, maka
keduanya mempunyai khiyar (hak pilih)
untuk melakukan jual beli, atau membatalkannya karena Rasulullah SAW bersabda:
“Pembeli dan penjual itu dengan khiyar,
jika keduanya jujur dan menjelaskan, keduanya diberkahi dalam jual belinya. Dan
jika keduanya saling merahasiakan dan berbohong, keberkahan jual belinya
dihapus.” (H.R. Abu Dauddan Al Hakim).
b.
Jika
salah satu dari pembeli dan penjual mensyaratkan khiyar (hak pilih) itu
berlaku untuk waktu tertentu kemudian keduanya menyepakatinya, maka keduanya
terikat dengan khiyar (hak pilih) tersebut hingga waktunya habis,
kemudian jual beli dilakukan, karena Rasulullah SAW bersabda: “Kaum Muslimin itu berada di atas persyaratan
mereka.” (H.R. Abu Daud Al-Hakim).
c.
Jika
penjual menipu pembeli dengan penipuan kotor dan penipuan tersebut mencapai
sepertiga lebih, misalnya menjual sesuatu yang harganya sepuluh ribu dengan
lima belas ribu, atau dua puluh ribu, maka pembeli diperbolehkan membatalkan
jual beli atau membeli dengan harga standar, karena Rasulullah SAW bersabda
kepada orang yang menipu dalam jual beli karena kurang waras, barangsiapa yang
engkau beli, maka katakan, “tidak ada penipuan” (H.R. Al Bukhari). Jika
terbukti penjual menipu, maka pembeli menemuinya dan meminta pengembalian
kelebihan harga, atau membatalkan jual-beli.
d.
Jika
penjual merahasiakan barang dagangan, misalnya ia keluarkan yang baik dan
merahasiakan yang jelek, atau memperlihatkan yang bagus dan menyembunyikan yang
rusak, maka pembeli mempunyai khiyar untuk
membatalkan jual beli, atau melangsungkannya, karena Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian menahan susu unta dan
kambing, barangsiapa membelinya maka ia mempunyai khiyar di antara dua hal
(melangsungkan akad jual beli atau membatalkannya) setelah ia memerah susunya.
Jika ia mau maka menahannya (tetap memilikinya) dan jika ia mau maka
mengembalikannya dengan satu sha’ kurma.” (H.R. Muttafaqun ‘alaih).
e.
Jika
terlihat cacat pada barang yang mengurangi nilainya dan sebelumnya tidak
diketahui pembeli dan ia ridha dengannya ketika proses tawar menawar, maka
pembeli mempunyai khiyar (hak pilih)
antara mengadakan jual beli atau membatalkannya, karena Rasulullah SAW
bersabda: “Seorang Muslim tidak
dihalalkan menjual sesuatu barang didalamnya terdapat cacat kepada saudaranya
tersebut.” (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah).
f.
Jika
penjual dan pembeli tidak sepakat tentang harga suatu barang atau sifatnya,
maka keduanya bersumpah kemudian keduanya mempunyai khiyar antara melangsungkan akad jual beli atau membatalkannya,
karena diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika penjual dan pembeli tidak sepakat, sedang barang dagangannya ada
dan tidak ada bukti, maka keduanya bersumpah.” (H.R. Al Hakim).
2.3 HUKUM RIBA
2.3.1 Pengertian Riba
Riba dalam bahasa Arab berarti tambahan, walaupun sedikit, melebihi
daripada modal pokok yang dipinjamkan, dan yang demikian itu keduanya termasuk
riba dan bunga. Ibn’ Hajar Askalani mengatakan bahwa, inti riba adalah
kelebihan dalam bentuk barang maupun uang, seperti dua rupiah sebagai penukaran
satu rupiah. Dan hukum untuk riba adalah haram, ini seperti disebutkan dalam
salah satu firman Allah yang berbunyi “ Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”. Karena perbuatan yang dikutu oleh Allah dan sebagai
perbuatan untuk teman-teman setan, selain itu menjadikan kesusahan bagi pihak
lain.
Pada zaman sebelum agama Islam datang di Arab banyak sekali bisnis
peminjaman yang didalamnya terdapat praktek riba. Menurut Abu Bakar Jassas
bahwa pada zaman pra-Islam banyak yang mengadakan kontrak pinjaman dengan orang
lain, diantara pihak-pihak yang terlibat akan bersepakat dalam sejumlah uang
tertentu yang dibayarkan oleh peminjam yang melebihi pinjaman pokok setelah
melewati periode waktu tertentu. Suatu kajian yang cermat menurut riba bahwa
riba tidak sama dengan bunga yang tinggi tetapi semua termasuk kelebihan diatas
dan di atas modal yang dipijamkan.
2.3.2 Macam-Macam Riba
Dari yang kita
ketahui bahwa hukum untuk Riba adalah Haram. Namun ternyata praktek ekonomi ini
sudah ada sejak agama Islam ada, khususnya di daerah Arab seperti yang telah
dijelaskan di atas. Dari definisi riba diatas riba dapat kita klasifikasikan
menjadi dua kelompok, yaitu:
1 Riba Nasi’a.
Riba jenis bisa
dikatakan sebagai riba paling populer/ terkenal pada zaman kehidupan Nabi
Muhammad SAW. Menurut Afzalul Rahman (2002:86)
riba ini dapat ditemukan di semua jenis transaksi kredit di mana suatu
pinjaman diberikan kepada seseorang dan setiap bulan membayar pinjaman pokok
tersebut melebihi dari jumlah pinjaman pokok. Namun apabila masa peminjaman
telah habis maka pemberi pinjaman akan meminta kembali pinjaman pokoknya, dan
apabila pembeli tidak dapat membayar, maka pemberi pinjaman akan membrikan akan
memperpanjang peminjaman dengan syarat bahwa peminjam harus membayar sejumlah
uang yang telah ditentukan saat transaksi.
2.Riba
al-Fadl
Riba jenis
tidak hanya terkenal ini di Arab namun juga di negara-negara lain.Orang-orang
menggunakan barang-barang untuk ditukarkan dengan barang yang lain, dan
merupakan kegiatan yang biasa di kalangan orang kekurangan di daerah desa-desa
maupun kota-kota dan orang kaya sebagai pihak peminjam dengan janji untuk
membayar lebih setelah batas waktu tertentu.
Afzalul Rahman
(2002:89) menyimpulkan “ ‘Riba al-Fadl’ ialah kelebihan peminjaman yang dibayar
dalam segala jenis. Berbentuk pembayaran tambahan oleh peminjaman pada kreditor
dalam bentuk penukaran barang yang sama, misalnya gandum dengan gandum, anggur
dengan anggur, dan lain sebagainya.
2.4 Bunga Bank
Bank menurut Undang-Undang RI
Nomor 10 Tahun 1998 adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak. Sedangkan menurut Kasmir (2008: 2) berpendapat bahwa “Bank merupakan
lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan kemudian menyalurkan kembali ke masyarakat, serta memberikan jasa-jasa
bank lainnya”.
Dan dari definisi yang telah
tertulis diatas, maka dapat kita garis bawahi bahwa bank merupakan suatu badan
usaha yang memiliki wewenang dan fungsi untuk menghimpun dana masyarakat umum
untuk disalurkan kepada yang memerlukan dana tersebut. Dilihat dari sistem
pengolaannya, bank dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu bank konvensional dan
bank syariah.
a.
Bank Konvensional
Bank
konvensional merupakan bank yang paling banyak beredar di Indonesia. Bank umum
mempunyai kegiatan pemberian jasa yang paling lengkap dan dapat beroperasi
diseluruh wilayah Indonesia. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Konvensional
berarti “menurut apa yang sudah menjadi kebiasaan”. Dimana dapat kita ambil
kesimpulan bahwa bank konvensional adalah yang operasionalnya menerapkan metode
bunga, karena metode bunga sudah ada terlebih dahulu yang menjadi kebiasaan.
Menurut (Hanafi, dkk, 2013: 108) mengatakan “Bank konvensional dengan sistem
bunga ada dua jenis, yaitu bank umum dan bank pengkreditan”. Di era globalisasi
sekarang ini, umat Islam boleh hampir tidak dapat menghindarkan diri dari
muamalah dengan bank-bank konvensional.
Mayoritas ulama (jumhur)
sepakat bahwa praktik bunga yang ada di perbankan konvensional adalah sama
dengan riba dan karena itu haram. Walaupun ada sejumlah layanan perbankan yang
tidak mengandung unsur bunga dan karena itu halal. Namun demikian, ada sejumlah
ulama yang menganggap bahwa bunga bank bukanlah riba dan karena itu halal
hukumnya serta ada yang mengatakan mutasyabihat karena tidak jelas
halal-haramnya.
Bagi seorang muslim
yang taat dan berada dalam kondisi yang ideal dan berada dalam posisi yang
dapat memilih, tentunya akan lebih baik kalau berusaha menjauhi praktik bank
konvensional yang diharamkan. Namun, apabila terpaksa, Anda dapat memanfaatkan
segala layanan bank konvensional karena ada sebagian ulama yang
menghalalkannya.
b.
Bank Syariah
Bank Islam
atau selanjutnya disebut dengan Bank Syariah, adalah bank yang beroperasi
dengan tidak mengandalkan pada bunga. Perbankan syariah adalah segala sesuatu
yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya. Menurut Antonio dan Perwataatmadja yang dikutip oleh Ismail dalam
buku Perbankan Syariah Bank Islam adalah bank yang beroperasi dengan prinsip
syariah Islam dan bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada
ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Batasan-batasan
bank syariah yang harus menjalankan kegiatannya berdasar pada syariat Islam,
menyebabkan bank syariah harus menerapkan prinsip-prinsip yang sejalan dan
tidak bertentangan dengan yariat Islam. Adapun prinsip-prinsip bank syariah
adalah sebagai berikut :
a) Prinsip Titipan atau Simpanan (Al-Wadiah)
b) Prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing)
c) Prinsip Jual Beli (Al-Tijarah)
d) Prinsip Sewa (Al-Ijarah)
e) Prinsip Jasa (Fee-Based Service)
Menurut (Nasution, 2007: 296) menyatakan “Dalam hal kegiatan permodalan (equity financing), terdapat dua macam
kontrak, yakni:
a.
Musyarakah (joint venture provit sharing)
b.
Mudarabah (trustee profit sharing)
Dalam pembiayaan (dept financing)
dilakukan dengan menggunakan teknik jual beli (bai’)”.
c.
Bunga Bank: Riba atau Tidak
Melihat dari kebutuhan
masyarakat serta peran bank dalam kehidupan sudah tidak dapat kita hindarkan.
Keberadaan bank dapat dibenarkan dalam Islam di era globalisasi yang semakin
canggih dan tidak mengenal batas wilayah ini. Permasalahannya adalah, apakah
bunga bank yang dipungut atau diterima oleh bank termasuk riba atau bukan.
Jawaban terhadap pertanyaan ini, dapat kita lakukan terhadap seseorang atau
sekelompok orang yang memahami hasil pemikiran bersama ataupun ijtihad mereka.
Oleh karena itu, para ulama sampai saat ini berkonsensus secara bulat. Berikut
pendapat para ulama yang berbeda-beda
tersebut.
1) Jumhur (mayoritas/kebanyakan)
Ulama’ sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh karena itulah hukumnya haram.
Pertemuan 150 Ulama’ terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan
Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi
bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek
riba yang diharamkan termasuk bunga bank. Berbagai forum ulama internasional
yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman bunga bank.
2) Abu zahrah, Abu ‘ala al-Maududi Abdullah al-‘Arabi dan Yusuf Qardhawi
mengatakan bahwa bunga bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang oleh Islam.
Karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai system
bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa. Bahkan menurut Yusuf
Qardhawi tidak mengenal istilah darurat atau terpaksa, tetapi secara mutlak
beliau mengharamkannya. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Syirbashi, menurutnya
bahwa bunga bank yang diperoleh seseorang yang menyimpan uang di bank termasuk
jenis riba, baik sedikit maupun banyak. Namun yang terpaksa, maka agama itu
membolehkan meminjam uang di bank itu dengan bunga.
3) Dr. Sayid Thantawi yang berfatwa tentang bolehnya sertifikat obligasi yang
dikeluarkan Bank Nasional Mesir yang secara total masih menggunakan sistem
bunga, dan ahli lain seperti Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir dalam buku Sikap
Syariah Islam terhadap Perbankan mengatakan, “Perkataan yang benar bahwa tidak
mungkin ada kekuatan Islam tanpa ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan
tidak ada kekuatan perekonomian tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada
perbankan tanpa riba. Ia juga mengatakan, “Sistem ekonomi perbankan ini
memiliki perbedaan yang jelas dengan amal-amal ribawi yang dilarang Al-Qur’an
yang Mulia. Karena bunga bank adalah muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk
terhadap nash-nash yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengharaman
riba
4) Pendapat A. Hasan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persis)
berpendapat bahwa bunga bank seperti di negara kita ini bukan riba yang
diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana yang dinyatakan dalam surat
Ali Imran ayat 130.
5) Menurut musyawarah nasional alim ulama NU pada 1992 di Lampung, para ulama
NU tidak memutus hukum bunga bank haram mutlak. Memang ada beberapa ulama yang
mengharamkan, tetapi ada juga yang membolehkan karena alasan darurat dan
alasan-alasan lain.
6) Hasil rapat komisi VI dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-27 Tarjih dan
Tajdid Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menetapkan, bunga
perbankan termasuk riba sehingga diharamkan. (Raharjo, 2013).
2.4
Valuta Asing Dalam Pandangan Islam
2.4.1 Valuta Asing
Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang
berjudul Masail Fiqhiyah; Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex
(Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan
barang-barang kebutuhan/komoditi antar negara yang bersifat internasional.
Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu uang yang
masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya
sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga
timbul perbandingan nilai mata uang antar negara. Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu
bursa atau pasar yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu
kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara
dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai
volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang
menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata
uang yang berbeda nilai.
2.4.2 Jual Beli Valuta Asing
Yang dimaksud dengan valuta asing adalah mata
uang luar negeri seperi dolar Amerika, poundsterling Inggris, ringgit Malaysia
dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka
tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam
dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonesia akan memperoleh
devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonesia memerlukan devisa
untuk mengimpor dari luar negeri.
Dengan demikian akan timbul penawaran dan
perminataan di bursa valuta asing. setiap negara berwenang penuh menetapkan
kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap
mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika = Rp. 12.000. Namun kurs uang atau
perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada
kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual
beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing (A. W. J. Tupanno, et.
al. Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77).
Fatwa Mui Tentang Perdagangan
Valas
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia
No: 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf)
Menimbang :
a. Bahwa dalam
sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan
transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis
maupun antar mata uang berlainan jenis.
b. Bahwa dalam 'urf
tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa
bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandangan ajaran Islam berbeda
antara satu bentuk dengan bentuk lain.
c. Bahwa agar kegiatan
transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu
menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
1. "Firman Allah, QS.
Al-Baqarah[2]:275
الرِّبَ ذلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ
مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّم
2. "Hadis nabi riwayat
al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Sa'id al-Khudri:Rasulullah SAW bersabda,
'Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara
kedua belah pihak)' (HR. albaihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu
Hibban).
3. "Hadis Nabi Riwayat
Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari
'Ubadah bin Shamit, Nabi s.a.w bersabda: "(Juallah) emas dengan
emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma
dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis
serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan
secara tunai.".
4. "Hadis Nabi riwayat
Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin
Khattab, Nabi s.a.w bersabda: "(Jual-beli) emas dengan perak adalah riba
kecuali (dilakukan) secara tunai."
5. "Hadis Nabi riwayat
Muslim dari Abu Sa'id al-Khudri, Nabi s.a.w bersabda: Janganlah kamu menjual
emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian
atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama
(nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian atas sebagian yang lain; dan
janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.
6. "Hadis Nabi riwayat
Muslim dari Bara' bin 'Azib dan Zaid bin Arqam : Rasulullah saw melarang
menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai).
7. "Hadis Nabi riwayat
Tirmidzi dari Amr bin Auf: "Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum
muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
8. "Ijma. Ulama
sepakat (ijma') bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan
syarat-syarat tertentu.
Memperhatikan :
1. Surat dari
pimpinah Unit Usaha Syariah Bank BNI no. UUS/2/878
2. Pendapat
peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram
1423H/ 28 Maret 2002.
MEMUTUSKAN :
Dewan Syari'ah
Nasional Menetapkan : Fatwa Tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf).
Pertama : Ketentuan
Umum
Transaksi jual beli mata uang
pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Tidak untuk
spekulasi (untung-untungan).
2. Ada
kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
3. Apabila
transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan
secara tunai (at-taqabudh).
4. Apabila
berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku
pada saat transaksi dan secara tunai.
Kedua : Jenis-jenis
transaksi Valuta Asing
1. Transaksi Spot, yaitu
transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (over
the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua
hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari
dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan
transaksi internasional.
2. Transaksi Forward,
yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada
saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2x24 jam
sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan
adalah harga yang diperjanjikan (muwa'adah) dan penyerahannya dilakukan
di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama
dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward
agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah)
3. Transaksi Swap yaitu
suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang
dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward.
Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
4. Transaksi Option
yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual
yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan
jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung
unsur maisir (spekulasi).
Ketiga : Fatwa ini berlaku
sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata
terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
1.
Sistem
ekonomi islam adalah sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari
al qur’an dan sunnah dan merupakan bangunan perekonomian yang didirikan diatas
landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan kondisi lingkungan dan masa
tertentu. Sistem ekonomi islam memiliki tiga asas yaitu memperoleh harta,
mengelola harta, dan mendistribusikan harta.
2.
Khiyar (hak pilih)
dalam jual beli itu di syariatkan dalam masalah-masalah berikut ini : Jika
penjual dan pembeli masih berada di suatu tempat dan belum berpisah, maka
keduanya mempunyai khiyar (hak pilih)
untuk melakukan jual beli, atau membatalkannya , Jika salah satu dari pembeli
dan penjual mensyaratkan khiyar (hak pilih) itu berlaku untuk waktu
tertentu kemudian keduanya menyepakatinya, maka keduanya terikat dengan khiyar
(hak pilih) tersebut hingga waktunya habis,
Jika penjual menipu pembeli dengan penipuan kotor dan penipuan tersebut
mencapai sepertiga lebih , Jika penjual merahasiakan barang daganga , Jika
terlihat cacat pada barang yang mengurangi nilainya dan sebelumnya tidak
diketahui pembeli dan ia ridha dengannya ketika proses tawar menawar, maka
pembeli mempunyai khiyar (hak pilih)
antara mengadakan jual beli atau membatalkannya, Jika penjual dan pembeli tidak
sepakat tentang harga suatu barang atau sifatnya, maka keduanya bersumpah
kemudian keduanya mempunyai khiyar
antara melangsungkan akad jual beli atau membatalkannya . sedangkan, pengertian
Jual Beli Menurut hukum syariat, jual beli memiliki pengertian tukar-menukar
harta dengan harta, dengan tujuan memindahkan kepemilikan, dengan menggunakan
ucapan ataupun perbuatan yang menunjukkan adanya transaksi jual beli, dengan
demikian, transaksi jual beli memiliki hubungan dengan harta. Adapun harta yang
dimaksud dapat berupa aktiva, hak kekayaan intelektual, dan hak manfaat
3.
Riba
dalam bahasa Arab berarti tambahan, walaupun sedikit, melebihi daripada modal
pokok yang dipinjamkan, dan yang demikian itu keduanya termasuk riba dan bunga.
Ibn’ Hajar Askalani mengatakan bahwa, inti riba adalah kelebihan dalam bentuk
barang maupun uang, seperti dua rupiah sebagai
4.
penukaran
satu rupiah. Dan hukum untuk riba adalah haram. Dari definisi riba diatas riba
dapat kita klasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu: riba Nasi’a, dan riba
al-fadl.
5.
Beberapa ijtihat mengenai
bunga bank yang di lakukan oleh para
ulama sampai saat ini berkonsensus secara bulat. Berikut pendapat para
ulama yang berbeda-beda tersebut.
a.
Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama’ sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh
karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama’ terkemuka dalam konferensi
Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir
menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam
pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank.
Berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman
bunga bank.
b.
Abu zahrah, Abu ‘ala
al-Maududi Abdullah al-‘Arabi dan Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa bunga bank
itu termasuk riba nasiah yang dilarang oleh Islam. Karena itu umat Islam tidak
boleh bermuamalah dengan bank yang memakai system bunga, kecuali dalam keadaan
darurat atau terpaksa. Bahkan menurut Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah
darurat atau terpaksa, tetapi secara mutlak beliau mengharamkannya. Pendapat
ini dikuatkan oleh Al-Syirbashi, menurutnya bahwa bunga bank yang diperoleh
seseorang yang menyimpan uang di bank termasuk jenis riba, baik sedikit maupun banyak.
Namun yang terpaksa, maka agama itu membolehkan meminjam uang di bank itu
dengan bunga.
c.
Dr. Sayid Thantawi yang
berfatwa tentang bolehnya sertifikat obligasi yang dikeluarkan Bank Nasional
Mesir yang secara total masih menggunakan sistem bunga, dan ahli lain seperti
Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir dalam buku Sikap Syariah Islam terhadap
Perbankan mengatakan, “Perkataan yang benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan
Islam tanpa ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan
perekonomian tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa
riba. Ia juga mengatakan, “Sistem ekonomi perbankan ini memiliki perbedaan yang
jelas dengan amal-amal ribawi yang dilarang Al-Qur’an yang Mulia. Karena bunga
bank adalah muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang
pasti yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengharaman riba
d.
Pendapat A. Hasan,
pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persis) berpendapat bahwa bunga bank
seperti di negara kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak bersifat
ganda sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 130.
e.
Menurut musyawarah
nasional alim ulama NU pada 1992 di Lampung, para ulama NU tidak memutus hukum
bunga bank haram mutlak. Memang ada beberapa ulama yang mengharamkan, tetapi
ada juga yang membolehkan karena alasan darurat dan alasan-alasan lain.
f.
Hasil rapat komisi VI
dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-27 Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah di
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menetapkan, bunga perbankan termasuk riba
sehingga diharamkan. (Raharjo, 2013)
3.2 Saran
Penulis memahami bahwa penulisan makalah ini belum sempurna
dan memiliki banyak sekali kekurangan,
sehingga penulis mengharapkan saran yang membangun agar makalah ini menjadi
lebih baik.
DAFTAR
RUJUKAN
Al-Jawi,
M. 2004.
Asas-Asas Sistem Ekonomi Islam, (online), (Jurnal-Ekonomi.org/Asas-asas-sistem-ekonomi-islam/),
diakses 24 Februari 2014.
Hakim, Lukman. 2012. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam. Jakarta:
Erlangga
Kasmir. 2002. Dasar-Dasar
Perbankan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nasution, M.E., et all. 2007. Pengenalan
Eksklusif: Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Raharjo, R. 2013. Hukum Bunga
Bank Dalam Islam,
(http://hukum-islam.com/2013/03/hukum-bunga-bank-dalam-islam), diakses pada 24
Februari 2014.
Rahman, A. 2002. Doktrin
Ekonomi Islam Jilid III. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa.
Tim Dosen PAI Universitas Negeri Malang. 2013. Pendidikan Islam Transformatif: Menuju Pengembangan Pribadi Berkarakter.
Malang: Gunung Samudera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar