Selasa, 06 Oktober 2015

SISTEM EKONOMI DALAM AGAMA ISLAM



SISTEM EKONOMI DALAM AGAMA ISLAM


MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Pendidikan Agama Islam
Yang dibina oleh Bapak Syafa’at S.Ag, M.Ag



Oleh
                        Danang Setiawan                     (130731607240)        
                        Dwi Lidiawati                          (130731615709)
                        Dyah Anis                                (130731607244)
                                    Fahat Akbar                              (130731615707)
                                    Fahmi Nadzar                           (130731616736)
                        Faisal Fahmi Mohammad         (130731607282)






 



 






UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH


UCAPAN TERIMAKASIH
            Puja dan puji syukur kehadirat Allah swt, yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sistem Ekonomi Dalam Agama Islam” ini. Dalam makalah ini, penulis mengangkat masalah yang sering menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat.
Ucapan  terima kasih selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Syafa’at selaku dosen yang telah membimbing matakuliah Pendidikan Agama Islam. Kemudian kepada semua pihak yang membimbing dan memberikanan pengarahan selama penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam makalah ini, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

                                                                         Malang, 28 Pebruari 2014                  Penulis









DAFTAR ISI
UCAPAN TERIMAKASIH................................................................................................. i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang............................................................................................................. 1
1.2  Rumusan Masalah......................................................................................................... 2
1.3  Tujuan........................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pembahasan sistem ekonomi islam............................................................................... 3
2.2 pembahasan tentang jual beli dalam islam.................................................................... 4
2.3 hukum Riba ............................................................................................................... 12
2.4 Bunga Bank............................................................................................................... 13
2.5 Valuta Asing.............................................................................................................. 17

BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan................................................................................................................... 21
3.2 Saran......................................................................................................................... 23

DAFTAR RUJUKAN......................................................................................................... 24











BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Sistem ekonomi dalam islam membahas masalah-masalah yang menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat untuk masa modern seperti sekarang. Karena sebagai contoh rentenir. Memang ia dengan dali memberi pinjaman untuk orang yang membutuhkan. Banyak orang yang berpendapat bahwa rentenir itu membantu dalam masalah orang yang meminjam tadi, namun menurut agama Islam hal itu termasuk riba karena memberi bunga yang cukup besar sehingga malah membebani orang yang dibantu. Itulah salah satu contoh pentingnya mempelajari sistem ekonomi dalam agama islam agar kita tidak salah dalam menanggapi masalah ekonomi yang sangat komplek pada masa sekarang ini. Bunga bank yang kita lakukan sehari-hari. Apakah itu boleh atau tidak menurut agama islam.
Kaidah-kaidah dalam ekonomi islam tidak memperkenankan adanya riba, maisir, dan spekulasi. Sistem ekonomi dalam islam, tidak terlepas dari ajaran agama islam yang intergral dan komprehensif. Sehingga konsep-konsep dalam ekonomi islam mengacu pada sistem syariat agama islam. Mempelajari ekonomi islam adalah agar tidak berbenturan dengan peraturan-peraturan dalam agama islam yang menyangkut kegiatan perekonomian.
Sistem Keuangan Islam merupakan bagian dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi Islam. Sistem keuangan Islam bukan sekedar transaksi komersial, tetapi harus sudah sampai kepada lembaga keuangan untuk dapat mengimbangi tuntutan zaman. Bentuk sistem keuangan atau lembaga keuangan yang sesuai dengan prinsip Islam ádalah terbebas dari unsur riba. Kontrak keuangan yang dapat dikembangkan dan dapat menggantikan sistem riba adalah mekanisme syirkah  yaitu :  musyarakah  dan mudharabah (bagi hasil).
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh ibnu roshe dari Dr. Yusuf Qordhowi, pakar Islam kontemporer dalam karyanya “Daurul Qiyam wal akhlaq fil iqtishod al-Islamy” menjelskan empat ciri ekonomi Islam, yaitu ekonomi robbani, ekonomi akhlaqy, ekonomi insani dan ekonomi wasati.

Keempat ciri tersebut mengandung pengertian bahwa ekonomi Islam bersifat robbani, menjunjung tinggi etika, menghargai hak-hak kemanusiaan dan bersifat moderat.
Maka dari itu, sangat menarik bagi penulis membahas masalah sistem ekonomi dalam agama islam, yang sangat menguntungkan dan sangat sedikit sekali nilai kerugiannya. jika dipraktekkan dengan benar. Dan yang terpenting adalah agar kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak berbenturan dengan ajaran dalam agama islam.

1.2              Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.                   Apa sistem ekonomi dalam agama islam itu?
2.                   Apa sebenarnya hyar itu dan bagaimana hukum  jual beli dalam agama islam?
3.                   Bagaimana hukum riba dalam agama Islam?
4.                   Bagaimana hukum dan syariatnya bunga bank dalam agama islam?
5.                   Bagaimana masalah penerapan valuta asing dalam pandangan islam?

1.3              Tujuan
Dari ulasan latar belakang dan rumusan masalah di atas dapat disimpulkan tujuan sebagai berikut:
1.      Mengetahui sistem ekonomi dalam agama islam
2.      Mengetahui masalah hyar dan hukum jual beli dalam agama islam
3.      Mengetahui hukum riba dalam agama islam
4.      Mengetahui hukum dan syariat masalah bunga bank dalam agama islam
5.      Mengetahui masalah valuta asing dalam pandangan islam


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sistem ekonomi islam
بسم الله الرحمن الرحيم
Sistem ekonomi islam adalah sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari al qur’an dan sunnah dan merupakan bangunan perekonomian yang didirikan diatas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan kondisi lingkungan dan masa tertentu. Dalam sistem ekonomi islam mencakup tiga asas yaitu mencakup penjelasan mengenai bagaimana memperoleh harta kekayaan (al malkiyah), bagaimana mengelola hasil kekayaan (tasyarruf fil milkiyah), dan bagaimana mendistribusikan kakayaan yang telah ada (tauziul tsarwah bayanaan-naas). Allah memperbolehkan manusia memiliki suatu kepemilikan, namun kepemilikan yang di maksud tersebut tidak akan lepas dari izin Allah Swt (As syari’), sehingga dalam hal pemilikan yang telah didapat bukan hanya karena benda tersebut, ataupun hanya karena orang yang berusaha mendapatkan barang tersebut, akan tetapi lebih kepada karena adanya izin yang diberikan Allah Swt untuk memiliki zat atau benda tersebut.
Beberapa firman Allah yang menyatakan tentang ekonomi atau hak kepemilikan antara lain: QS. An-nnur:33, QS Al-hadid:7, QS Nuh:12, QS An-nisaa’:6, QS Albaqoroh:275, QS At-taubah:24, QS Al-lail:11 dan lain-lainnya.
Ilmuan sekalipun menyatakan bahwa agama berpengaruh dalam hal ekonomi. Seperti Max Weber dalam bukunya the protestant ethic and the spirit of capitalism menuliskan bahwa ada hubungan antara (ajaran-ajaran) agama dan etika kerja, atau antara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi. Penerapan sistem ekonomi islam yang benar merupakan bagian dari ibadah muamalah. Di Indonesia sendiri sistem ekonomi islam yang khas diterapkan adalah ekonomi dengan koperasi. Apakah sistem ekonomi pancasila itu sama dengan sistem ekonomi dalam agama islam. Yang paling mendekati dengan nilai-

nilai ajaran islam adalah koperasi yang diterapkan di Indonesia yang telah di lakukan sejak dahulu di Indonesia.

2.2 Jual Beli
2.2.1Pengertian Jual Beli
Secara etimologis, jual beli menurut bahasa berarti al-bai’, al-tijarah, dan al-mubadalah atau berarti menukar/mengganti sesuatu dengan sesuatu. Sedangkan menurut istilah syara’,  jual beli adalah menukar barang dengan barang lain untuk saling memiliki dengan adanya kerelaan.
Menurut hukum syariat, jual beli memiliki pengertian tukar-menukar harta dengan harta, dengan tujuan memindahkan kepemilikan, dengan menggunakan ucapan ataupun perbuatan yang menunjukkan adanya transaksi jual beli, dengan demikian, transaksi jual beli memiliki hubungan dengan harta. Adapun harta yang dimaksud dapat berupa aktiva, hak kekayaan intelektual, dan hak manfaat.

2.2.2 Hukum Jual Beli
Jual beli dalam islam hukumnya boleh dengan catatan atas dasar suka sama suka antara penjual dan pembeli bukan karena unsur keterpaksaan dan tidak bertentangan dengan hukum-hukum yang telah disyariatkan oleh Islam. Allah SWT berfirman :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (QS. Al-Baqarah :275).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29)
“janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kalian...” (QS.An-Nisa’:29)
Kutipan ayat Alquran diatas menunjukkan bahwa Allah menghalalkan umatnya untuk mencari karunia Allah SWT di dunia dengan jalan yang diridhoi-Nya, termasuk jual beli.

2.2.3 Syarat sah jual beli
Syarat sah jual beli menurut islam adalah sebagai berikut:
1.      Sama-sama rela baik penjual maupun pembeli.
2.      Bahwa boleh melakukan transaksi, yaitu dengan syarat keduanya orang yang merdeka, mukallaf, dan cerdas
3.      Yang dijual adalah yang boleh diambil manfaatnya secara mutlak (absolut). Tidak boleh menjual yang tidak ada manfaatnya, dan tidak boleh yang diharamkan oleh agama seperti miras, daging babi.
4.      Yang dijual adalah milik dari penjual, atau diijinkan menjualnya saat transaksi
5.      Yang dijual sudah diketahui kedua belah pihak baik penjual maupun pembeli yang melakukan transaksi dengan melihat atau dengan sifat-sifatnya
6.      Harganya sudah diketahui
7.      Yang dijual itu barang yang bisa diserahkan, bukan yang masih belum ada

2.2.4 Rukun Jual Beli
Rukun jual beli  dalam islam adalah sebagai berikut:
1.                  Akad, yaitu ikatan antara penjual dan pembeli
2.                  Ada penjual
3.                  Ada pembeli
4.                   Ada Barang yang diperjual belika

2.2.5 Jenis Jual beli
Ada beberapa jenis Jual beli yang dilarang oleh agama islam
1.                  Barang yang dihukumkan najis oleh agama seperti anjing, babi, khamr
2.                  Jual beli anak binatang yang masih berada didalam perut induknya
3.                  Jual beli dengan munabadzah yaitu jual beli secara lempar-melempar
4.                  Jual beli dengan mukhadharah yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas untuk    dipanen
5.                  Jual beli setelah panggilan adzan sholat jum’at
6.                  Jual beli barang yang belum diterima, seorang muslim tidak boleh membeli suatu barang kemudian menjualnya padahal ia menerima barang dagangan tersebut, karena dalil-dalil berikut: Sabda Rasulullah SAW “Jika engkau membeli sesuatu, engkau jangan menjualnya hingga engkau menerimanya.” (H.R. Tabrani). Sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa membeli makanan, ia jangan menjualnya hingga menerimanya.” (H.R. Al Bukhari).
7.                  Jual beli seorang muslim dari muslim lainnya, seorang muslim tidak boleh jika saudara seagamanya telah membeli suatu barang seharga lima ribu rupiah misalnya, kemudian ia berkata kepada penjualnya. “Mintalah kembali barang itu, dan batalkan jual belinya, karena aku akan membelinya darimu seharga enam ribu,’ karena Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah sebagian dari kalian menjual di atas jual beli sebagian lainnya,” (H.R. Muttafun ‘alaih).
8.                  Jual beli najasy, seorang muslim tidak boleh menawar suatu barang dengan harga terentu padahal ia tidak ingin membelinya, namun ia berbuat seperti itu agar di ikuti para penawar lainnya kemudian pembeli tertarik membeli barang tersebut. Seorang muslim juga tidak boleh berkata kepada pembeli yang ingin membeli suatu barang, “Barang ini di beli dengan harga sekian”. Ia berkata bohong untuk menipu pembeli tersebut, ia bersekongkol dengan penjual atau tidak, karena Abdullah bin Umar Ra berkata, “Rasulullah SAW melarang jual beli najasyi.” Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian saling melakukan jual beli najasy.” (H.R. Muttafaqun ‘alaih).
9.                  Jual beli barang-barang haram dan najis, seorang muslim tidak boleh menjual barang-barang yang menjurus kepada haram. Jadi ia tidak boleh menjual minuman keras, babi, bangkai, berhala, dan anggur yang hendak dijadikan minuman keras, karena dalil-dalil berikut: sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli minuman keras, bangkai, babi, dan berhala.” Rasulullah SAW bersabda “Barangsiapa menahan anggur pada hari-hari panen untuk ia jual kepada orang Yahudi, atau oarng Kristen atau orang yang akan menjadikannya sebagai minuman keras, sungguh ia menceburkan diri ke neraka dengan jelas sekali.”a (H.R Muttafaqun ‘alaih).
10.              Jual beli gharar. Orang muslim tidak boleh menjual sesuatu yang di dalamnya terdapat gharar (ketidakjelasan). Jadi ia tidak boleh menjual ikan di air, atau menjual bulu di punggung kambing yang masih hidup, atau anak hewan yang masih dalam perut induknya atau buah-buahan yang masih belum masak, biji-bijian yang belum mengeras atau menjual barang tanpa kejelasan sifatnya. Sabda Rasulullah SAW, “Janganlah kalian membeli ikan di air, karena itu gharar.” (H.R. Muttafaqun ‘alaih).
11.              Jual beli dua barang dalam satu akad, seorang muslim tidak boleh melangsungkan dua jual beli dalam satu akad, namun ia harus melangsungkan keduanya sendiri-sendiri, karena di dalamnya terdapat ketidakjelasan yang membuat orang muslim lainnya tersakiti atau memakan hartanya dengan tidak benar. Dua jual beli dalam satu akad mempunyai banyak bentuk, misalnya penjual berkata pada pembeli, aku jual barang ini kepadamu seharga sepuluh ribu kontan arau lima belas ribu sampai waktu tertentu (kredit).” Setelah itu akad jual beli dilangsungkan dan penjual tidak menjelaskan jual beli manakah (kontan atau kredit) yang ia kehendaki.
12.              Jual beli urbun (uang muka), seorang muslim tidak boleh melakukan jual beli urbun, atau mengambil uang muka secara kontan, karena diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW melarang jual-beli urbun (Imam Malik dalam Al Muwatha). Tentang jual beli urbun, Imam Malik menjelaskan bahwa jual beli urbun ialah seseorang membeli sesuatu atau menyewa hewan, kemudian berkata kepada penjual, “engkau aku beri uang satu dinar dengan syarat jika kau membatalkan jual beli, maka aku tidak memberimu uang sisanya.”
13.              Menjual sesuatu yang tidak ada pada penjual, seorang muslim tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada padanya atau sesuatu yang belum dimilikinya, karena hal tersebut menyakiti pembeli yang tidak mendapatkan barang yang dibelinya. Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (H.R. Tarmizi).
14.              Jual beli utang dengan utang, seorang muslim tidak boleh menjual utangdengan utang, karena itu menjual barang yang tidak ada dengan barang yang tidak ada pula dan Islam tidak membolehkan jual beli seperti itu. Contohnya, Anda mempunyai piutang dua kwintal beras pada orang lain yang akan dibayar pada suatu waktu, kemudian Anda menjualnya kepada orang lain sehingga seratus ribu sampai waktu tertentu.
15.              Jual beli Inah, seorang muslim tidak boleh menjual suatu barang kepada orang lain dengan kredit, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli dengan harga yang lebih murah, karena jika ia menjual barang tersebut kepada pembeli seharga sepuluh ribu rupiah, kemudian ia membelinya dari pembeli yang sama seharga lima ribu rupiah, maka itu seperi orang yang meminjam uang lima ribu rupiah dan meminta dikembalikan  sebanyak sepuluh ribu rupiah. Hal seperti ini riba nasi’ah yang diharamkan al-Qur’an dan al-Hadits.
16.              Jual beli Musharah, seorang muslim tidak boleh menahan susu kambing, unta atau lembu selama berhari-hari agar susunya terlihat banyak, kemudian manusia tertarik membelinya dan ia pun menjual-belikannya. Cara penjualan seperti ini merupakan kebatilan karena mengandung penipuan.

Ada beberapa jenis jual beli yang diperbolehkan oleh islam yang dapat dibedakan antara lain sebagai berikut.
1.      Murabahah
Akad jual beli terjadi ketika harga dan keuntungan disepakati antara penjual dan pembeli, jenis dan jumlah barang dijelaskan dengan rinci, barang diserahkan setelah akad jual beli, dan pembayaran bisa dilakukan secara berangsur-angsur atau tunai
2.      Salam (Kredit atau pinjaman modal)
Jual beli salam adalah jual beli yang dilakukan dengan pemesanan dengan cara pembeli memberikan uang terlebih dahulu kepada penjual, kemudian barang dikirim setelahnya
3.      Istishna’ (pemesanan spesifik)
Transaksi ini dilakukan dengan cara pembeli memesan pembuatan barang sesuai spesifikasi yang diinginka nya. Setelah itu, barang dibuat oleh penjual sesuai keinginan pembeli dan pembayaran dilakukan setelah barang diterima oleh pembeli
4.      Ijarah
Pengertian dari jual beli ini adalah akad sewa menyewa barang untuk memperoleh manfaat atas barang yang disewa, baik untuk yang menyewa maupun untuk yang menyewakan


5.      Bai’ Almuthlaq
Jual beli semacam ini dilakukan dengan transaksi jual beli pada umumnya yaitu pertukaran barang dengan uang.
6.      Muqayyad
Jual beli ini bisa dikatakan sebagai barter. Jual beli semacam ini dilakukan sebagai jalan keluar bagi ekspor yang tidak dapat menghasilakan mata uang asing.
7.      Sharf
Jual beli ini adalah antara dua mata uang asing yang berbeda. Jual beli ini sesuai dengan nilai kurs yang berlaku pada saat transaksi
8.      Bai’ Al Murabahah
Jual beli ini dilakukan antara penjual dan pembeli dengan kesepakatan. Pembeli memesan barang lewat perantara dan perantara menetapkan keuntungan yang diperolehnya dan harga barang yang di pesan kepada pembeli.

2.2.6 Hukum jual beli kredit
Jual beli kredit adalah jual beli yang dilakukan dengan penjual memberikan tempo waktu tertentu kepada pembeli untuk melunasi barang yang diperjual belikan. Jual beli kredit adalah gambaran dari penjualan nasi’ah. Hukumnya boleh. Jual beli nasi’ah ditempokan untuk satu tempo, dan jual beli kredit ditempokan untuk beberapa waktu.
Syarat syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli kredit yaitu
1. Harga harus disepakati di awal transaksi meskipun pelunasannya dilakukan kemudian
2. Tidak boleh diterapkan sistem perhitungan bunga apabila pelunasannya mengalami keterlambatan
3. Pembayaran cicilan disepakati oleh penjual dan pembeli dan waktu pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari praktek bai’ gharar (penipuan)

Hukum jual beli via internet (E-commerce)
Jual beli via internet adalah penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet. Jual beli via internet dapat melibatkan transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, dan sistem pengumpulan data otomatis.
Jual beli online diperbolehkan menurut Islam selama tidak mengandung unsur-unsur yang dapat merusaknya seperti riba, kezhaliman, penipuan, kecurangan dan yang sejenisnya serta memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat dalam jual beli.
Langkah-langkah yang dapat kita tempuh agar jual beli online diperbolehkan dalam islam
1.  Barang yang dijual adalah barang yang halal sebagaimana yang ditegaskan didalam hadits : Sesungguhnya bila Allah telah mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, pasti Ia mengharamkan pula hasil penjualannya.” (HR Ahmad, dan lainnya)
2. Kejelasan status penjual dan pembeli dan kejelasan status kepemilikan barang apakah barang yang dijual milik sendiri atau sebagai perwakilan pemilik barang tersebut
3. Harga dengan kualitas barang yang diperjual belikan harus sesuai
4. Jujur dalam melakukan transaksi jual beli

2.2.7 Pengertian Khyar Dan Hukum Jual Beli Dalam Agama Islam
Khiyar dan Hukumnya dalam Jual Beli
Khiyar (hak pilih) dalam jual beli itu di syariatkan dalam masalah-masalah berikut ini;
a.       Jika penjual dan pembeli masih berada di suatu tempat dan belum berpisah, maka keduanya mempunyai khiyar (hak pilih) untuk melakukan jual beli, atau membatalkannya karena Rasulullah SAW bersabda: “Pembeli dan penjual itu dengan khiyar, jika keduanya jujur dan menjelaskan, keduanya diberkahi dalam jual belinya. Dan jika keduanya saling merahasiakan dan berbohong, keberkahan jual belinya dihapus.” (H.R. Abu Dauddan Al Hakim).
b.      Jika salah satu dari pembeli dan penjual mensyaratkan khiyar (hak pilih) itu berlaku untuk waktu tertentu kemudian keduanya menyepakatinya, maka keduanya terikat dengan khiyar (hak pilih) tersebut hingga waktunya habis, kemudian jual beli dilakukan, karena Rasulullah SAW bersabda: “Kaum Muslimin itu berada di atas persyaratan mereka.” (H.R. Abu Daud Al-Hakim).
c.       Jika penjual menipu pembeli dengan penipuan kotor dan penipuan tersebut mencapai sepertiga lebih, misalnya menjual sesuatu yang harganya sepuluh ribu dengan lima belas ribu, atau dua puluh ribu, maka pembeli diperbolehkan membatalkan jual beli atau membeli dengan harga standar, karena Rasulullah SAW bersabda kepada orang yang menipu dalam jual beli karena kurang waras, barangsiapa yang engkau beli, maka katakan, “tidak ada penipuan” (H.R. Al Bukhari). Jika terbukti penjual menipu, maka pembeli menemuinya dan meminta pengembalian kelebihan harga, atau membatalkan jual-beli.
d.      Jika penjual merahasiakan barang dagangan, misalnya ia keluarkan yang baik dan merahasiakan yang jelek, atau memperlihatkan yang bagus dan menyembunyikan yang rusak, maka pembeli mempunyai khiyar untuk membatalkan jual beli, atau melangsungkannya, karena Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian menahan susu unta dan kambing, barangsiapa membelinya maka ia mempunyai khiyar di antara dua hal (melangsungkan akad jual beli atau membatalkannya) setelah ia memerah susunya. Jika ia mau maka menahannya (tetap memilikinya) dan jika ia mau maka mengembalikannya dengan satu sha’ kurma.” (H.R. Muttafaqun ‘alaih).
e.       Jika terlihat cacat pada barang yang mengurangi nilainya dan sebelumnya tidak diketahui pembeli dan ia ridha dengannya ketika proses tawar menawar, maka pembeli mempunyai khiyar (hak pilih) antara mengadakan jual beli atau membatalkannya, karena Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Muslim tidak dihalalkan menjual sesuatu barang didalamnya terdapat cacat kepada saudaranya tersebut.” (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah).
f.       Jika penjual dan pembeli tidak sepakat tentang harga suatu barang atau sifatnya, maka keduanya bersumpah kemudian keduanya mempunyai khiyar antara melangsungkan akad jual beli atau membatalkannya, karena diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika penjual dan pembeli tidak sepakat, sedang barang dagangannya ada dan tidak ada bukti, maka keduanya bersumpah.” (H.R. Al Hakim).



2.3   HUKUM RIBA
2.3.1 Pengertian Riba
Riba dalam bahasa Arab berarti tambahan, walaupun sedikit, melebihi daripada modal pokok yang dipinjamkan, dan yang demikian itu keduanya termasuk riba dan bunga. Ibn’ Hajar Askalani mengatakan bahwa, inti riba adalah kelebihan dalam bentuk barang maupun uang, seperti dua rupiah sebagai penukaran satu rupiah. Dan hukum untuk riba adalah haram, ini seperti disebutkan dalam salah satu firman Allah yang berbunyi “ Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Karena perbuatan yang dikutu oleh Allah dan sebagai perbuatan untuk teman-teman setan, selain itu menjadikan kesusahan bagi pihak lain.
Pada zaman sebelum agama Islam datang di Arab banyak sekali bisnis peminjaman yang didalamnya terdapat praktek riba. Menurut Abu Bakar Jassas bahwa pada zaman pra-Islam banyak yang mengadakan kontrak pinjaman dengan orang lain, diantara pihak-pihak yang terlibat akan bersepakat dalam sejumlah uang tertentu yang dibayarkan oleh peminjam yang melebihi pinjaman pokok setelah melewati periode waktu tertentu. Suatu kajian yang cermat menurut riba bahwa riba tidak sama dengan bunga yang tinggi tetapi semua termasuk kelebihan diatas dan di atas modal yang dipijamkan.

2.3.2 Macam-Macam Riba
Dari yang kita ketahui bahwa hukum untuk Riba adalah Haram. Namun ternyata praktek ekonomi ini sudah ada sejak agama Islam ada, khususnya di daerah Arab seperti yang telah dijelaskan di atas. Dari definisi riba diatas riba dapat kita klasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu:
1 Riba Nasi’a.
Riba jenis bisa dikatakan sebagai riba paling populer/ terkenal pada zaman kehidupan Nabi Muhammad SAW. Menurut Afzalul Rahman (2002:86)  riba ini dapat ditemukan di semua jenis transaksi kredit di mana suatu pinjaman diberikan kepada seseorang dan setiap bulan membayar pinjaman pokok tersebut melebihi dari jumlah pinjaman pokok. Namun apabila masa peminjaman telah habis maka pemberi pinjaman akan meminta kembali pinjaman pokoknya, dan apabila pembeli tidak dapat membayar, maka pemberi pinjaman akan membrikan akan memperpanjang peminjaman dengan syarat bahwa peminjam harus membayar sejumlah uang yang telah ditentukan saat transaksi.
2.Riba al-Fadl
Riba jenis tidak hanya terkenal ini di Arab namun juga di negara-negara lain.Orang-orang menggunakan barang-barang untuk ditukarkan dengan barang yang lain, dan merupakan kegiatan yang biasa di kalangan orang kekurangan di daerah desa-desa maupun kota-kota dan orang kaya sebagai pihak peminjam dengan janji untuk membayar lebih setelah batas waktu tertentu.
Afzalul Rahman (2002:89) menyimpulkan “ ‘Riba al-Fadl’ ialah kelebihan peminjaman yang dibayar dalam segala jenis. Berbentuk pembayaran tambahan oleh peminjaman pada kreditor dalam bentuk penukaran barang yang sama, misalnya gandum dengan gandum, anggur dengan anggur, dan lain sebagainya.

2.4  Bunga Bank
Bank menurut Undang-Undang  RI Nomor 10 Tahun 1998 adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan menurut Kasmir (2008: 2) berpendapat bahwa “Bank merupakan lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan kemudian menyalurkan kembali ke masyarakat, serta memberikan jasa-jasa bank lainnya”.
              Dan dari definisi yang telah tertulis diatas, maka dapat kita garis bawahi bahwa bank merupakan suatu badan usaha yang memiliki wewenang dan fungsi untuk menghimpun dana masyarakat umum untuk disalurkan kepada yang memerlukan dana tersebut. Dilihat dari sistem pengolaannya, bank dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu bank konvensional dan bank syariah.

a.    Bank Konvensional
Bank konvensional merupakan bank yang paling banyak beredar di Indonesia. Bank umum mempunyai kegiatan pemberian jasa yang paling lengkap dan dapat beroperasi diseluruh wilayah Indonesia. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Konvensional berarti “menurut apa yang sudah menjadi kebiasaan”. Dimana dapat kita ambil kesimpulan bahwa bank konvensional adalah yang operasionalnya menerapkan metode bunga, karena metode bunga sudah ada terlebih dahulu yang menjadi kebiasaan. Menurut (Hanafi, dkk, 2013: 108) mengatakan “Bank konvensional dengan sistem bunga ada dua jenis, yaitu bank umum dan bank pengkreditan”. Di era globalisasi sekarang ini, umat Islam boleh hampir tidak dapat menghindarkan diri dari muamalah dengan bank-bank konvensional.
Mayoritas ulama (jumhur) sepakat bahwa praktik bunga yang ada di perbankan konvensional adalah sama dengan riba dan karena itu haram. Walaupun ada sejumlah layanan perbankan yang tidak mengandung unsur bunga dan karena itu halal. Namun demikian, ada sejumlah ulama yang menganggap bahwa bunga bank bukanlah riba dan karena itu halal hukumnya serta ada yang mengatakan mutasyabihat karena tidak jelas halal-haramnya.
Bagi seorang muslim yang taat dan berada dalam kondisi yang ideal dan berada dalam posisi yang dapat memilih, tentunya akan lebih baik kalau berusaha menjauhi praktik bank konvensional yang diharamkan. Namun, apabila terpaksa, Anda dapat memanfaatkan segala layanan bank konvensional karena ada sebagian ulama yang menghalalkannya.

b.      Bank Syariah
Bank Islam atau selanjutnya disebut dengan Bank Syariah, adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Menurut Antonio dan Perwataatmadja yang dikutip oleh Ismail dalam buku Perbankan Syariah Bank Islam adalah bank yang beroperasi dengan prinsip syariah Islam dan bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Batasan-batasan bank syariah yang harus menjalankan kegiatannya berdasar pada syariat Islam, menyebabkan bank syariah harus menerapkan prinsip-prinsip yang sejalan dan tidak bertentangan dengan yariat Islam. Adapun prinsip-prinsip bank syariah adalah sebagai berikut :
a)      Prinsip Titipan atau Simpanan (Al-Wadiah)
b)      Prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing)
c)      Prinsip Jual Beli (Al-Tijarah)
d)     Prinsip Sewa (Al-Ijarah)
e)      Prinsip Jasa (Fee-Based Service)
Menurut (Nasution, 2007: 296) menyatakan “Dalam hal kegiatan permodalan (equity financing), terdapat dua macam kontrak, yakni:
a.       Musyarakah (joint venture provit sharing)
b.      Mudarabah (trustee profit sharing)
Dalam pembiayaan (dept financing) dilakukan dengan menggunakan teknik jual beli (bai’)”.

c.       Bunga Bank: Riba atau Tidak
Melihat dari kebutuhan masyarakat serta peran bank dalam kehidupan sudah tidak dapat kita hindarkan. Keberadaan bank dapat dibenarkan dalam Islam di era globalisasi yang semakin canggih dan tidak mengenal batas wilayah ini. Permasalahannya adalah, apakah bunga bank yang dipungut atau diterima oleh bank termasuk riba atau bukan. Jawaban terhadap pertanyaan ini, dapat kita lakukan terhadap seseorang atau sekelompok orang yang memahami hasil pemikiran bersama ataupun ijtihad mereka. Oleh karena itu, para ulama sampai saat ini berkonsensus secara bulat. Berikut pendapat para ulama  yang berbeda-beda tersebut.
1)   Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama’ sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama’ terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank. Berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman bunga bank.
2)      Abu zahrah, Abu ‘ala al-Maududi Abdullah al-‘Arabi dan Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa bunga bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang oleh Islam. Karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai system bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa. Bahkan menurut Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah darurat atau terpaksa, tetapi secara mutlak beliau mengharamkannya. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Syirbashi, menurutnya bahwa bunga bank yang diperoleh seseorang yang menyimpan uang di bank termasuk jenis riba, baik sedikit maupun banyak. Namun yang terpaksa, maka agama itu membolehkan meminjam uang di bank itu dengan bunga.
3)      Dr. Sayid Thantawi yang berfatwa tentang bolehnya sertifikat obligasi yang dikeluarkan Bank Nasional Mesir yang secara total masih menggunakan sistem bunga, dan ahli lain seperti Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir dalam buku Sikap Syariah Islam terhadap Perbankan mengatakan, “Perkataan yang benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan Islam tanpa ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan perekonomian tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba. Ia juga mengatakan, “Sistem ekonomi perbankan ini memiliki perbedaan yang jelas dengan amal-amal ribawi yang dilarang Al-Qur’an yang Mulia. Karena bunga bank adalah muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengharaman riba
4)      Pendapat A. Hasan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persis) berpendapat bahwa bunga bank seperti di negara kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 130.
5)      Menurut musyawarah nasional alim ulama NU pada 1992 di Lampung, para ulama NU tidak memutus hukum bunga bank haram mutlak. Memang ada beberapa ulama yang mengharamkan, tetapi ada juga yang membolehkan karena alasan darurat dan alasan-alasan lain.
6)      Hasil rapat komisi VI dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-27 Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menetapkan, bunga perbankan termasuk riba sehingga diharamkan. (Raharjo, 2013).

2.4              Valuta Asing Dalam Pandangan Islam
2.4.1 Valuta Asing
Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul Masail Fiqhiyah; Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhan/komoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu uang yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul perbandingan nilai mata uang antar negara. Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu bursa atau pasar yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai.

2.4.2 Jual Beli Valuta Asing
Yang dimaksud dengan valuta asing adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, poundsterling Inggris, ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonesia akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonesia memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri.
Dengan demikian akan timbul penawaran dan perminataan di bursa valuta asing. setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika = Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing (A. W. J. Tupanno, et. al. Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77).

Fatwa Mui Tentang Perdagangan Valas
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia
No: 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf)
Menimbang :
a. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis.
b. Bahwa dalam 'urf tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandangan ajaran Islam berbeda antara satu  bentuk dengan bentuk lain.
c. Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman.

Mengingat :
1. "Firman Allah, QS. Al-Baqarah[2]:275
الرِّبَ ذلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّم
2. "Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Sa'id al-Khudri:Rasulullah SAW bersabda, 'Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak)' (HR. albaihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
3. "Hadis Nabi Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari 'Ubadah bin Shamit, Nabi s.a.w bersabda: "(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.".
4. "Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi s.a.w bersabda: "(Jual-beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai."
5. "Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa'id al-Khudri, Nabi s.a.w bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.
6. "Hadis Nabi riwayat Muslim dari Bara' bin 'Azib dan Zaid bin Arqam : Rasulullah saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai).
7. "Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: "Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
8. "Ijma. Ulama sepakat (ijma') bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu.
Memperhatikan :
1. Surat dari pimpinah Unit Usaha Syariah Bank BNI no. UUS/2/878
2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H/ 28 Maret 2002.
MEMUTUSKAN :
Dewan Syari'ah Nasional Menetapkan : Fatwa Tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf).
Pertama : Ketentuan Umum
Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan).
2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh).
4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai.
Kedua : Jenis-jenis transaksi Valuta Asing
1. Transaksi Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional.
2. Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2x24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa'adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah)
3. Transaksi Swap yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
4. Transaksi Option yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
Ketiga : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

BAB III
PENUTUP
3.1              Simpulan
1.                  Sistem ekonomi islam adalah sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari al qur’an dan sunnah dan merupakan bangunan perekonomian yang didirikan diatas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan kondisi lingkungan dan masa tertentu. Sistem ekonomi islam memiliki tiga asas yaitu memperoleh harta, mengelola harta, dan mendistribusikan harta.
2.                  Khiyar (hak pilih) dalam jual beli itu di syariatkan dalam masalah-masalah berikut ini : Jika penjual dan pembeli masih berada di suatu tempat dan belum berpisah, maka keduanya mempunyai khiyar (hak pilih) untuk melakukan jual beli, atau membatalkannya , Jika salah satu dari pembeli dan penjual mensyaratkan khiyar (hak pilih) itu berlaku untuk waktu tertentu kemudian keduanya menyepakatinya, maka keduanya terikat dengan khiyar (hak pilih) tersebut hingga waktunya habis,  Jika penjual menipu pembeli dengan penipuan kotor dan penipuan tersebut mencapai sepertiga lebih , Jika penjual merahasiakan barang daganga , Jika terlihat cacat pada barang yang mengurangi nilainya dan sebelumnya tidak diketahui pembeli dan ia ridha dengannya ketika proses tawar menawar, maka pembeli mempunyai khiyar (hak pilih) antara mengadakan jual beli atau membatalkannya, Jika penjual dan pembeli tidak sepakat tentang harga suatu barang atau sifatnya, maka keduanya bersumpah kemudian keduanya mempunyai khiyar antara melangsungkan akad jual beli atau membatalkannya . sedangkan, pengertian Jual Beli Menurut hukum syariat, jual beli memiliki pengertian tukar-menukar harta dengan harta, dengan tujuan memindahkan kepemilikan, dengan menggunakan ucapan ataupun perbuatan yang menunjukkan adanya transaksi jual beli, dengan demikian, transaksi jual beli memiliki hubungan dengan harta. Adapun harta yang dimaksud dapat berupa aktiva, hak kekayaan intelektual, dan hak manfaat
3.                  Riba dalam bahasa Arab berarti tambahan, walaupun sedikit, melebihi daripada modal pokok yang dipinjamkan, dan yang demikian itu keduanya termasuk riba dan bunga. Ibn’ Hajar Askalani mengatakan bahwa, inti riba adalah kelebihan dalam bentuk barang maupun uang, seperti dua rupiah sebagai

4.                  penukaran satu rupiah. Dan hukum untuk riba adalah haram. Dari definisi riba diatas riba dapat kita klasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu: riba Nasi’a, dan riba al-fadl.
5.                  Beberapa ijtihat mengenai bunga bank yang di lakukan oleh  para ulama sampai saat ini berkonsensus secara bulat. Berikut pendapat para ulama  yang berbeda-beda tersebut.
a.                   Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama’ sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama’ terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank. Berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman bunga bank.
b.                  Abu zahrah, Abu ‘ala al-Maududi Abdullah al-‘Arabi dan Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa bunga bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang oleh Islam. Karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai system bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa. Bahkan menurut Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah darurat atau terpaksa, tetapi secara mutlak beliau mengharamkannya. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Syirbashi, menurutnya bahwa bunga bank yang diperoleh seseorang yang menyimpan uang di bank termasuk jenis riba, baik sedikit maupun banyak. Namun yang terpaksa, maka agama itu membolehkan meminjam uang di bank itu dengan bunga.
c.                   Dr. Sayid Thantawi yang berfatwa tentang bolehnya sertifikat obligasi yang dikeluarkan Bank Nasional Mesir yang secara total masih menggunakan sistem bunga, dan ahli lain seperti Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir dalam buku Sikap Syariah Islam terhadap Perbankan mengatakan, “Perkataan yang benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan Islam tanpa ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan perekonomian tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba. Ia juga mengatakan, “Sistem ekonomi perbankan ini memiliki perbedaan yang jelas dengan amal-amal ribawi yang dilarang Al-Qur’an yang Mulia. Karena bunga bank adalah muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengharaman riba
d.                  Pendapat A. Hasan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persis) berpendapat bahwa bunga bank seperti di negara kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 130.
e.                   Menurut musyawarah nasional alim ulama NU pada 1992 di Lampung, para ulama NU tidak memutus hukum bunga bank haram mutlak. Memang ada beberapa ulama yang mengharamkan, tetapi ada juga yang membolehkan karena alasan darurat dan alasan-alasan lain.
f.                   Hasil rapat komisi VI dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-27 Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menetapkan, bunga perbankan termasuk riba sehingga diharamkan. (Raharjo, 2013)

3.2 Saran
Penulis memahami bahwa penulisan makalah ini belum sempurna dan  memiliki banyak sekali kekurangan, sehingga penulis mengharapkan saran yang membangun agar makalah ini menjadi lebih baik.


DAFTAR RUJUKAN

Al-Jawi, M. 2004. Asas-Asas Sistem Ekonomi Islam,  (online), (Jurnal-Ekonomi.org/Asas-asas-sistem-ekonomi-islam/), diakses 24 Februari 2014.

Hakim, Lukman. 2012. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam. Jakarta: Erlangga

Kasmir. 2002. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Nasution, M.E., et all. 2007. Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Raharjo, R. 2013. Hukum Bunga Bank Dalam Islam, (http://hukum-islam.com/2013/03/hukum-bunga-bank-dalam-islam), diakses pada 24 Februari 2014.

Rahman, A. 2002. Doktrin Ekonomi Islam Jilid III. Yogyakarta: PT  Dana Bhakti Prima Yasa.

Tim Dosen PAI Universitas Negeri Malang. 2013. Pendidikan Islam Transformatif: Menuju Pengembangan Pribadi Berkarakter. Malang: Gunung Samudera.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar