Selasa, 06 Oktober 2015

SEJARAH PERANG DIPONEGORO DAN MUNCULNYA GERAKAN TANI



SEJARAH PERANG DIPONEGORO
DAN MUNCULNYA PERGERAKAN TANI



MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Sejarah Indonesia Baru
yang dibina oleh Dr. Reza Hudiyanto, M.Hum



Oleh
                                 Alde Nabil A                   (130731616734)
                                 Dwi Lidiawati                 (130731615709)
                                 Fahad Akbar                   (130731615707)
                                 Fahmi Nadzar                  (130731616736)
                                 Fensis Afifatul Hidayah  (130731616735)
                                 Kevin Yohan                   (130731607236)
                                 Latifatun Nasiroh            (130731607247)
                                





Description: C:\Users\ACER\Pictures\FOTO UM\logo um.jpg
 















UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
Oktober 2014


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2     Rumusan Masalah................................................................................... 2
1.3     Tujuan..................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sebab Perang Diponegoro........................................................................ 3
2.2 Jalannya perang Diponegoro dan akhir Perang........................................ 4
2.3 Gerakan Tani............................................................................................ 16

BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan................................................................................................... 20
3.2 Saran......................................................................................................... 21

DAFTAR RUJUKAN........................................................................................ 22



















BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kekuasaan Belanda yang begitu luas di Nusantara menyebabkan beberapa fenomena yang terjadi. Diantaranya yaitu Nusantara memiliki kebudayaan yang bercampur dengan kebudayaan Belanda, sehingga hal tersebut menyebabkan negara-negara tradisional memiliki citra yang semakin tenggelam. Pemerintahan Belanda mulai memasuki intern pemerintahan nusantara, ikut campur dalam setiap urusan sehingga mengakibatkan tidak adanya kontak dengan pemerintahan pribumi. Dalam tulisan Soejono (2008:153) bahwa Belanda melakukan intervensi yang intensif dalam persoalan-persoalan intern negara-negara, misalnya dalam soal pergantian takhta, pengangkatan pejabat-pejabat birokrasi, maupun partisipasinya dalam menentukan kebijakan politik negara. dengan demikian bahwa pemerintahan tradisional sangat bergantung pada pemerintahan Belanda.
Pengaruh kolonialisme bukan hanya terjadi dibidang politik, tetapi juga terjadi pada bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Kontak dibidang ekonomi dapat dilihat bahwa sumber daya alam dan sumber daya manusia di Nusantara diekploitasi secara besar-besaran dan diatur secara khusus oleh pemerintahan Belanda. Ekspoliatasi tersebut dilakukan bukan hanya pada sektor pertanian saja, melainkan juga dikuasai di semua sektor baik lautan, dan perkebunan yang diperintah untuk menanam tanaman-tanaman yang memiliki nilai jual yang tinggi bagi bangsa Eropa. Ekonomi rakyat pribumi tidak mendapat perhatian oleh pemerintah Belanda. Pemerintah lokal sibuk dengan urusan mereka sendiri dan bahkan jika ada yang memperhatikan penderitaan rakyat juga pemerintah tradisional akan kalah dengan pemerintah kolonial. Pengaruh dibidang-bidang lain juga sangat jelas terlihat pada masa itu. Wilayah kekuasaan kepala-kepala daerah perlahan-lahan berkurang atau bahkan hilang, dan mereka selalu berada pada pengawasan pemerintahan kolonial dalam melakukan segala macam bentuk tindakan. Hal lain yang membuat orang pribumi geram adalah pemerintahan

kolonial sering melakukan desakan-desakan kepada pemerintahan pribumi yang mengakibatkan terjadinya perjanjian. Dan perjanjian inilah yang mengakibatkan banyak kerugian dan sering mengesampingkan atau bahkan tidak memperhatikan nilai budaya yang dianut oleh masyarakat sekitar. Sehingga dalam hal tersebut mengakibatkan muncul pernyataan bahwa bangsa barat dapat merusak nilai-nilai tradisional bangsa pribumi yang telah lama dianut oleh rakyat pribumi.
Tindakan-tindakan tersebut lah yang mengakibatkan beberapa golongan pribumi melakukan antipati terhadap pemerintahan kolonial, dan pada perkembangannya, merekalah yang akan melakukan perlawanan-perlawanan yang bertujuan membebaskan wilayah-wilayahnya dari genggaman pemerintah kolonial Belanda. Perlawanan-perlawanan tersebut terjadi diberbagai daerah. Termasuk perlawanan yang terjadi pada perang Diponegoro yang dipelopori oleh pangeran Diponegoro dan Pergerakan Tani yang terjadi akibat tindakan-tindakan kolonial yang dianggap sudah diluar kesabaran rakyat pribumi.
Dari uraian diatas mengakibatkan kami tertarik untuk membahas “Perang Diponegoro Dan Pergerakan Tani” yang terjadi sekitar abad ke-19. Karena bab ini merupakan sejarah penting nusantara karena perlawanan-perlawanan diberbagai daerah merupakan tindakan awal yang dilakukan oleh rakyat pribumi dalam memberikan respon terhadap pemerintahan kolonial yang ada di Nusantara.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa penyebab terjadinya perang diponegoro?
2.      Bagaimana kronologi dan akhir dari perang diponegoro?
3.      Bagaimana pergerakan tani yang terjadi akibat tindakan yang dilakukan pemerintahan kolonial Belanda?
1.3  Tujuan
1.      Mengetahui penyebab terjadinya perang diponegoro
2.      Mengetahui kronologi dan akhir dari perang diponegoro
3.      Mengetahui pergerakan tani yang terjadi akibat tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial Belanda


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 SEBAB-SEBAB PERANG DIPONEGORO
Menurut Revolta (2008:148), pemberontakan yang dilakukan oleh pangeran diponegoro bermula dari konflik internal Keraton Yogyakarta yaitu sejak masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwana V pada tahun 1822. Pada saat itu, Raden Mas Menol yang masih berusia tiga tahun diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwana V menggantikan Sultan Hamengku Buwana IV yang meninggal dunia secara tiba-tiba. Pangeran Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengku Buwana V yang baru berusia tiga tahun, sedangkan pemerintahan dijalankan oleh Patih Danureja yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Perwalian yang seperti ini tidak disetujui oleh Pangeran Diponegoro. Revolta (2008:149) menyatakan sebagai berikut.
Pangeran Diponegoro merasa terhina ketika harus menyembah seorang bocah ingusan karena menurut tata krama keraton, setiap pangeran diwajibkan menyembah sultan dalam audiensi resmi. Ini sesuai dengan pandangan Jawa di mana sultan adalah penguasa tertinggi yang ditakdirkan Tuhan karena mendapat wahyu kerajaan.

Belanda dianggap terlalu banyak mencampuri urusan keraton. Seseorang yang diangkat oleh pihak Belanda dalam pemerintahan dianggap tidak sesuai dengan adat keraton. Berbagai aturan dan tata tertib yangditerapkan Belanda sangat merendahkan mertabat raja-raja Jawa. Tanah-tanah milik kerajaan banyak yang diambil dan dialihkan menjadi perkebunan milik pengusaha-pengusaha Belanda. Pangeran Diponegoro dibuat jengah dengan sikap Belanda yang semena-mena, tidak menghargai adat istiadat setempat, dan mengeksploitasi rakyat dengan beban pajak.
Masalah penyewaan tanah milik Keraton Yogyakarta dan Surakarta oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi dan faktor kebudayaan menjadi faktor lain yang memicu pemberontakan Pangeran Diponegoro. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana IV,banyak bangsawan yang menjadi kaya tiba-tiba dari

hasil penyewaan tanah. Hal ini menyebabkan mereka bergaya hidup mewah yang meniru gaya hidup orang-orang Belanda. Norma-norma dan nilai kehidupan Jawa dan Islam yang sakral mulai ditinggalkan. Belum lagi perilaku pejabat Belanda yang seenaknya memasuki wilayah keraton dan memiliki hubungan gelap dengan putri-putri keraton semakin membuat Pangeran Diponegoro yang berlatar belakang Islam yang taat menjadi prihatin dan resah. 
Puncak konflik terjadi pada pertengahan Mei 1825 ketika pemerintah Belanda merencanakan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang melalui Tegalrejo, ternyata jalan tersebut melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro. Kartodirdjo (1992:382) berpendapat bahwa faktor yang memicu perang adalah provoksi yangdilakukan oleh pejabat Belanda yang merencanakan pembangunan jalan baru dengan menerobros tanah milik Pangeran Diponegoro dan membongkar makam keramat yang merupakan makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Pembangunan jalan tersebut seharusnya dilakukan atas izin Pangeran Diponegoro. Tetapi kenyataannya pihak Belanda tidak meminta izin kepada Pangeran Diponegoro. Patok-patok dipasang di atas tanah milik Pangeran Diponegoro secara sengaja sebagai tanda pembuatan jalan baru. Hal ini menyebabkan Pangeran Diponegoro memutuskan untuk angkat senjata melawan Belanda. Pangeran Diponegoro memerintakan para bawahannya untuk mencabut patok-patok yangdipasang Belanda yang melewati makam. Tetapi patok-patok kembali dipasang menggunakan tombak. Insiden ini lalu membangkitkan simpati rakyat untuk membela Pangeran Diponegoro.

2.2 Perang Diponegoro
2.2.1 Kronologi Perang Diponegoro
Diponegoro telah mempersiapkan markas komandonya di Desa Selarong. Karena Selarong merupakan desa yang dianggap stategis karena sulit dijangkau oleh lawan. Pada tanggal 28 Juli 1825 Diponegoro berkumpul dengan para bangsawan yang terdiri dari Pangeran Mangkubumi, Pangeran Adinegoro, pangeran Panular, Adiwinoto, Suryodipuro, Blitar, Kiai Mojo, Pangeran Ronggo, Ngabehi Mangun Harjo, dan Pangeran Surenglogo. Diponegoro memerintahkan

Joyomenggolo, Bahuyuda, dan Hanggowikromo agar dapat memobilisasi masyarakat yang ada di desa selarong untuk siap dalam berperang. Rencana awal Diponegoro ingin menguasai daerah Yogyakarta terlebih dahulu. Diponegoro telah mempersiapkan langkah dan strategi yang matang dalam melakukan perangnya.Strategi yang disusun adalah sebagai berikut:
1. Melakukan penyerangan kepada keraton dan kemudian mencegah kedatangan pasukan yang berasal dari luar Yogyakarta.
2. Mengirimkan surat melalui Caraka, pada pemimpin pasukan, dan para demang yang ada di daerah Kesultanan dan Kesunanan. Surat-surat yang akan dikirimkan nantinya akan berisi bahwa agar memerangi orang Belanda dan Cina.
3. Membuat daftar dari bangsawan yang dianggapnya sebagai lawan dan memberikan perlindungan kepada mereka yang telah membantu.
4. Melakukan pembagian wilayah perang di kesultanan Yogyakarta dan kemudian
 mengangkat komandan dan pasukannya.
Dalam perkembangannya, Diponegoro mengubah dan memperbaiki struktur organisasi militernya dengan cara meniru organisasi dari kerajaan Turki Usmani pada abad 16-18. Diponegoro mengadopsi nama-nama aturki dengan menggunakan lafal bahasa Jawa. Pasukan elite yang disebut Boluk menjadi Bulkiyo, Bashibolbek menjadi Borjumuah, dan Turki menjadi Turkiyo. Pangkat atau pemimpin yang tertinggi adalah Alibasah. Kemudian menggunakan pangkat dulah atau agadulah yang berarti panglima Divisi. Pangkat Seh digunakan oleh para perwira. Pengangkatan pembesar militer yang dilakukan sesuai dengan surat keputusan yang resmi yang disebut dengan Piagem dari Sultan Abdul Kamid Herucokro Kabirul Mu’minin Sayidin Panotogomo, Khalifah Rasulullah Alaihi Wassalam. Tetapi Diponegoro juga tidak mengubah struktur organisasi militer yang ada di Jawa.
Senin, tanggal 2 Agustus 1825 Pangeran Diponegoro melakukan penyerangan ke Yogyakarta dengan kekuatan tiga koloni sejumlah 6000 orang. Koloni pertama yang dipimpin oleh Pangeran Abu Bakar dengan menyerang dari arah timur dengan menyerbu Dalem Pakualaman, merusak jembatan Kali Kode, menghanguskan perkampungan dari orang Cina dan Eropa, dan menghancurkan

gerbang-gerbang yang menjadi pungutan. Koloni kedua, telah berhasil menguasai jalan penghubung antara Magelang-Yogyakarta-Surakarta yang dalam hal ini dipimpin oleh Pangeran Adinegoro. Koloni Ketiga yang dipimpin oleh Pangeran Blitar yang berusaha untuk merebut keraton dan menguasai jalan raya Bantul.
Penyerangan yang dilakukan oleh Diponegoro membuat para tentara dan pemerintah Hindia Belanda menjadi terkejut dan panik. Mereka memutuskan untuk mengungsi ke benteng Vredeburg termasuk Sultan Hamnegkubuwono V yang dikawal secara ketat dalam pengungsiannya. Serangan terhadap Yogyakarta merupakan kesuksesan awal yang diperoleh dari Conspiracy of Silence Diponegoro.
Surat-surat yang telah dikirimkan mendapat respon yang baik dari Tumenggung dan para Demang. Setelah penyerangan yang dilakukan di Yogyakarta, Pangeran Serang dan Pangeran Notoprojo beserta Bupati Gagatan yang dalam kesunanan Surakarta yang melakukan pemberontakan di Pantai Utara Jawa. Pada tanggal 9 Agustus 1825 di Banyumas, khususnya desa Sembong dilakukan pemberontakan terhadap pos-pos di jalan raya yang dipimpin oleh Raden Ngabei Tersosno. Di Monconegoro dilakukan pemberontakan yang dipimpin oleh Tumenggung Mangkunegoro dan Tumenggung Kartodirjo, beserta Tumenggung Tumenggung alap-alap. Pada tanggal 23 Juli 1825 di Pisangan yang dipimpin oleh Mulyosentiko berhasil menyerang pasukan Belanda yang akan bergerak ke Yogyakarta. Pada waktu itu terjadi kepanikan oleh Bupati Danuningrat dengan adanya rumah-rumah yang dibakar, namun ternyata hal tersebut sudah mnejadi rencana perlawan yang dilakukan oleh pengikut Diponegoro. Ronggo Surodilogo, Bupati Wedana di wilayah Barat Gunung Sumbing telah menerima surat dari Diponegoro dan mangkubumi yang berisi tentang perintah masyrakat untuk berperang melawan kekafiran. Setelah Mulyosentiko berhasil, Diponegoro mengirimkan surat ke Kedu pada tanggal 31 Juli 1825, agar masyarakat Kedu siap untuk berperang. Pada tanggal 10 Oktober 1826 di dalam surat Pangeran Blitar yang diberikan kepada Sultan Sepuh dijelaskan mengenai penyebab-penyebab yang menjadi alasan pemberontakan yang dilakukan oleh Diponegoro.


Dari keberhasilan yang dicapai Pangeran Diponegoro menujukkan adanya persiapan yang dilakukan sebelumnya dalam jangka waktu yang lama. Menurut  Tim Penulisan Sejarah Indonesia (2010:237) berpendapat sebagai berikut.
Laporan tentang peristiwa 21 Juli 1825 di Tegalrejo itu diterima oleh Komisaris Jenderal Van Der Capellen pada tanggal 24 Juli 1825. Ia sangat terkejut karena sebelumnya tidak pernah mendapat laporan  dari residen tentang keadaan sebenarnya di Yogyakarta. Raad van Indie dipanggil bersidang dan memutuskan Letnan gubernur Jenderal, Letnan Jemderal  H.M. de Kock panglima tertinggi tentara Hindia Timur, diangkat sebagai komisaris untuk kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta dan diberi kekuasaan militer dan sipil untuk menumpas pemberontakan.
           
2.2.2 Akibat Perang Jawa
            Jelas sekali bahwa perang yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro atau yang oleh fihak Belanda dikenal dengan Perang Jawa telah menimbulkan efek yang luar biasa. Perlu diketahui bahwa pada saat terjadinya perang Jawa pada tahun 1825-1830 ini, di daerah Minangkabau juga sedang terjadi pemberontakan yang lebih dikenal dengan Perang Padri. Namun Belanda lebih memilih berdamai sejenak dengan pihak Minangkabau sehingga sebagian pasukan yang ada di Sumatera tersebut dapat ditarik kembali menuju Jawa. Hal ini menunjukkan betapa perang Jawa ini dianggap sebagai perang yang cukup menyulitkan bagi Belanda.
Perang ini menimbulkan akibat yang luar biasa. Menurut Wiharyanto (2006:151), “korban di pihak Belanda sebanyak 15000 tentara, terdiri dari 8000 orang Eropa, dan 7000 serdadu pribumi. Biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai perang itu tidak kurang dari 20 Juta Gulden. Disamping itu, tidak sedikit perkebunan-perkebunan swasta asing yang rusak”. Bisa disimpulkan bahwa kegiatan masyarakat disini menjadi hancur dan lenyap mengingat apa yang terjadi dalam Perang Jawa tersebut.
Selain korban jiwa yang banyak dan biaya besar yang harus dikeluarkan oleh fihak Belanda, hal ini juga berpengaruh terhadap adanya batas kerajaan di

Jawa. Menurut Wiharyanto (2006:151), “akibat perlawanan Diponegoro, maka batas-batas Surakarta dan Yogyakarta diubah, daerahnya diperkecil”. Dengan adanya pengecilan dan penyempitan wilayah kerajaan Surakarta, maka sang sultan yang kecewa akhirnya memutuskan untuk meninggalkan ibu kota. Melihat adanya hal ini, pemerintah Kolonial Belanda merasa khawatir bila akan ada Perang Jawa jilid dua. Atas dasar itulah, maka Sultan Surakarta ditangkap dan dibuang ke Ambon pada 1849. Dengan adanya hal ini, maka berakhirlah perlawanan penghabisan dari raja-raja Jawa.
Pada Pertangahan bulan september 1825, pasukan yang bertugas diluar jawa mendarat dikota-kota pelabuhan pantai utara pulau jawa sesuai dengan perintah operasi. Pasukan yang berasal dari Supa (sulawesi selatan) yang berkekuatan 561 orang dibawah jendral mayor van Geen mendarat di semarang. Kemudian ia diangkat sebagai panglima tentara di lapangan, yang bertanggung jawab atas pelaksanaan operasi. Pasukan ini langsung diperintahkan bergerak ke pedalam presiden semarang.
            Setelah seluruh pasukan di pulau jawa jendral de kock memerintahkan komandan garnisun surakarta letnal kolonel cochuis bergerak ke yogyakarta dengan kekuatan 2 kompi infantri hultroepen yaitu satu pleton huzar (infantri berkuda) dan satu kompi dragonder. Dengan susah payah pasukan cochius berhasi masuk ke yogyakarta pada hari sabtu. Tanggal 24 September 1825, pasukannya bergerak menyerbu Yogyakarta. Pasukan kolonel I berhasil memukul mundur pasukan Diponegero, dan pada hari itu Yogyakarta direbut kembali. Sepuluh orang pangeran ditangkap dan ditahan.
            Sebagian pasukannya ada yang melakukan konsolisadi dibekas keraton Pleret yang dipimpin oleh tumenggung Wirodirjo (kerto pengalasan). Dengan mengerahkan pasukan kulon progo. Sejak kegagalannya menyerbu slaron, jendral de Kock memerintahkan agar Diponegoro dan pasukannya terus dikejar. Informasi tentang keberadaan Diponegoro masih simpang siur. Pada tanggal 24 Oktober de Kock mendapat informasi bahwa Diponegoro berada di tepi barat sungai bedog. Operasi pengejaran terhadap Diponegoro langsung dipimpin oleh de Kock. Dengan mengerahkan 3 kolone (1258 orang) dengan garis awal kota

Bantul. Kolone pertama yang bergerak ke desa jeblok dihadang oleh pasukan Diponegoro sehingga terjadi pertempuran hebat. Kolone kedua dan ketiga bergerak ke kasihan. Diponegoro mengonsestrasikan kekuatannya di desa ini ketika diserbu oleh pasukan lawan.
            Di desa kaliwatan pasukan Sollewijn dihadang oleh pasukan Diponegoro. Dalam operasi pengejaran ini pasukan jendral de Kock gagal menangkap Diponegoro, tetapi berhasil membersihkan pangkalan lawan disekitar negara Yogyakarta. Sementara itu, kolonel Cochius memperoleh informasi pemusatan pasukan Diponegoro ada di Pleret bekas kraton sultan Amengkurat I yang berkekuatan 800-1000 orang. Benten bekas istana ini tingginya lebih dari 20 kaki, dan tebal sehingga sangat baik untuk bertahan. Pada tanggal 23 Agustus 1826, desa gading diduduki oleh pasukan Diponegoro untuk memutuskan jalur komunikasi Surakata-Klaten.  Dengan pasukan 10000 prajurit, pada tanggal 28 Agustus 1826 Delanggu yang dipertahankan 500 orang jatuh ke tangan Diponegoro, sejumlah kereta pengangkut uang dan logistik di rampas.
sementara itu, pasukan prajurit kiai Mojo dari pajang, bererak menuju Surakarta. Namun gerakan pasukan ini berhasil ditahan didesa gawok. Pasukan diponegoro menglami kekalahan, pada tanggal 26 Oktober  1926, Diponegoro terluka, tetapi berhasil meloloskan diri.
            Kegagalan menangkap diponegoro dan menumpas pemberontakan dengan beberapa operasi yang dilakukan oleh jenderal De Kock yang berlangsung lebih dari satu tahun mendapat kritik dari para residen. Mereka mengkritik cara – cara militer dalam melakukan operasi, seperti pembakaran, membunuh dan berbuat cela terhadap perempuan. Aksi – aksi tersebut dapat merugikan secara psikologis, psikis dan ekonomis.
            Pada tanggal 16 mei 1826, residen Surakarta MacGillavrij menulis nota yang keras kepada De kock. Ia berpendapat bahwa pemberontakan pada hakikatnya adalah perpanjangan dan kesalahan pembagian kerajaan. Ia menyarankan penyatuan kembali dua kerajaan itu, dengan menghapuskan kerajaan Yogyakarta. Pada dasarnya macgillavry tidak mempercayai raja – raja jawa yang diberi kekuasaan memerintah. Sejak awal tidak ada kepastian hukum

dan falsafah bahwa kerajaan telah takluk. Untuk mengakhiri polemik mengenai nasib kesultanan yogyakarta, De kock membentuk komisi yang menghadirkan kelompok pejabat yang menghendaki penghapusan kesultanan dan kelompok yang mempertahankan keberadaan Kesultaan Yogyakarta.
            Diponegoro dan para pembantunya, Kiai Mojo, Alibasah Sentot Prawirodirjo, dan Pangeran Bei, ternyata pemimpin perang yang genius dan tangguh sehingga mengakibatkan perang berjalan lamban. Demikian pula benteng – benteng yang dibangun dengan bahan – bahan yang seadanya, menjadi sasaran lawan untuk dihancurkan. Setelah meninggalkan wilayah pajang, Diponegoro mengkonsentrasikan kekuatannya diwilayah Mataram terutama di daerah tepi barat Sungai progo dan tepi timur Sungai Bogowonto, pegunungan Trayumas, dan pegunungan Kelir. Jendral De kock menilai bahwa Daerah ini merupakan Killing area bagi pasukan Diponegoro. Penilaian De kock ternyata keliru. Daerah ini merupakan medan yang ideal untuk melakukan perlawanan. Strategi Diponegoro dengan perlawanan inkonvensional berhadapan dengan strategi De kock yang dengan menggunakan benteng sebagai sistem senjata. Dalam pertempuran tersebut, De kock berhasil mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Akibatnya, pasukan Diponegoro terkuras energinya, posisinya terdesak, dan semangat berperangnya merosot.
            Pada bulan September 1829, Diponegoro bersama Sentot melakukan konsolidasi dan konsentrasi pasukan di desa Siluk (Selo), di kaki Pegunungan Selarong. Desa Siluk kemudian diserang oleh pasukan Cochius, sehingga terjadi pertempuranyang menentukan (decisive battle). Pasukan Diponegoro mengalami kekalahan, akan tetapi Diponegoro dan Sentot Prawirodirjo berhasil meloloskan diri. Akibat tekanan dan kejar – kejaran secara terus menerus yang dilakukan oleh pasukan jenderal De Kock, akhirnya Sentot menyerah pada bulan Oktober 1829. Diponegoro masih meloloskan diri ke arah barat melakukan konsolidasi di daerah Bagelen.
            Pada akhir tahun 1829, Diponegoro beserta sisa pasukannya telah secara jelas diketahui posisinya, yang secara militer tidak ada artinya lagi, tinggal diserbu dan Diponegoro ditembak mati. Mengapa jenderal De kock tidak berbuat

 demikian?  Ia sadar, tatkala ia mengumumkan akan memberikan hadiah bagi siapa yang dapat menyerahkan Diponegoro hidup atau mati akan diberikan hadiah uang sebesar Sp.M 20.000, akan tetapi tidak seorang jawa pun yang menanggapi. Hal ini berarti pengaruh dari Diponegoro yang sangat besar dikalangan masyarakat jawa, sekalipun mereka berpihak kepada jenderal De kock. Ia kemudian dihadapkan pada dua pilihan, yaitu menyerbu dan mengejar (Vervolging) atau melakukan tipu daya (Overriding). Kemudian De Kock memilih pilihan yang kedua yaitu memperdaya dan membujuk Diponegoro agar ia keluar dari ‘‘Kantong Pertahanannya’’ secara damai, kemudian menangkapnya. Ia ingin mengeksploitasi nilai – nilai budaya dan karakter ksatria bangsawan jawa sebagai kelemahan. Nilai – nilai dan karakter ksatria tersebut ada pada pribadi Diponegoro.
            Pada tanggal 9 februari 1830, Cleerens mengutus bekas orang kepercayaan Diponegoro, penghulu Pake Ibrahim dan kaji Baharuddin untuk menghubungi Diponegoro dan menyampaikan pesan bahwa kolonel Cleerens ingin bertamu untuk menyampaikan keinginan berdamai dari jenderal De kock. Tatkala pada saat pembicaraan itu berlangsung, jenderal De Kock memerintahkan kepada mayor Michiels untuk melucuti pengawal Diponegoro. Michiels pun menuju asrama Diponegoro. Sejumlah 1400 orang dilucuti senjatanya, dilanjutkan ke pengawal yang ada di halaman depan kepresidenan. Jendral De kock kemudian melarang Diponegoro meninggalkan tempat.
            Setelah Diponegoro sadar bahwa ia telah tertipu, ia menyatakan bahwa dialah yang bersalah dan bertanggung jawab atas pecahnya peperangan. Namun, Diponegoro menolak perintah untuk menyerah dan mengatakan lebih baik ia mati. Jendral De kock yang telah berpengalaman bergaul dengan para pemimpin dan bangsawan jawa, mengenali karakter dan nilai – nilai yang mereka anut. Nilai – nilai yang dianggap sebagai luhur oleh orang jawa, yang juga dimiliki oleh Diponegoro, dieksploitasi sebagai kelemahannya, digunakan untuk memukul mereka kembali. Dengan pilihan yang kedua membuktikan bahwa jenderal De Kock mampu mengalahkan orang jawa dengan nilai budayanya sendiri, menang

tanpa ngarsoken yang artinya adalah mencapai kemenangan tanpa merendahkan derajat orang yang dikalahkan.
            Kedatangan de Kock di Surakarta mendapat sambutan yang baik oleh pejabat Belanda ataupun Kesunanan. De Kock menyadari bahwa harus ada kerja keras dalam menghadapi kesulitan yang ada di Yogyakarta dan Surakarta. Rencana yang dibuat de Kock adalah dipanggilnya pasuka dari luar jawa agar segera datang di jawa dan mencarai informasi tentang lawannya.
            Pada bulan Februari 1830, Letnan Kolonel Cleerens berhasil menemukan persembunyian Pangeran Diponegoro dan segera mengirim berita untuk berunding. Jendral De Kock mengutus Letnan Kolonel Cleerens sendiri untuk mengirim berita tentang perundingan bukan tanpa alasan. Rupa-rupanya, ia merupakan seorang yang fasih berbahasa Jawa serta memahami bagaimana adat istiadat orang Jawa (Adi, 2014:115). Pangeran Diponegoro sendiri menolak berunding dengan Letnan Kolonel Cleerens sebagai perwakilan Hindia Belanda karena dianggap tidak sebanding dengan Pangeran Diponegoro. Oleh karena itu, terjadi kesepakatan untuk melakukan perundingan dengan Jendral De Kock, dengan syarat perundingan ini bukanlah untuk melakukan penyerahan diri Pangeran Diponegoro terhadap fihak Belanda, oleh karena itu, Pangeran Diponegoro tetap dianggap sebagai orang bebas setelah terjadinya perundingan, entah perundingan terjadi kesepakatan ataupun tidak. Selain itu, sambil menunggu adanya perundingan, terjadi kesepakatan untuk melakukan gencatan senjata hingga perundingan selesai.
            Perundingan ini dilakukan di Magelang seusai bulan puasa, untuk menghormati pasukan Pangeran Diponegoro yang muslim. Pada tanggal 1 Maret 1830, Pangeran Diponegoro sampai di Kota Magelang bersama 800 pasukannya. Untuk kepentingan ini, fihak Belanda memberikan 5000 Gulden untuk menjamin keberlangsungan hidup Pangeran Diponegoro beserta pasukannya (Adi, 2014:117). Pada tanggal 28 Maret, pada pukul 8 pagi, seusai shalat Idul Fitri, seperti muslim pada umumnya, Pangeran Diponegoro saling bersilaturahmi, juga melakukan kunjungan ke rumah seorang Residen Kedu, juga untuk melakukan perundingan dengan Jendral De Kock

Ketika sampai di halaman depan rumah Residen, Pangeran Diponegoro disambut dengan upacara militer Belanda yang sangat megah. Hal ini dilakukan untuk meninggikan hati Pangeran Diponegoro sehingga merasa tersanjung. Pangeran Diponegoro diantarkan oleh ajudan dari Jendral De Kock yang telah menunggu di dalam ruangan. “Selain Jendral De Kock, di dalam ruangan juga telah hadir Vlack (Residen Kedu), Sevenhoven (Residen Yogyakarta), Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Steurs, dan Kapten Roeps sebagai juru bahasa atau penterjemah” (Adi, 2014:118). Di lain ruang, juga ada beberapa opsir Belanda yang menemani para pengawal Pangeran Diponegoro karena memang mereka juga diperbolehkan untuk ikut memasuki rumah Residen Kedu. Seorang Mayor bernama Michiels diperintahkan untuk menyiagakan pasukannya diseluruh kota untuk menjaga bila terjadi hal-hal yang tidak di inginkan.
             Pangeran Diponegoro sendiri didampingi oleh Pangeran Martonegoro, seorang putranya sendiri, serta Kyai Badarudin. Namun rupanya, fihak Belanda telah melakukan persiapan yang sangat matang karena pasukan yang disiagakan oleh Belanda hingga meliputi dea-desa sekitar. Pasukan artiler disiagakan di sebelah utara, sedangkan Kavaleri berada di selatan. Kolonel Cleerens, yang sebelumnya melakukan kesepakatan dengan Pangeran Diponegoro untuk memberikan hak kebebasan dan kekebalan hukum sengaja tidak dihadirkan agar Pangeran Diponegoro tidak dapat menuntut janjinya.
            Dalam pertemuan itu, Pangeran Diponegoro menyatakan tidak akan berunding dengan fihak Belanda dan menyatakan bahwa kedatangan mereka hanya sekedar bersilaturahmi. Jawaban tersebut segera ditolak oleh Jenddral De Kock karena sudah dari sekian lama hari ia menyiapkan akan adanya hari perundingan ini. Perundingan didesakkan oleh Jendral De Kock dengan dalih bahwa rakyat telah jemu dengan adanya peperan, serta telah merindukan adanya kedamaian diantara mereka.
            Setelah berunding dengan dengan pendampingnya, Pangeran Diponegoro mengajukan beberapa syarat. Yang pertama adalah dibentuknya sebuah Negara merdeka di luar Yogyakarta, serta disyahkan sebagai pemimpin umat Islam di Jawa. Bila tuntutan tersebut di kabulkan, Pangeran Diponegoro menjamin akan

adanya ketentraman diantara dua fihak. Fihak Belanda sendiri merasa keberatan dengan tuntutan tersebut, karena di Jawa telah ada dua raja, yaitu Yogyakarta dan Surakarta sebagai pelindung rakyat Jawa, serta pemimpin agama Islam di Jawa.
            Perundingan berlangsung selama dua jam tetapi masih menghasilkan kebuntuan. Fihak Belanda kemudian menawarkan kekebalan diplomatic apabila Pangeran bersedia kembali ke Kraton Yogyakarta serta hak-hak istimewa lainnya bila Pangeran Diponegoro tidak mengajukan diri sebagai seorang raja. Namun, pangeran Diponegoro rupanya masih tetap teguh kepada pendiriannya sehingga De Kock merasa bahwa Pangeran Diponegoro adalah seorang yang keras kepala sehingga akhirnya perundingan dihentikan untuk menata perasaan masing-masing. De Kock sendiri terus membujuk Pangern Diponegoro untuk mengurangi tuntutannya. Fihak Belanda menganggap permintaan Diponegoro terlampau tinggi, bahkan dalam lima tahun belakangan, Pangeran Diponegoro telah dianggap sebagai seorang pemberontak yang seharusnya legal untuk ditangkap.
            Pangeran Diponegoro segera berdiri untuk pulang ke pegunungan Menoreh dan berjanji untuk melakukan gencatan senjata hingga perundingan selanjutnya berlangsung. Namun rupanya, perundingan yang aru saja dilewati oleh Pangeran Diponegoro adalah sisasat dari fihak Belanda, untuk emnangkap Pangeran Diponegoro. De Kock mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro tidak diperkenankan untuk pulang dan mengobarkan perang melawan Belanda. De Kock segera berteriak sambil menodongkan pistol kea rah Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro sendiri tetap tegar dan menyatakan bahwa De Kock telah berlaku khianat serta menipu karena melanggar janji.
            Di luar kantor residen, rupa-rupanya pasukan Belanda telah melucuti senjata para pengawal dari Pangeran Diponegoro. Rakyat yang telah menunggu di depan rumah residen tidak dapat berlaku apa-apa. De Kock menyatakan, bila ia tidak mencapai kata mufakat dengan Pangeran Diponegoro, ia akan membawa Pangeran Diponegoro untuk menemui Gubernur Hindia Belanda di Batavia. Ketika Pangeran Diponegoro meminta pendapat kepada putra dan menantunya, mereka hanya menundukkan kepala karena kebuntuan pikiran. Akhirnya

kekerasan hati Pangeran Diponegoro luluh juga. Hari itu juga, pada pukul 11.00 Pangeran Diponegoro dibawa ke Semarang dengan kawalan 1 detasemen Belanda.
            Pada tanggal 5 April, Pangeran Diponegoro di berangkatkan ke Batavia dengan menggunakan kapal SS Van der Capellen yang segera tiba pada 8 April. Pangeran Diponegoro dibawa menuju ke Stadhuis atau musium Fatahilah sekarang sambil menunggu pertemuannya dengan Van den Bosch. Namun Van den Bosch menolak untuk bertemu dengan Pangeran Diponegoro serta tidak mengabulkan permintaannya karena dianggap sebagai orang yang berbahaya. Pada saat itulah, Pangeran Diponegoro merasa benar-benar telah tertipu. Pangeran Diponegoro segera dijatuhi hukuman pembuangan pada 30 April yang segera saja diberangkatkan pada 3 Mei dengan tujun Manado menggunakan KapalCorvette Pollux. Kapal terebut berlabuh pada tanggal 12 Juni 1830. Dengan pertimbangan bahwa kota Manado belum cuku p kuat untuk menahannya, serta adanya perselisihan dengan Residen Manado, J.P.C Cambier, yang ditamparnya karena dianggap tidak sopan dan berlaku congkak, serta kurang ajar, maka pada tahun 1834 Pangeran Diponegoro dipindahkan menuju Benteng Rotterdam di Makassar.
Dalam pengasingannya, Pangeran Diponegoro menggubah sebuah babad yaitu Babad Diponegoro berjumlah 4 jilid, 1357 halaman. Pada tanggal 8 Januari 1855, dipagi hari seusai melaksanakan shalat subuh, Pangeran Diponegoro wafat dalam usia 70 tahun. Beliau dimakamkan disamping makam anaknya yang telah meninggal terlebih dahulu. Kabarnya, beliau telah menyisihkan uang tunjangan dari Belanda untuk melaksanakan ibadah haji. Namun permintaan ini ditolak oleh Belanda. Fihak Keraton Yogyakarta yang mendengar berita meninggalnya Pangeran Diponegoro segera meminta pengikut serta keluarga dari Pangeran Diponegoro untuk pulang ke Jawa. Namun hal ini ditolak dengan alas an untuk menjaga makam Pangeran Diponegoro, sehingga dikirimkan uang rutin kepada mereka.

2.3 Pergerakan Tani
2.3.1. Latar Belakang Pergerakan Tani


Gerakan sosial lahir dari situasi yang dihadapi masyarakat karena adanya ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang terhadap rakyat. Menurut Bruje J Cohen, gerakan sosial politik adalah gerakan yang dilakukan sekelompok individu yang terorganisasi untuk merubah (perubahan) ataupun mempertahankan (konservatif) unsur tertentu dari amsyarakat yang lebih luas. Dengan kata lain, gerakan sosial lahir sebagai reaksi terhadap sesuatu yang tidak diinginkannya atau menginginkan perubahan yang ideal.
Salah satu gerakan sosial adalah tentang Gerakan Petani. Gerakan ini merupakan salah satu gerakan yang cukup popular pada masa itu, meskipun memang seringkali tidak mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan (gagal). Namun, menarik untuk dikaji bagaimana gerakan tersebut muncul, dan mampu menunjukkan eksistensi para petani untuk menuntut hak-hak para petani. Pada masa VOC, kewajiban para penguasa lokal untuk menyerahkan hasil pertanian menjadikan tekanan terhadap petani bertambah kuat. Demikian juga di masa pendudukan Inggris, telah diperkenalkan pajak tanah berupa uang, menggantikan penyerahan wajib (upeti). Kenyataannya, pajak tanah yang dikenakan oleh pemerintah penjajahan sangat tinggi dan banyak kaum tani yang tidak mampu untuk membayar pajak. Untuk membayar pajak tersebut, tidak jarang banyak kaum tani yang harus menjual tanahnya dan kemudian terpaksa menjadi buruh di perkebunan.
Kemudian pada tahun 1811 kekuasaan berada di bawah Thomas Stamford Raffles. Dalam pemerintahannya yang singkat (1811-1816), Raffles menerapkan sistem domein theory. Intinya, semua tanah di negeri Hindia Belanda adalah "milik raja atau pemerintah". Atas dasar kebijakan itu pula, Raffles melakukan penarikan pajak bumi yang dikenal sebagai landrente, dimana petani wajib membayar pajak 2/5 dari hasil tanahnya. Pajak ini berdasarkan asumsi, rakyat-para petani pribumi adalah penyewa. Sedangkan pemilik tanah adalah pemerintah kolonial. Perang Jawa menyebabkan kerugian besar di pihak pemerintah Belanda baik berupa kerugian finasial (keuangan) maupun kehilangan pasukan dalam jumlah yang sangat besar. Namun pada akhirnya perang Jawa

mengalami kegagalan dan dapat dihancurkan oleh Belanda karena dua sebab utama yaitu pertama, masih bersifat lokal atau kedaerahan karena hanya mencakupi wilayah DIY dan sebagian Jawa Tengah.
Setelah perang tersebut, Belanda mengalami kerugian yang cukup besar. Oleh karena itu, Belanda melalui Gubernur Jenderal Van den Bosch menerapkan  Cultuurstelsel (sistem tanam paksa) pada tahun 1830. Tujuannya jelas yaitu untuk menutup kerugian finansial yang dialami akibat perang Jawa selam 5 tahun. Menurut Frederick dan Soeroto (1984: 230) mengatakan “Namun pada kenyataannya, pelaksanaan cultuurstelsel lebih parah daripada aturan formalnya, karena prakteknya kaum tani harus menyerahkan seluruh tanahnya untuk tanam paksa. Bahkan juga seluruh tenaga kerjanya harus diserahkan untuk mengurus tanaman ekspor yang mereka tidak pernah merasakan hasilnya”. Apalagi pemerintah Belanda menggunakan penguasa feodal lokal seperti Bupati, Residen dan Kepala Desa untuk memaksa kaum tani menyerahkan tanah dan tenaga kerjanya. Tercatat sampai akhir tahun 1870, keuntungan yang diperoleh pemerintah Belanda mencapai 725 juta gulden, yang kemudian dapat untuk membayar hutang-hutang mereka dan menjadi bagian terbesar yang menopang anggaran belanja negeri Belanda. Tetapi di sisi lain, menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan yang amat sangat di kalangan kaum tani. Bencana kelaparan dan penyakit menyerang rakyat khususnya kaum tani di Jawa. Krisis ekonomi melanda pulau Jawa secara luas pada akhir tahun 1880.  Selama kurun waktu tersebutlah, kaum tani tidak berhenti melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda.

2.3.2 Sebab-Sebab Pemberontakan Tani
Gerakan potes petani disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya, gerakan-gerakan para petani menunjukkan bahwa masyarakat menghendaki perbaikan kehidupan. Gerakan protes ini umumnya baru berakhir setelah para pemimpinnya ditangkap atau dibujuk oleh Pemerintah Belanda. Ideologi pokok yang mendorong gerakan ini adalah adanya rasa dendam terhadap keadaan sosial

ekonomi bagi pendukungnya. Kejadian Gerakan Protes Petani Diberbagai Daerah, beberapa contoh gerakan protes yang terjadi di berbagai daerah :
1.        Kerusuhan Ciomas
Terjadi 19 Mei 1886 dipimpin Muhammad Idris di Lereng Gunung Salak (Jawa Barat) disebabkan beban pembayaran pajak yang berat, kerja paksa, dan berbagai tindakan pemerasan lain.
2.      Kerusuhan di Campea Purwakarta
Terjadi Mei 1913 saat para petani mendatangi rumah Bupati dan pejabat Kontrolir untuk menuntut penurunan pajak dan tindakan, kekeliruan dalam pengukuran tanah.
3.      Kerusuhan di Condet Batavia (Jakarta)
Terjadi pada 1916 di Partikelir Tanjung Oost (Condet, Jakarta Timur sekarang) dipimpin oleh Entong Gendut. Sasarannya ialah tuan tanah yang sering melakukan pemerasan, perusuh sempat menguasai Meester Cornelis (sekarang Jati Negara).
4.      Kerusuhan di Tangerang
Terjadi tahun 1924 dipimpin oleh Kaiin ditujukan terhadap tuan tanah atau pejabat pemerintahan di Tanah Pangkalan, Distrik Kebayoran.
5.      Pemberontakan di Surabaya,Terjadi tahun 1916, dipimpin oleh Sadikin.
Selain itu, pada tahun 1830 - 1908 memang terjadi banyak sekali gerakan resistensi dari para petani. Namun, peristiwa itu dapat digagalkan oleh Belanda karena beberapa sebab, antara lain:
a.       Perjuangan masih bersifat kedaerahan, artinya perlawanan para petani di berbagai daerah tidak terkoordinasi secara utuh.
b.      gerakan perlawanan masih dimotori oleh para tokoh lokal sehingga tidak mempunyai strategi yang cukup matang untuk meraih tujuan gerakan.
Gerakan petani sebenarnya juga pernah terjadi di beberapa negara, seperti     Brazil, Meksiko, dan Filipina. Dan seringkali muncul pada negara-negara yang mengusung kapitalisme. Alasan pertama, tumbuhnya Made of Production, kapitalisme di negara manapun senantiasa akan mengakibatkan proses ganda, yakni melepaskan petani dari ikatan dengan tanah tertaniannya dan

mengintegrasikan tanah tersebut kepada modal. Kedua, karakter produksinya yang ditujukan untuk penjualan. Suatu barang selain punya nilai guna (use value) juga memiliki nilai tukar (exchange value). Dalam kacamata inilah, kapitalisme memandang bahwa setiap proses produksi harus memiliki nilai tukar untuk diperdagangkan.
Dari pendapat tersebut, sebenarnya dapat menjawab mengapa pada masa kolonial terjadi gerakan petani di Indonesia. Apalagi, konsep tanam paksa yang pada implementasinya sangat menyengsarakan para petani. Hal itulah yang mendorong semangat para petani untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
























BAB III
PENUTUP
3.1  Simpulan
1.    Penyebab secara umum perang diponegoro adalah pada adanya ikut campur tangan pemerintahan kolonial yang begitu besar terhadap pemerintahan pribumi, dan melakukan berbagai tindakan yang tidak sesuai dengan tata hidup pribumi, baik dibidang politik, ekonomi, sosial-budaya dan lain-lain. Sebab khusus yang mempelopori perang diponegoro adalah pertengahan Mei 1825 ketika pemerintah Belanda merencanakan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang melalui Tegalrejo, ternyata jalan tersebut melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro.
2.    Jalanya perang diponegoro adalah dengan memberi surat-surat terhadap pemerintahan daerah-daerah lain mengatas namakan melawan kekafiran dan surat-surat tersebut mendapat sambutan yang luar biasa dari daerah-daerah. Perang berlangsung dengan begitu banyak pasukan yang berasal dari daerah-daerah tersebut. Sehingga mengakibatkan nampaknya perang Jawa ini dianggap sebagai perang yang besar oleh Belanda. Akhir dari perang Diponegoro adalah korban di pihak Belanda sebanyak 15000 tentara, terdiri dari 8000 orang Eropa, dan 7000 serdadu pribumi. Biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai perang itu tidak kurang dari 20 Juta Gulden. Disamping itu, tidak sedikit perkebunan-perkebunan swasta asing yang rusak”. Bisa disimpulkan bahwa kegiatan masyarakat disini menjadi hancur dan lenyap mengingat apa yang terjadi dalam Perang Jawa tersebut.
3.    Gerakan petani adalah salah satu potret bagaimana kondisi yang terjadi pada masa kolonial. Tetapi di sisi lain, menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan yang amat sangat di kalangan kaum tani. Bencana kelaparan dan penyakit menyerang rakyat khususnya kaum tani di Jawa. Krisis ekonomi melanda pulau Jawa secara luas pada akhir tahun 1880. Bagaimana implementasi kebijakan-kebijakan para pemerintah kolonial yang memberikan ketidakadilan dan menyengsarakan rakyat menjadi pemicu semangat perjuangan para petani

dan Selama kurun waktu tersebutlah, kaum tani tidak berhenti melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Gerakan potes petani disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya, gerakan-gerakan para petani menunjukkan bahwa masyarakat menghendaki perbaikan kehidupan. Gerakan protes ini umumnya baru berakhir setelah para pemimpinnya ditangkap atau dibujuk oleh Pemerintah Belanda. Ideologi pokok yang mendorong gerakan ini adalah adanya rasa dendam terhadap keadaan sosial ekonomi bagi pendukungnya.
3.2 Saran
Demikianlah hasil makalah yang kami paparkan, apabila ada kekurangan atau kelebihan dalam pemaparan tersebut kami mohon maaf. Kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan dan semoga hasil makalah yang telah kami kerjakan sangat bermafaat bagi pembaca.













                                                                                                         


DAFTAR PUSTAKA
Wiharyanto, A.K. 2006. Sejarah Indonesia Madya Abad XVI-XIX. Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma.
Adi, A.K. 2014. Diponegoro Ksatria Perang Jawa. Yogyakarta : Matapadi Pressindo.
Revolta, Raka. 2008. Konflik Berdarahdi Tanah Jawa: Kisah Para Pemberontak Jawa. Yogyakarta: Bio Pustaka.
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Frederick, W. H dan Soeroto, S. 1984. Pemahaman Sejarah Indonesia: Sesudah dan Sebelum. Jakarta: Pustaka LPES Indonesia.
Soejono, R. P, Leirissa. R.Z. 2008. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka


Tidak ada komentar:

Posting Komentar