SEJARAH
PERANG DIPONEGORO
DAN
MUNCULNYA PERGERAKAN TANI
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Sejarah Indonesia Baru
yang dibina oleh Dr. Reza Hudiyanto, M.Hum
Oleh
Alde
Nabil A (130731616734)
Dwi
Lidiawati (130731615709)
Fahad
Akbar (130731615707)
Fahmi
Nadzar (130731616736)
Fensis
Afifatul Hidayah (130731616735)
Kevin
Yohan (130731607236)
Latifatun
Nasiroh (130731607247)
![]() |
UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
JURUSAN
SEJARAH
Oktober
2014
DAFTAR
ISI
DAFTAR ISI....................................................................................................... i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang........................................................................................ 1
1.2 Rumusan
Masalah................................................................................... 2
1.3 Tujuan..................................................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sebab Perang
Diponegoro........................................................................ 3
2.2 Jalannya perang
Diponegoro dan akhir Perang........................................ 4
2.3 Gerakan Tani............................................................................................ 16
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan................................................................................................... 20
3.2 Saran......................................................................................................... 21
DAFTAR RUJUKAN........................................................................................ 22
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekuasaan
Belanda yang begitu luas di Nusantara menyebabkan beberapa fenomena yang
terjadi. Diantaranya yaitu Nusantara memiliki kebudayaan yang bercampur dengan
kebudayaan Belanda, sehingga hal tersebut menyebabkan negara-negara tradisional
memiliki citra yang semakin tenggelam. Pemerintahan Belanda mulai memasuki
intern pemerintahan nusantara, ikut campur dalam setiap urusan sehingga
mengakibatkan tidak adanya kontak dengan pemerintahan pribumi. Dalam tulisan
Soejono (2008:153) bahwa Belanda melakukan intervensi yang intensif dalam
persoalan-persoalan intern negara-negara, misalnya dalam soal pergantian
takhta, pengangkatan pejabat-pejabat birokrasi, maupun partisipasinya dalam
menentukan kebijakan politik negara. dengan demikian bahwa pemerintahan tradisional
sangat bergantung pada pemerintahan Belanda.
Pengaruh
kolonialisme bukan hanya terjadi dibidang politik, tetapi juga terjadi pada
bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Kontak dibidang ekonomi dapat dilihat bahwa
sumber daya alam dan sumber daya manusia di Nusantara diekploitasi secara
besar-besaran dan diatur secara khusus oleh pemerintahan Belanda. Ekspoliatasi
tersebut dilakukan bukan hanya pada sektor pertanian saja, melainkan juga dikuasai
di semua sektor baik lautan, dan perkebunan yang diperintah untuk menanam
tanaman-tanaman yang memiliki nilai jual yang tinggi bagi bangsa Eropa. Ekonomi
rakyat pribumi tidak mendapat perhatian oleh pemerintah Belanda. Pemerintah
lokal sibuk dengan urusan mereka sendiri dan bahkan jika ada yang memperhatikan
penderitaan rakyat juga pemerintah tradisional akan kalah dengan pemerintah
kolonial. Pengaruh dibidang-bidang lain juga sangat jelas terlihat pada masa
itu. Wilayah kekuasaan kepala-kepala daerah perlahan-lahan berkurang atau
bahkan hilang, dan mereka selalu berada pada pengawasan pemerintahan kolonial
dalam melakukan segala macam bentuk tindakan. Hal lain yang membuat orang
pribumi geram adalah pemerintahan
kolonial sering melakukan
desakan-desakan kepada pemerintahan pribumi yang mengakibatkan terjadinya
perjanjian. Dan perjanjian inilah yang mengakibatkan banyak kerugian dan sering
mengesampingkan atau bahkan tidak memperhatikan nilai budaya yang dianut oleh
masyarakat sekitar. Sehingga dalam hal tersebut mengakibatkan muncul pernyataan
bahwa bangsa barat dapat merusak nilai-nilai tradisional bangsa pribumi yang
telah lama dianut oleh rakyat pribumi.
Tindakan-tindakan
tersebut lah yang mengakibatkan beberapa golongan pribumi melakukan antipati terhadap
pemerintahan kolonial, dan pada perkembangannya, merekalah yang akan melakukan
perlawanan-perlawanan yang bertujuan membebaskan wilayah-wilayahnya dari
genggaman pemerintah kolonial Belanda. Perlawanan-perlawanan tersebut terjadi
diberbagai daerah. Termasuk perlawanan yang terjadi pada perang Diponegoro yang
dipelopori oleh pangeran Diponegoro dan Pergerakan Tani yang terjadi akibat
tindakan-tindakan kolonial yang dianggap sudah diluar kesabaran rakyat pribumi.
Dari uraian
diatas mengakibatkan kami tertarik untuk membahas “Perang Diponegoro Dan Pergerakan Tani” yang terjadi sekitar abad
ke-19. Karena bab ini merupakan sejarah penting nusantara karena
perlawanan-perlawanan diberbagai daerah merupakan tindakan awal yang dilakukan
oleh rakyat pribumi dalam memberikan respon terhadap pemerintahan kolonial yang
ada di Nusantara.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
penyebab terjadinya perang diponegoro?
2. Bagaimana
kronologi dan akhir dari perang diponegoro?
3. Bagaimana
pergerakan tani yang terjadi akibat tindakan yang dilakukan pemerintahan
kolonial Belanda?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui
penyebab terjadinya perang diponegoro
2. Mengetahui
kronologi dan akhir dari perang diponegoro
3. Mengetahui
pergerakan tani yang terjadi akibat tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan
kolonial Belanda
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 SEBAB-SEBAB PERANG
DIPONEGORO
Menurut
Revolta (2008:148), pemberontakan yang dilakukan oleh pangeran diponegoro
bermula dari konflik internal Keraton Yogyakarta yaitu sejak masa kepemimpinan
Sultan Hamengku Buwana V pada tahun 1822. Pada saat itu, Raden Mas Menol yang
masih berusia tiga tahun diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwana V menggantikan
Sultan Hamengku Buwana IV yang meninggal dunia secara tiba-tiba. Pangeran
Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengku
Buwana V yang baru berusia tiga tahun, sedangkan pemerintahan dijalankan oleh
Patih Danureja yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Perwalian yang
seperti ini tidak disetujui oleh Pangeran Diponegoro. Revolta (2008:149)
menyatakan sebagai berikut.
Pangeran
Diponegoro merasa terhina ketika harus menyembah seorang bocah ingusan karena
menurut tata krama keraton, setiap pangeran diwajibkan menyembah sultan dalam
audiensi resmi. Ini sesuai dengan pandangan Jawa di mana sultan adalah penguasa
tertinggi yang ditakdirkan Tuhan karena mendapat wahyu kerajaan.
Belanda dianggap terlalu banyak
mencampuri urusan keraton. Seseorang yang diangkat oleh pihak Belanda dalam
pemerintahan dianggap tidak sesuai dengan adat keraton. Berbagai aturan dan
tata tertib yangditerapkan Belanda sangat merendahkan mertabat raja-raja Jawa.
Tanah-tanah milik kerajaan banyak yang diambil dan dialihkan menjadi perkebunan
milik pengusaha-pengusaha Belanda. Pangeran Diponegoro dibuat jengah dengan
sikap Belanda yang semena-mena, tidak menghargai adat istiadat setempat, dan
mengeksploitasi rakyat dengan beban pajak.
Masalah penyewaan tanah milik Keraton
Yogyakarta dan Surakarta oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi dan faktor
kebudayaan menjadi faktor lain yang memicu pemberontakan Pangeran Diponegoro. Pada
masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana IV,banyak bangsawan yang menjadi kaya
tiba-tiba dari
hasil
penyewaan tanah. Hal ini menyebabkan mereka bergaya hidup mewah yang meniru
gaya hidup orang-orang Belanda. Norma-norma dan nilai kehidupan Jawa dan Islam
yang sakral mulai ditinggalkan. Belum lagi perilaku pejabat Belanda yang seenaknya
memasuki wilayah keraton dan memiliki hubungan gelap dengan putri-putri keraton
semakin membuat Pangeran Diponegoro yang berlatar belakang Islam yang taat
menjadi prihatin dan resah.
Puncak konflik terjadi pada pertengahan
Mei 1825 ketika pemerintah Belanda merencanakan pembangunan jalan dari
Yogyakarta ke Magelang melalui Tegalrejo, ternyata jalan tersebut melintasi
makam leluhur Pangeran Diponegoro. Kartodirdjo (1992:382) berpendapat bahwa
faktor yang memicu perang adalah provoksi yangdilakukan oleh pejabat Belanda yang
merencanakan pembangunan jalan baru dengan menerobros tanah milik Pangeran
Diponegoro dan membongkar makam keramat yang merupakan makam dari leluhur
Pangeran Diponegoro. Pembangunan jalan tersebut seharusnya dilakukan atas izin
Pangeran Diponegoro. Tetapi kenyataannya pihak Belanda tidak meminta izin
kepada Pangeran Diponegoro. Patok-patok dipasang di atas tanah milik Pangeran
Diponegoro secara sengaja sebagai tanda pembuatan jalan baru. Hal ini
menyebabkan Pangeran Diponegoro memutuskan untuk angkat senjata melawan
Belanda. Pangeran Diponegoro memerintakan para bawahannya untuk mencabut
patok-patok yangdipasang Belanda yang melewati makam. Tetapi patok-patok
kembali dipasang menggunakan tombak. Insiden ini lalu membangkitkan simpati
rakyat untuk membela Pangeran Diponegoro.
2.2
Perang Diponegoro
2.2.1
Kronologi Perang Diponegoro
Diponegoro telah mempersiapkan markas
komandonya di Desa Selarong. Karena Selarong merupakan desa yang dianggap
stategis karena sulit dijangkau oleh lawan. Pada tanggal 28 Juli 1825
Diponegoro berkumpul dengan para bangsawan yang terdiri dari Pangeran Mangkubumi,
Pangeran Adinegoro, pangeran Panular, Adiwinoto, Suryodipuro, Blitar, Kiai
Mojo, Pangeran Ronggo, Ngabehi Mangun Harjo, dan Pangeran Surenglogo.
Diponegoro memerintahkan
Joyomenggolo,
Bahuyuda, dan Hanggowikromo agar dapat memobilisasi masyarakat yang ada di desa
selarong untuk siap dalam berperang. Rencana awal Diponegoro ingin menguasai
daerah Yogyakarta terlebih dahulu. Diponegoro telah mempersiapkan langkah dan
strategi yang matang dalam melakukan perangnya.Strategi yang disusun adalah
sebagai berikut:
1. Melakukan penyerangan kepada keraton dan kemudian mencegah kedatangan pasukan yang berasal dari luar Yogyakarta.
1. Melakukan penyerangan kepada keraton dan kemudian mencegah kedatangan pasukan yang berasal dari luar Yogyakarta.
2.
Mengirimkan surat melalui Caraka, pada pemimpin pasukan, dan para demang yang
ada di daerah Kesultanan dan Kesunanan. Surat-surat yang akan dikirimkan
nantinya akan berisi bahwa agar memerangi orang Belanda dan Cina.
3.
Membuat daftar dari bangsawan yang dianggapnya sebagai lawan dan memberikan perlindungan
kepada mereka yang telah membantu.
4.
Melakukan pembagian wilayah perang di kesultanan Yogyakarta dan kemudian
mengangkat komandan dan pasukannya.
Dalam perkembangannya, Diponegoro
mengubah dan memperbaiki struktur organisasi militernya dengan cara meniru
organisasi dari kerajaan Turki Usmani pada abad 16-18. Diponegoro mengadopsi
nama-nama aturki dengan menggunakan lafal bahasa Jawa. Pasukan elite yang
disebut Boluk menjadi Bulkiyo, Bashibolbek menjadi Borjumuah, dan Turki menjadi
Turkiyo. Pangkat atau pemimpin yang tertinggi adalah Alibasah. Kemudian
menggunakan pangkat dulah atau agadulah yang berarti panglima Divisi. Pangkat
Seh digunakan oleh para perwira. Pengangkatan pembesar militer yang dilakukan
sesuai dengan surat keputusan yang resmi yang disebut dengan Piagem dari
Sultan Abdul Kamid Herucokro Kabirul Mu’minin Sayidin Panotogomo, Khalifah
Rasulullah Alaihi Wassalam. Tetapi Diponegoro juga tidak mengubah struktur
organisasi militer yang ada di Jawa.
Senin, tanggal 2 Agustus 1825 Pangeran
Diponegoro melakukan penyerangan ke Yogyakarta dengan kekuatan tiga koloni
sejumlah 6000 orang. Koloni pertama yang dipimpin oleh Pangeran Abu Bakar
dengan menyerang dari arah timur dengan menyerbu Dalem Pakualaman, merusak
jembatan Kali Kode, menghanguskan perkampungan dari orang Cina dan Eropa, dan
menghancurkan
gerbang-gerbang
yang menjadi pungutan. Koloni kedua, telah berhasil menguasai jalan penghubung
antara Magelang-Yogyakarta-Surakarta yang dalam hal ini dipimpin oleh Pangeran
Adinegoro. Koloni Ketiga yang dipimpin oleh Pangeran Blitar yang berusaha untuk
merebut keraton dan menguasai jalan raya Bantul.
Penyerangan
yang dilakukan oleh Diponegoro membuat para tentara dan pemerintah Hindia
Belanda menjadi terkejut dan panik. Mereka memutuskan untuk mengungsi ke
benteng Vredeburg termasuk Sultan Hamnegkubuwono V yang dikawal secara ketat
dalam pengungsiannya. Serangan terhadap Yogyakarta merupakan kesuksesan awal
yang diperoleh dari Conspiracy of Silence Diponegoro.
Surat-surat yang telah dikirimkan
mendapat respon yang baik dari Tumenggung dan para Demang. Setelah penyerangan
yang dilakukan di Yogyakarta, Pangeran Serang dan Pangeran Notoprojo beserta
Bupati Gagatan yang dalam kesunanan Surakarta yang melakukan pemberontakan di
Pantai Utara Jawa. Pada tanggal 9 Agustus 1825 di Banyumas, khususnya desa
Sembong dilakukan pemberontakan terhadap pos-pos di jalan raya yang dipimpin
oleh Raden Ngabei Tersosno. Di Monconegoro dilakukan pemberontakan yang
dipimpin oleh Tumenggung Mangkunegoro dan Tumenggung Kartodirjo, beserta
Tumenggung Tumenggung alap-alap. Pada tanggal 23 Juli 1825 di Pisangan yang
dipimpin oleh Mulyosentiko berhasil menyerang pasukan Belanda yang akan
bergerak ke Yogyakarta. Pada waktu itu terjadi kepanikan oleh Bupati
Danuningrat dengan adanya rumah-rumah yang dibakar, namun ternyata hal tersebut
sudah mnejadi rencana perlawan yang dilakukan oleh pengikut Diponegoro. Ronggo
Surodilogo, Bupati Wedana di wilayah Barat Gunung Sumbing telah menerima surat
dari Diponegoro dan mangkubumi yang berisi tentang perintah masyrakat untuk
berperang melawan kekafiran. Setelah Mulyosentiko berhasil, Diponegoro
mengirimkan surat ke Kedu pada tanggal 31 Juli 1825, agar masyarakat Kedu siap
untuk berperang. Pada tanggal 10 Oktober 1826 di dalam surat Pangeran Blitar
yang diberikan kepada Sultan Sepuh dijelaskan mengenai penyebab-penyebab yang
menjadi alasan pemberontakan yang dilakukan oleh Diponegoro.
Dari
keberhasilan yang dicapai Pangeran Diponegoro menujukkan adanya persiapan yang
dilakukan sebelumnya dalam jangka waktu yang lama. Menurut Tim Penulisan Sejarah Indonesia (2010:237)
berpendapat sebagai berikut.
Laporan
tentang peristiwa 21 Juli 1825 di Tegalrejo itu diterima oleh Komisaris
Jenderal Van Der Capellen pada tanggal 24 Juli 1825. Ia sangat terkejut karena
sebelumnya tidak pernah mendapat laporan
dari residen tentang keadaan sebenarnya di Yogyakarta. Raad van Indie
dipanggil bersidang dan memutuskan Letnan gubernur Jenderal, Letnan
Jemderal H.M. de Kock panglima tertinggi
tentara Hindia Timur, diangkat sebagai komisaris untuk kesultanan Yogyakarta
dan Kesunanan Surakarta dan diberi kekuasaan militer dan sipil untuk menumpas
pemberontakan.
2.2.2 Akibat Perang
Jawa
Jelas sekali bahwa perang yang
dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro atau yang oleh fihak Belanda dikenal dengan
Perang Jawa telah menimbulkan efek yang luar biasa. Perlu diketahui bahwa pada
saat terjadinya perang Jawa pada tahun 1825-1830 ini, di daerah Minangkabau
juga sedang terjadi pemberontakan yang lebih dikenal dengan Perang Padri. Namun
Belanda lebih memilih berdamai sejenak dengan pihak Minangkabau sehingga
sebagian pasukan yang ada di Sumatera tersebut dapat ditarik kembali menuju
Jawa. Hal ini menunjukkan betapa perang Jawa ini dianggap sebagai perang yang
cukup menyulitkan bagi Belanda.
Perang ini menimbulkan akibat yang luar biasa.
Menurut Wiharyanto (2006:151), “korban di pihak Belanda sebanyak 15000 tentara,
terdiri dari 8000 orang Eropa, dan 7000 serdadu pribumi. Biaya yang harus
dikeluarkan untuk membiayai perang itu tidak kurang dari 20 Juta Gulden. Disamping
itu, tidak sedikit perkebunan-perkebunan swasta asing yang rusak”. Bisa
disimpulkan bahwa kegiatan masyarakat disini menjadi hancur dan lenyap
mengingat apa yang terjadi dalam Perang Jawa tersebut.
Selain korban jiwa yang banyak dan biaya
besar yang harus dikeluarkan oleh fihak Belanda, hal ini juga berpengaruh
terhadap adanya batas kerajaan di
Jawa.
Menurut Wiharyanto (2006:151), “akibat perlawanan Diponegoro, maka batas-batas
Surakarta dan Yogyakarta diubah, daerahnya diperkecil”. Dengan adanya
pengecilan dan penyempitan wilayah kerajaan Surakarta, maka sang sultan yang
kecewa akhirnya memutuskan untuk meninggalkan ibu kota. Melihat adanya hal ini,
pemerintah Kolonial Belanda merasa khawatir bila akan ada Perang Jawa jilid
dua. Atas dasar itulah, maka Sultan Surakarta ditangkap dan dibuang ke Ambon
pada 1849. Dengan adanya hal ini, maka berakhirlah perlawanan penghabisan dari
raja-raja Jawa.
Pada Pertangahan bulan september 1825,
pasukan yang bertugas diluar jawa mendarat dikota-kota pelabuhan pantai utara
pulau jawa sesuai dengan perintah operasi. Pasukan yang berasal dari Supa
(sulawesi selatan) yang berkekuatan 561 orang dibawah jendral mayor van Geen
mendarat di semarang. Kemudian ia diangkat sebagai panglima tentara di
lapangan, yang bertanggung jawab atas pelaksanaan operasi. Pasukan ini langsung
diperintahkan bergerak ke pedalam presiden semarang.
Setelah seluruh pasukan di pulau
jawa jendral de kock memerintahkan komandan garnisun surakarta letnal kolonel
cochuis bergerak ke yogyakarta dengan kekuatan 2 kompi infantri hultroepen
yaitu satu pleton huzar (infantri berkuda) dan satu kompi dragonder. Dengan susah payah pasukan cochius berhasi masuk ke
yogyakarta pada hari sabtu. Tanggal 24 September 1825, pasukannya bergerak
menyerbu Yogyakarta. Pasukan kolonel I berhasil memukul mundur pasukan
Diponegero, dan pada hari itu Yogyakarta direbut kembali. Sepuluh orang pangeran
ditangkap dan ditahan.
Sebagian pasukannya ada yang
melakukan konsolisadi dibekas keraton Pleret yang dipimpin oleh tumenggung
Wirodirjo (kerto pengalasan). Dengan mengerahkan pasukan kulon progo. Sejak
kegagalannya menyerbu slaron, jendral de Kock memerintahkan agar Diponegoro dan
pasukannya terus dikejar. Informasi tentang keberadaan Diponegoro masih simpang
siur. Pada tanggal 24 Oktober de Kock mendapat informasi bahwa Diponegoro
berada di tepi barat sungai bedog. Operasi pengejaran terhadap Diponegoro
langsung dipimpin oleh de Kock. Dengan mengerahkan 3 kolone (1258 orang) dengan
garis awal kota
Bantul.
Kolone pertama yang bergerak ke desa jeblok dihadang oleh pasukan Diponegoro
sehingga terjadi pertempuran hebat. Kolone kedua dan ketiga bergerak ke
kasihan. Diponegoro mengonsestrasikan kekuatannya di desa ini ketika diserbu
oleh pasukan lawan.
Di desa kaliwatan pasukan Sollewijn
dihadang oleh pasukan Diponegoro. Dalam operasi pengejaran ini pasukan jendral
de Kock gagal menangkap Diponegoro, tetapi berhasil membersihkan pangkalan
lawan disekitar negara Yogyakarta. Sementara itu, kolonel Cochius memperoleh
informasi pemusatan pasukan Diponegoro ada di Pleret bekas kraton sultan
Amengkurat I yang berkekuatan 800-1000 orang. Benten bekas istana ini tingginya
lebih dari 20 kaki, dan tebal sehingga sangat baik untuk bertahan. Pada tanggal
23 Agustus 1826, desa gading diduduki oleh pasukan Diponegoro untuk memutuskan
jalur komunikasi Surakata-Klaten. Dengan
pasukan 10000 prajurit, pada tanggal 28 Agustus 1826 Delanggu yang
dipertahankan 500 orang jatuh ke tangan Diponegoro, sejumlah kereta pengangkut
uang dan logistik di rampas.
sementara
itu, pasukan prajurit kiai Mojo dari pajang, bererak menuju Surakarta. Namun
gerakan pasukan ini berhasil ditahan didesa gawok. Pasukan diponegoro menglami
kekalahan, pada tanggal 26 Oktober 1926,
Diponegoro terluka, tetapi berhasil meloloskan diri.
Kegagalan menangkap diponegoro dan
menumpas pemberontakan dengan beberapa operasi yang dilakukan oleh jenderal De
Kock yang berlangsung lebih dari satu tahun mendapat kritik dari para residen.
Mereka mengkritik cara – cara militer dalam melakukan operasi, seperti
pembakaran, membunuh dan berbuat cela terhadap perempuan. Aksi – aksi tersebut
dapat merugikan secara psikologis, psikis dan ekonomis.
Pada tanggal 16 mei 1826, residen
Surakarta MacGillavrij menulis nota yang keras kepada De kock. Ia berpendapat
bahwa pemberontakan pada hakikatnya adalah perpanjangan dan kesalahan pembagian
kerajaan. Ia menyarankan penyatuan kembali dua kerajaan itu, dengan
menghapuskan kerajaan Yogyakarta. Pada dasarnya macgillavry tidak mempercayai
raja – raja jawa yang diberi kekuasaan memerintah. Sejak awal tidak ada
kepastian hukum
dan
falsafah bahwa kerajaan telah takluk. Untuk mengakhiri polemik mengenai nasib
kesultanan yogyakarta, De kock membentuk komisi yang menghadirkan kelompok
pejabat yang menghendaki penghapusan kesultanan dan kelompok yang
mempertahankan keberadaan Kesultaan Yogyakarta.
Diponegoro dan para pembantunya,
Kiai Mojo, Alibasah Sentot Prawirodirjo, dan Pangeran Bei, ternyata pemimpin
perang yang genius dan tangguh sehingga mengakibatkan perang berjalan lamban.
Demikian pula benteng – benteng yang dibangun dengan bahan – bahan yang
seadanya, menjadi sasaran lawan untuk dihancurkan. Setelah meninggalkan wilayah
pajang, Diponegoro mengkonsentrasikan kekuatannya diwilayah Mataram terutama di
daerah tepi barat Sungai progo dan tepi timur Sungai Bogowonto, pegunungan
Trayumas, dan pegunungan Kelir. Jendral De kock menilai bahwa Daerah ini
merupakan Killing area bagi pasukan Diponegoro. Penilaian De kock ternyata
keliru. Daerah ini merupakan medan yang ideal untuk melakukan perlawanan.
Strategi Diponegoro dengan perlawanan inkonvensional berhadapan dengan strategi
De kock yang dengan menggunakan benteng sebagai sistem senjata. Dalam
pertempuran tersebut, De kock berhasil mempersempit ruang gerak pasukan
Diponegoro. Akibatnya, pasukan Diponegoro terkuras energinya, posisinya
terdesak, dan semangat berperangnya merosot.
Pada bulan September 1829,
Diponegoro bersama Sentot melakukan konsolidasi dan konsentrasi pasukan di desa
Siluk (Selo), di kaki Pegunungan Selarong. Desa Siluk kemudian diserang oleh
pasukan Cochius, sehingga terjadi pertempuranyang menentukan (decisive battle).
Pasukan Diponegoro mengalami kekalahan, akan tetapi Diponegoro dan Sentot
Prawirodirjo berhasil meloloskan diri. Akibat tekanan dan kejar – kejaran
secara terus menerus yang dilakukan oleh pasukan jenderal De Kock, akhirnya
Sentot menyerah pada bulan Oktober 1829. Diponegoro masih meloloskan diri ke
arah barat melakukan konsolidasi di daerah Bagelen.
Pada akhir tahun 1829, Diponegoro
beserta sisa pasukannya telah secara jelas diketahui posisinya, yang secara
militer tidak ada artinya lagi, tinggal diserbu dan Diponegoro ditembak mati.
Mengapa jenderal De kock tidak berbuat
demikian?
Ia sadar, tatkala ia mengumumkan akan memberikan hadiah bagi siapa yang
dapat menyerahkan Diponegoro hidup atau mati akan diberikan hadiah uang sebesar
Sp.M 20.000, akan tetapi tidak seorang jawa pun yang menanggapi. Hal ini
berarti pengaruh dari Diponegoro yang sangat besar dikalangan masyarakat jawa,
sekalipun mereka berpihak kepada jenderal De kock. Ia kemudian dihadapkan pada
dua pilihan, yaitu menyerbu dan mengejar (Vervolging) atau melakukan tipu daya
(Overriding). Kemudian De Kock memilih pilihan yang kedua yaitu memperdaya dan
membujuk Diponegoro agar ia keluar dari ‘‘Kantong Pertahanannya’’ secara damai,
kemudian menangkapnya. Ia ingin mengeksploitasi nilai – nilai budaya dan
karakter ksatria bangsawan jawa sebagai kelemahan. Nilai – nilai dan karakter
ksatria tersebut ada pada pribadi Diponegoro.
Pada tanggal 9 februari 1830,
Cleerens mengutus bekas orang kepercayaan Diponegoro, penghulu Pake Ibrahim dan
kaji Baharuddin untuk menghubungi Diponegoro dan menyampaikan pesan bahwa
kolonel Cleerens ingin bertamu untuk menyampaikan keinginan berdamai dari
jenderal De kock. Tatkala pada saat pembicaraan itu berlangsung, jenderal De
Kock memerintahkan kepada mayor Michiels untuk melucuti pengawal Diponegoro.
Michiels pun menuju asrama Diponegoro. Sejumlah 1400 orang dilucuti senjatanya,
dilanjutkan ke pengawal yang ada di halaman depan kepresidenan. Jendral De kock
kemudian melarang Diponegoro meninggalkan tempat.
Setelah Diponegoro sadar bahwa ia
telah tertipu, ia menyatakan bahwa dialah yang bersalah dan bertanggung jawab
atas pecahnya peperangan. Namun, Diponegoro menolak perintah untuk menyerah dan
mengatakan lebih baik ia mati. Jendral De kock yang telah berpengalaman bergaul
dengan para pemimpin dan bangsawan jawa, mengenali karakter dan nilai – nilai
yang mereka anut. Nilai – nilai yang dianggap sebagai luhur oleh orang jawa,
yang juga dimiliki oleh Diponegoro, dieksploitasi sebagai kelemahannya,
digunakan untuk memukul mereka kembali. Dengan pilihan yang kedua membuktikan
bahwa jenderal De Kock mampu mengalahkan orang jawa dengan nilai budayanya
sendiri, menang
tanpa
ngarsoken yang artinya adalah mencapai kemenangan tanpa merendahkan derajat
orang yang dikalahkan.
Kedatangan de Kock di Surakarta
mendapat sambutan yang baik oleh pejabat Belanda ataupun Kesunanan. De Kock
menyadari bahwa harus ada kerja keras dalam menghadapi kesulitan yang ada di
Yogyakarta dan Surakarta. Rencana yang dibuat de Kock adalah dipanggilnya
pasuka dari luar jawa agar segera datang di jawa dan mencarai informasi tentang
lawannya.
Pada bulan Februari 1830, Letnan
Kolonel Cleerens berhasil menemukan persembunyian Pangeran Diponegoro dan
segera mengirim berita untuk berunding. Jendral De Kock mengutus Letnan Kolonel
Cleerens sendiri untuk mengirim berita tentang perundingan bukan tanpa alasan.
Rupa-rupanya, ia merupakan seorang yang fasih berbahasa Jawa serta memahami
bagaimana adat istiadat orang Jawa (Adi, 2014:115). Pangeran Diponegoro sendiri
menolak berunding dengan Letnan Kolonel Cleerens sebagai perwakilan Hindia
Belanda karena dianggap tidak sebanding dengan Pangeran Diponegoro. Oleh karena
itu, terjadi kesepakatan untuk melakukan perundingan dengan Jendral De Kock,
dengan syarat perundingan ini bukanlah untuk melakukan penyerahan diri Pangeran
Diponegoro terhadap fihak Belanda, oleh karena itu, Pangeran Diponegoro tetap
dianggap sebagai orang bebas setelah terjadinya perundingan, entah perundingan
terjadi kesepakatan ataupun tidak. Selain itu, sambil menunggu adanya
perundingan, terjadi kesepakatan untuk melakukan gencatan senjata hingga
perundingan selesai.
Perundingan ini dilakukan di
Magelang seusai bulan puasa, untuk menghormati pasukan Pangeran Diponegoro yang
muslim. Pada tanggal 1 Maret 1830, Pangeran Diponegoro sampai di Kota Magelang
bersama 800 pasukannya. Untuk kepentingan ini, fihak Belanda memberikan 5000
Gulden untuk menjamin keberlangsungan hidup Pangeran Diponegoro beserta
pasukannya (Adi, 2014:117). Pada tanggal 28 Maret, pada pukul 8 pagi, seusai
shalat Idul Fitri, seperti muslim pada umumnya, Pangeran Diponegoro saling
bersilaturahmi, juga melakukan kunjungan ke rumah seorang Residen Kedu, juga
untuk melakukan perundingan dengan Jendral De Kock
Ketika
sampai di halaman depan rumah Residen, Pangeran Diponegoro disambut dengan
upacara militer Belanda yang sangat megah. Hal ini dilakukan untuk meninggikan
hati Pangeran Diponegoro sehingga merasa tersanjung. Pangeran Diponegoro
diantarkan oleh ajudan dari Jendral De Kock yang telah menunggu di dalam
ruangan. “Selain Jendral De Kock, di dalam ruangan juga telah hadir Vlack
(Residen Kedu), Sevenhoven (Residen Yogyakarta), Letnan Kolonel Roest, Mayor
Ajudan De Steurs, dan Kapten Roeps sebagai juru bahasa atau penterjemah” (Adi,
2014:118). Di lain ruang, juga ada beberapa opsir Belanda yang menemani para
pengawal Pangeran Diponegoro karena memang mereka juga diperbolehkan untuk ikut
memasuki rumah Residen Kedu. Seorang Mayor bernama Michiels diperintahkan untuk
menyiagakan pasukannya diseluruh kota untuk menjaga bila terjadi hal-hal yang
tidak di inginkan.
Pangeran Diponegoro sendiri didampingi oleh
Pangeran Martonegoro, seorang putranya sendiri, serta Kyai Badarudin. Namun
rupanya, fihak Belanda telah melakukan persiapan yang sangat matang karena
pasukan yang disiagakan oleh Belanda hingga meliputi dea-desa sekitar. Pasukan
artiler disiagakan di sebelah utara, sedangkan Kavaleri berada di selatan.
Kolonel Cleerens, yang sebelumnya melakukan kesepakatan dengan Pangeran
Diponegoro untuk memberikan hak kebebasan dan kekebalan hukum sengaja tidak
dihadirkan agar Pangeran Diponegoro tidak dapat menuntut janjinya.
Dalam pertemuan itu, Pangeran
Diponegoro menyatakan tidak akan berunding dengan fihak Belanda dan menyatakan
bahwa kedatangan mereka hanya sekedar bersilaturahmi. Jawaban tersebut segera
ditolak oleh Jenddral De Kock karena sudah dari sekian lama hari ia menyiapkan
akan adanya hari perundingan ini. Perundingan didesakkan oleh Jendral De Kock
dengan dalih bahwa rakyat telah jemu dengan adanya peperan, serta telah
merindukan adanya kedamaian diantara mereka.
Setelah berunding dengan dengan
pendampingnya, Pangeran Diponegoro mengajukan beberapa syarat. Yang pertama adalah
dibentuknya sebuah Negara merdeka di luar Yogyakarta, serta disyahkan sebagai
pemimpin umat Islam di Jawa. Bila tuntutan tersebut di kabulkan, Pangeran
Diponegoro menjamin akan
adanya
ketentraman diantara dua fihak. Fihak Belanda sendiri merasa keberatan dengan
tuntutan tersebut, karena di Jawa telah ada dua raja, yaitu Yogyakarta dan
Surakarta sebagai pelindung rakyat Jawa, serta pemimpin agama Islam di Jawa.
Perundingan berlangsung selama dua
jam tetapi masih menghasilkan kebuntuan. Fihak Belanda kemudian menawarkan
kekebalan diplomatic apabila Pangeran bersedia kembali ke Kraton Yogyakarta
serta hak-hak istimewa lainnya bila Pangeran Diponegoro tidak mengajukan diri
sebagai seorang raja. Namun, pangeran Diponegoro rupanya masih tetap teguh
kepada pendiriannya sehingga De Kock merasa bahwa Pangeran Diponegoro adalah
seorang yang keras kepala sehingga akhirnya perundingan dihentikan untuk menata
perasaan masing-masing. De Kock sendiri terus membujuk Pangern Diponegoro untuk
mengurangi tuntutannya. Fihak Belanda menganggap permintaan Diponegoro
terlampau tinggi, bahkan dalam lima tahun belakangan, Pangeran Diponegoro telah
dianggap sebagai seorang pemberontak yang seharusnya legal untuk ditangkap.
Pangeran Diponegoro segera berdiri
untuk pulang ke pegunungan Menoreh dan berjanji untuk melakukan gencatan
senjata hingga perundingan selanjutnya berlangsung. Namun rupanya, perundingan
yang aru saja dilewati oleh Pangeran Diponegoro adalah sisasat dari fihak
Belanda, untuk emnangkap Pangeran Diponegoro. De Kock mengatakan bahwa Pangeran
Diponegoro tidak diperkenankan untuk pulang dan mengobarkan perang melawan
Belanda. De Kock segera berteriak sambil menodongkan pistol kea rah Pangeran
Diponegoro. Pangeran Diponegoro sendiri tetap tegar dan menyatakan bahwa De
Kock telah berlaku khianat serta menipu karena melanggar janji.
Di luar kantor residen, rupa-rupanya
pasukan Belanda telah melucuti senjata para pengawal dari Pangeran Diponegoro.
Rakyat yang telah menunggu di depan rumah residen tidak dapat berlaku apa-apa.
De Kock menyatakan, bila ia tidak mencapai kata mufakat dengan Pangeran
Diponegoro, ia akan membawa Pangeran Diponegoro untuk menemui Gubernur Hindia
Belanda di Batavia. Ketika Pangeran Diponegoro meminta pendapat kepada putra
dan menantunya, mereka hanya menundukkan kepala karena kebuntuan pikiran.
Akhirnya
kekerasan
hati Pangeran Diponegoro luluh juga. Hari itu juga, pada pukul 11.00 Pangeran
Diponegoro dibawa ke Semarang dengan kawalan 1 detasemen Belanda.
Pada tanggal 5 April, Pangeran
Diponegoro di berangkatkan ke Batavia dengan menggunakan kapal SS Van der
Capellen yang segera tiba pada 8 April. Pangeran Diponegoro dibawa menuju ke Stadhuis atau musium Fatahilah sekarang
sambil menunggu pertemuannya dengan Van den Bosch. Namun Van den Bosch menolak
untuk bertemu dengan Pangeran Diponegoro serta tidak mengabulkan permintaannya
karena dianggap sebagai orang yang berbahaya. Pada saat itulah, Pangeran
Diponegoro merasa benar-benar telah tertipu. Pangeran Diponegoro segera
dijatuhi hukuman pembuangan pada 30 April yang segera saja diberangkatkan pada
3 Mei dengan tujun Manado menggunakan KapalCorvette Pollux. Kapal terebut
berlabuh pada tanggal 12 Juni 1830. Dengan pertimbangan bahwa kota Manado belum
cuku p kuat untuk menahannya, serta adanya perselisihan dengan Residen Manado,
J.P.C Cambier, yang ditamparnya karena dianggap tidak sopan dan berlaku
congkak, serta kurang ajar, maka pada tahun 1834 Pangeran Diponegoro
dipindahkan menuju Benteng Rotterdam di Makassar.
Dalam pengasingannya, Pangeran
Diponegoro menggubah sebuah babad yaitu Babad Diponegoro berjumlah 4 jilid,
1357 halaman. Pada tanggal 8 Januari 1855, dipagi hari seusai melaksanakan
shalat subuh, Pangeran Diponegoro wafat dalam usia 70 tahun. Beliau dimakamkan disamping
makam anaknya yang telah meninggal terlebih dahulu. Kabarnya, beliau telah
menyisihkan uang tunjangan dari Belanda untuk melaksanakan ibadah haji. Namun
permintaan ini ditolak oleh Belanda. Fihak Keraton Yogyakarta yang mendengar
berita meninggalnya Pangeran Diponegoro segera meminta pengikut serta keluarga
dari Pangeran Diponegoro untuk pulang ke Jawa. Namun hal ini ditolak dengan
alas an untuk menjaga makam Pangeran Diponegoro, sehingga dikirimkan uang rutin
kepada mereka.
2.3
Pergerakan Tani
2.3.1.
Latar Belakang Pergerakan Tani
Gerakan sosial lahir dari situasi yang
dihadapi masyarakat karena adanya ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang
terhadap rakyat. Menurut Bruje J Cohen, gerakan sosial politik adalah gerakan
yang dilakukan sekelompok individu yang terorganisasi untuk merubah (perubahan)
ataupun mempertahankan (konservatif) unsur tertentu dari amsyarakat yang lebih
luas. Dengan kata lain, gerakan sosial lahir sebagai reaksi terhadap sesuatu
yang tidak diinginkannya atau menginginkan perubahan yang ideal.
Salah satu gerakan
sosial adalah tentang Gerakan Petani. Gerakan ini merupakan salah satu gerakan
yang cukup popular pada masa itu, meskipun memang seringkali tidak mendapatkan
hasil sesuai yang diharapkan (gagal). Namun, menarik untuk dikaji bagaimana
gerakan tersebut muncul, dan mampu menunjukkan eksistensi para petani untuk
menuntut hak-hak para petani. Pada masa VOC, kewajiban para penguasa lokal
untuk menyerahkan hasil pertanian menjadikan tekanan terhadap petani bertambah
kuat. Demikian juga di masa pendudukan Inggris, telah diperkenalkan pajak tanah
berupa uang, menggantikan penyerahan wajib (upeti). Kenyataannya, pajak tanah
yang dikenakan oleh pemerintah penjajahan sangat tinggi dan banyak kaum tani yang
tidak mampu untuk membayar pajak. Untuk membayar pajak tersebut, tidak jarang
banyak kaum tani yang harus menjual tanahnya dan kemudian terpaksa menjadi
buruh di perkebunan.
Kemudian pada tahun
1811 kekuasaan berada di bawah Thomas Stamford Raffles. Dalam pemerintahannya
yang singkat (1811-1816), Raffles menerapkan sistem domein theory.
Intinya, semua tanah di negeri Hindia Belanda adalah "milik raja atau
pemerintah". Atas dasar kebijakan itu pula, Raffles melakukan penarikan
pajak bumi yang dikenal sebagai landrente, dimana petani wajib
membayar pajak 2/5 dari hasil tanahnya. Pajak ini berdasarkan asumsi,
rakyat-para petani pribumi adalah penyewa. Sedangkan pemilik tanah adalah
pemerintah kolonial. Perang Jawa menyebabkan kerugian besar di pihak pemerintah
Belanda baik berupa kerugian finasial (keuangan) maupun kehilangan pasukan
dalam jumlah yang sangat besar. Namun pada akhirnya perang Jawa
mengalami kegagalan dan dapat
dihancurkan oleh Belanda karena dua sebab utama yaitu pertama,
masih bersifat lokal atau kedaerahan karena hanya mencakupi wilayah DIY dan
sebagian Jawa Tengah.
Setelah perang
tersebut, Belanda mengalami kerugian yang cukup besar. Oleh karena itu, Belanda
melalui Gubernur Jenderal Van den Bosch menerapkan Cultuurstelsel
(sistem tanam paksa) pada tahun 1830. Tujuannya jelas yaitu untuk menutup
kerugian finansial yang dialami akibat perang Jawa selam 5 tahun. Menurut
Frederick dan Soeroto (1984: 230) mengatakan “Namun pada kenyataannya,
pelaksanaan cultuurstelsel lebih parah daripada aturan formalnya, karena
prakteknya kaum tani harus menyerahkan seluruh tanahnya untuk tanam paksa.
Bahkan juga seluruh tenaga kerjanya harus diserahkan untuk mengurus tanaman
ekspor yang mereka tidak pernah merasakan hasilnya”. Apalagi pemerintah Belanda
menggunakan penguasa feodal lokal seperti Bupati, Residen dan Kepala Desa untuk
memaksa kaum tani menyerahkan tanah dan tenaga kerjanya. Tercatat sampai akhir
tahun 1870, keuntungan yang diperoleh pemerintah Belanda mencapai 725 juta
gulden, yang kemudian dapat untuk membayar hutang-hutang mereka dan menjadi
bagian terbesar yang menopang anggaran belanja negeri Belanda. Tetapi di sisi
lain, menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan yang amat sangat di kalangan
kaum tani. Bencana kelaparan dan penyakit menyerang rakyat khususnya kaum tani
di Jawa. Krisis ekonomi melanda pulau Jawa secara luas pada akhir tahun 1880.
Selama kurun waktu tersebutlah, kaum tani tidak berhenti melakukan
perlawanan terhadap penjajah Belanda.
2.3.2 Sebab-Sebab Pemberontakan
Tani
Gerakan
potes petani disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya, gerakan-gerakan para
petani menunjukkan bahwa masyarakat menghendaki perbaikan kehidupan. Gerakan
protes ini umumnya baru berakhir setelah para pemimpinnya ditangkap atau
dibujuk oleh Pemerintah Belanda. Ideologi pokok yang mendorong gerakan ini
adalah adanya rasa dendam terhadap keadaan sosial
ekonomi bagi
pendukungnya. Kejadian Gerakan Protes
Petani Diberbagai Daerah, beberapa contoh gerakan protes yang terjadi di
berbagai daerah :
1.
Kerusuhan Ciomas
Terjadi 19
Mei 1886 dipimpin Muhammad Idris di Lereng Gunung Salak (Jawa Barat) disebabkan
beban pembayaran pajak yang berat, kerja paksa, dan berbagai tindakan pemerasan
lain.
2.
Kerusuhan di Campea Purwakarta
Terjadi Mei
1913 saat para petani mendatangi rumah Bupati dan pejabat Kontrolir untuk
menuntut penurunan pajak dan tindakan, kekeliruan dalam pengukuran tanah.
3.
Kerusuhan di Condet Batavia
(Jakarta)
Terjadi pada
1916 di Partikelir Tanjung Oost (Condet, Jakarta Timur sekarang) dipimpin oleh
Entong Gendut. Sasarannya ialah tuan tanah yang sering melakukan pemerasan,
perusuh sempat menguasai Meester Cornelis (sekarang Jati Negara).
4.
Kerusuhan di Tangerang
Terjadi
tahun 1924 dipimpin oleh Kaiin ditujukan terhadap tuan tanah atau pejabat
pemerintahan di Tanah Pangkalan, Distrik Kebayoran.
5.
Pemberontakan di Surabaya,Terjadi
tahun 1916, dipimpin oleh Sadikin.
Selain itu, pada tahun 1830 - 1908
memang terjadi banyak sekali gerakan resistensi dari para petani. Namun,
peristiwa itu dapat digagalkan oleh Belanda karena beberapa sebab, antara lain:
a.
Perjuangan masih
bersifat kedaerahan, artinya perlawanan para petani di berbagai daerah tidak
terkoordinasi secara utuh.
b.
gerakan
perlawanan masih dimotori oleh para tokoh lokal sehingga tidak mempunyai
strategi yang cukup matang untuk meraih tujuan gerakan.
Gerakan petani sebenarnya juga pernah
terjadi di beberapa negara, seperti Brazil, Meksiko,
dan Filipina. Dan seringkali muncul pada negara-negara yang mengusung
kapitalisme. Alasan pertama, tumbuhnya Made of Production, kapitalisme
di negara manapun senantiasa akan mengakibatkan proses ganda, yakni melepaskan
petani dari ikatan dengan tanah tertaniannya dan
mengintegrasikan tanah tersebut kepada
modal. Kedua, karakter produksinya yang ditujukan untuk penjualan. Suatu barang
selain punya nilai guna (use value) juga memiliki nilai tukar (exchange
value). Dalam kacamata inilah, kapitalisme memandang bahwa setiap proses
produksi harus memiliki nilai tukar untuk diperdagangkan.
Dari pendapat tersebut, sebenarnya dapat
menjawab mengapa pada masa kolonial terjadi gerakan petani di Indonesia.
Apalagi, konsep tanam paksa yang pada implementasinya sangat menyengsarakan
para petani. Hal itulah yang mendorong semangat para petani untuk mendapatkan
kehidupan yang lebih baik.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
1. Penyebab
secara umum perang diponegoro adalah pada adanya ikut campur tangan
pemerintahan kolonial yang begitu besar terhadap pemerintahan pribumi, dan
melakukan berbagai tindakan yang tidak sesuai dengan tata hidup pribumi, baik
dibidang politik, ekonomi, sosial-budaya dan lain-lain. Sebab khusus yang mempelopori
perang diponegoro adalah pertengahan Mei 1825 ketika pemerintah Belanda
merencanakan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang melalui Tegalrejo,
ternyata jalan tersebut melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro.
2. Jalanya
perang diponegoro adalah dengan memberi surat-surat terhadap pemerintahan
daerah-daerah lain mengatas namakan melawan kekafiran dan surat-surat tersebut
mendapat sambutan yang luar biasa dari daerah-daerah. Perang berlangsung dengan
begitu banyak pasukan yang berasal dari daerah-daerah tersebut. Sehingga
mengakibatkan nampaknya perang Jawa ini dianggap sebagai perang yang besar oleh
Belanda. Akhir dari perang Diponegoro adalah korban di pihak Belanda sebanyak
15000 tentara, terdiri dari 8000 orang Eropa, dan 7000 serdadu pribumi. Biaya
yang harus dikeluarkan untuk membiayai perang itu tidak kurang dari 20 Juta
Gulden. Disamping itu, tidak sedikit perkebunan-perkebunan swasta asing yang
rusak”. Bisa disimpulkan bahwa kegiatan masyarakat disini menjadi hancur dan
lenyap mengingat apa yang terjadi dalam Perang Jawa tersebut.
3.
Gerakan petani
adalah salah satu potret bagaimana kondisi yang terjadi pada masa kolonial.
Tetapi di sisi lain, menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan yang amat sangat
di kalangan kaum tani. Bencana kelaparan dan penyakit menyerang rakyat
khususnya kaum tani di Jawa. Krisis ekonomi melanda pulau Jawa secara luas pada
akhir tahun 1880. Bagaimana implementasi kebijakan-kebijakan para pemerintah kolonial
yang memberikan ketidakadilan dan menyengsarakan rakyat menjadi pemicu semangat
perjuangan para petani
dan Selama kurun waktu
tersebutlah, kaum tani tidak berhenti melakukan perlawanan terhadap penjajah
Belanda.
Gerakan potes petani disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya, gerakan-gerakan para petani menunjukkan bahwa masyarakat
menghendaki perbaikan kehidupan. Gerakan protes ini umumnya baru berakhir
setelah para pemimpinnya ditangkap atau dibujuk oleh Pemerintah Belanda.
Ideologi pokok yang mendorong gerakan ini adalah adanya rasa dendam terhadap
keadaan sosial ekonomi bagi pendukungnya.
3.2 Saran
Demikianlah
hasil makalah yang kami paparkan, apabila ada kekurangan atau kelebihan dalam
pemaparan tersebut kami mohon maaf. Kritik dan saran dari pembaca sangat kami
harapkan dan semoga hasil makalah yang telah kami kerjakan sangat bermafaat
bagi pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Wiharyanto,
A.K. 2006. Sejarah Indonesia Madya Abad
XVI-XIX. Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma.
Adi,
A.K. 2014. Diponegoro Ksatria Perang
Jawa. Yogyakarta : Matapadi Pressindo.
Revolta,
Raka. 2008. Konflik Berdarahdi Tanah
Jawa: Kisah Para Pemberontak Jawa. Yogyakarta: Bio Pustaka.
Kartodirdjo,
Sartono. 1992. Pengantar Sejarah
Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Frederick,
W. H dan Soeroto, S. 1984. Pemahaman
Sejarah Indonesia: Sesudah dan Sebelum. Jakarta: Pustaka LPES Indonesia.
Soejono,
R. P, Leirissa. R.Z. 2008. Sejarah
Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar