SEJARAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA
PADA ERA REFORMASI
TAHUN 1999
Oleh : Dwi Lidiawati
(130731615709)
Universitas Negeri Malang
Jurusan Sejarah
Fakultas Ilmu Sosial
Offering A/2013
Email : dwilidia57@gmail.com
Abstrak
Tulisan ini
memfokuskan kepada pendidikan kewarganegaraan masa reformasi. Seperti yang
telah diketahui secara umum bahwasanya era reformasi sering didefinisikan
sebagai masa kebebasan dari belenggu orde baru, tidak terkecuali dengan dunia
pendidikan khususnya pendidikan kewarganegaraan. Legitimasi pemerintah
menentukan kebijaksanaan terhadap dunia pendidikan. Pendidikan kewarganegaraan
merupakan pendidikan yang membahas mengenai masalah-masalah kewarganegaraan
yang pada akhirnya warga negara akan memahami harus bagaimana dalam berpikir,
bertindak selaku warga negara Indonesia yang baik. Pancasila menurut pandangan
reformasi mengalami suatu perubahan. Yakni pancasila sebagai ideologi NKRI yang
dapat menyejahterakan rakyat, bermartabat, menghormati hak-hak asasi manusia,
menjadikan masyarakat yang demokratis, bermoral religius, dan berkemanusiaan
yang beradab. Sehingga dalam pendidikan kewarganegaraan yang berpaku pada
ideologi negara juga menyesuaikan dengan adanya suatu perubahan baik substansi
maupun konsep dalam pelajaran.
Kata Kunci :
Pendidikan Kewarganegaraan, Rakyat Indonesia
PENDAHULUAN
Manusia
adalah sebagai makhluk
yang berpikir atau homo sapient,
manusia juga merupakan makhluk yang dapat dididik atau homo educandum (sunaryo, Hartono,2008:2). Sehingga dalam
kehidupannya sangat pasti bahwa manusia membutuhkan pendidikan. Pendidikan
merupakan suatu kebutuhan yang wajib diperoleh oleh manusia. Pendidikan
bermaksud membantu peserta didik untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi
kemanusiaanya. Potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan untuk menjadi
manusia (Tirtarahardja, Sulo. 2005:1). Pendidikan selalu berusaha untuk
berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Selama perkembangan ilmu
pengetahuan, khususnya di Indonesia telah terjadi bukan hanya perkembangan,
tetapi juga telah terjadi perubahan demi suatu progress dari sebuah ilmu
pengetahuan. Perubahan dan perkembangan pendidikan kewarganegaraan dikembangkan
dalam rangka peningkatan mutu proses belajar (Saripuddin, Ismauni, 1996:v).
Perubahan-perubahan tersebut pasti dimaksudkan agar pendidikan lebih baik dari
yang sebelumnya serta dimaksudkan untuk upaya peningkatan kualitas dalam
pendidikan yang mutlak harus dilakukan.
Pendidikan kewarganegaraan telah muncul sebelum adanya
pengakuan yang sah secara de facto
dan de jure untuk negara Indonesia.
Pendidikan kewarganegaraan kuno bisa dilihat ketika sistem kesukuan dan
kerajaan. Namun secara resmi disebut sebagai sebuah pendidikan di Indonesia
adalah mulai tahun 1957 dengan nama pendidikan kewargarganegaraan, tahun 1959
dengan nama pelajaran Civics, tahun 1962 diganti dengan kewargaan negara, tahun
1968 pendidikan kewargaan negara, tahun1975 diganti dengan PMP (Pendidikan moral
pancasila), kemudian tahun 1978 PMP dengan materi P-4 nya yang paling dominan.
Dan pada awal reformasi tahun 1994 diganti dengan PPKn. Perubahan yang terjadi
adalah dengan dicabutnya materi P-4 pada tahun 1999. Dan pada akhirnya diganti
dengan pendidikan kewarganegaraan dengan adanya masa reformasi
Dalam
penulisan artikel ini sudah terdapat penelitian terdahulu yang dilakukan oleh
para peneliti lainnya namun menggunakan judul yang berbeda. Penelitian
terdahulu yang dapat diketahui adalah penelitian dari saudara Harmin dari
Universitas Gunadharma yang mengangkat judul pembahasan Sejarah Perkembangan Pendidikan Kewiraan Menjadi Pendidikan
Kewarganegaraan. Kemudian penelitian oleh Ardi dari Universitas Gajah Mada
dengan judul Perkembangan PKN (Pendidikan
Kewarganegaraan). Dari itu peneliti dapat membandingkan penelitian mengenai
Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan Di
Indonesia Pada Era Reformasi Tahun 1999 dengan penelitian terdahulu.
Metode Penelitian
Penulisan artikel ini merupakan artikel penelitian, sehingga menggunakan
metode penelitian sejarah (Historical Research). Menurut Lucey arti dari metodologi
sejarah adalah seperangkat sistem yang berisi asas-asas atau norma-norma,
aturan-aturan dan prosedur, metode dan teknik yang harus diikuti untuk
mengumpulkan bukti sejarah (dalam Syamsuddin, 1984:22). Menurut syamsuddin yang
dimaksud metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis
rekaman dan peninggalan masa lampau (syamsuddin,1996:17). Langkah-langkah penelitian sejarah adalah heuristik, kritik,
interpretasi, dan historiografi. Heuristik merupakan pengumpulan data,
pengumpulan data berupa data atau sumber primer dan sumber sekunder. Menurut Susanto Heuristik merupakan
pengumpulan obyek yang berasal dari jaman itu dan pengumpulan bahan-bahan
tercetak, tertulis, dan lisan yang boleh jadi relevan (Susanto, 1986:18). Bahan-bahan
atau sumber ini meliputi sumber primer dan sumber sekunder. Menurut
Sjamsudin (1996:80) sumber primer adalah evidensi atau bukti yang yang sejaman
dengan suatu peristiwa yang terjadi. Sumber primer yang akan
digunakan dalam penelitian ini seperti (arsip
pendidikan, foto-foto, dan dokumen yang berkaitan dengan pendidikan
kewarganegaraan era reformasi). Sedangkan sumber sekunder berupa (buku
pendidikan kewarganegaraan, internet, buku mengenai kurikulum era reformasi).
Data lisan dilakukan oleh narasumber yakni dosen mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan Universitas Negeri Malang bapak Drs. Joko Sayono M.Hum. Setelah
mengumpulkan sumber-sumber atau data pada tahap heuristik, maka data-data
tersebut harus dikritisi. Didalam tahapan kritik ini terdapat dua macam, yaitu
kritik ekstern dan kritik intern. Menurut Syamsuddin kritik adalah menganalisi
secara kritis sumber-sumber sejarah (Syamsuddin, 1996:20). Kritik ekstern dalam
kaitan teks, dalam penelitian ini berkaitan dengan arsip dan surat kabar. Teks
berhubungan dengan bahan yang digunakan untuk menyajikan sumber sejarah, sudah
sesuai dengan zaman itu atau anasinkron. Kemudian kritik intern berhubungan
dengan autentisitas isi terhadap data. Kritik ekstern dalam kaitannya data
lisan. Sumber lisan juga dapat dikritisi untuk mengurangi adanya kemungkinan missing link antara sumber primer atau
sumber sekunder dengan sumber lisan. Sumber lisan bisa saja terjadi akibat
faktor kesehatan, ingatan, kepentingan-kepentingan tertentu yang bisa saja
disembunyikan atau diperbaiki dari peristiwa sejarah yang dilakukan oleh
narasumber.
Kritik juga bisa dilakukan pada sumber sekunder, yaitu dengan pertanyaan
tentang otentisitas terhadap sumber sekunder. Dapat dilakukan pula dengan
membandingkan antara sumber sekunder yang satu dengan sumber sekunder yang
lain, demi meminimalisir adanya kepentingan-kepentingan tertentu yang dilakukan
oleh penulis.
Setelah itu, peneliti membandingkan dari data yang lolos dalam tahap kritik
ekstern antara arsip, surat kabar, dan data lisan. Kemungkinan pasti ada
perbedaan, dan kemungkinan besar juga ada persamaan. Dari persamaan dan
perbedaan itu sumber-sumber tersebut bisa saling melengkapi dan pasti saling
berhubungan dan bergantung satu sama lain.
Tahapan selanjutnya adalah interpretasi. Interpretasi merupakan pelukisan
atau pemaknaan terhadap data yang telah lolos dalam tahap kritik. Menurut
penulis bahwasanya pendidikan kewarganegaraan yang selalu berubah akibat adanya
suatu bentuk tujuan peningkatan mutu atau kualitas baik dari segi belajar
maupun segi sikap kewarganegaraan. Khusus yang dibahas adalah pendidikan
kewarganegaraan era reformasi. Era reformasi selalu identik dengan adanya
kebebasan. Kebebasan yang dimaksud adalah bebas dari segala bentuk
penyelewengan dari pancasila dan haluan negara Indonesia.
Penyelewengan-penyelewengan tersebut khususnya adalah pemaknaan dari pancasila.
Sehingga era reformasi sepatutnya pendidikan kewarganegaraan diubah dengan
sebaik-baiknya agar tidak ada pemaknaan yang berbeda dari pancasila seperti
yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.
Tahapan selanjutnya adalah historiografi. Historiograsi merupakan tahap
terakhir yang dilakukan dalam metodologi sejarah. Setelah dilakukan heuristik
(pengumpulan data), tahap kritik (ekstern, intern), tahap interpretasi.
Historiografi menurut Gottschalk adalah usaha untuk mensintesiskan data-data
dan fakta sejarah menjadi suatu kisah yang jelas dalam bentuk lisan maupun
tulisan dalam buku atau artikel maupun perkuliahan sejarah (Gottschalk dalam
Syamsuddin, 1996:17). Historiografi dalam sejarah bukan hanya dari
sumber-sumber sejarah kemudian ditulis begitu saja. Dalam tulisan ini perlu
adanya alur yang memudahkan pembaca dapat dengan mudah memahami peristiwa
sejarah.
PEMBAHASAN
Gambaran
Era Reformasi Dengan Adanya Perubahan Di Berbagai Bidang Khususnya Bidang
Pendidikan
Era perebutan
reformasi merupakan masa kelam pemerintahan di Indonesia, karena pada masa
pemerintahan orde baru telah terjadi praktek pemaknaan pancasila dan demokrasi
yang tidak sesuai dengan prinsip dan konsep sebenarnya yang dicita-citakan para
pendiri bangsa dan seluruh bangsa Indonesia. Rakyat merasa terbelenggu dengan
pemerintahan yang demikian. Hal itu mengingatkan kita pada peristiwa di
hari-hari terakhir Soekarno di awal enampuluhan (Suseno, 1996:240). Karena hal
tersebutlah para mahasiswa melakukan aksi demonstrasi menuntut reformasi dan
menuntut turunnya presiden Soeharto dari kursi jabatannya. Penderitaan rakyat
yang begitu besar akibat krisis ekonomi dan politik yang terjadi di Indonesia.
Bentuk-bentuk
penyelewengan yang dilakukan oleh presiden Soeharto era kepemimpinannya
seperti, pelaksanaan demokrasi yang tidak sesuai ditunjukkan dengan adanya
pemilihan presiden dengan sistem kepartaian yang dikuasai oleh pemerintah,
status-status pekerjaan tertentu diwajibkan memilih partai tertentu sehingga dapat
mencederai suara rakyat yang sesuai hati nurani, kemudian dominannya P-4
didalam pendidikan PMP yakni pendidikan Mengamalkan Pancasila. Pendidikan
kewarganegaraan era Orde batu ditentukan oleh faktor kepentingan untuk
membangun negara (state building) dibandingkan dengan membangun bangsa (nation
building), hukum lebih merupakan alat kekuasaan dari pada sebagai alat untuk
keadilan, negara Indonesia sudah kehilangan jati diri bangsa dengan adanya
pemaknaan yang berbeda terhadap ideologi negara. rezim yang berkuasa dengan
bebas melakukan hal-hal yang mereka inginkan dengan mengatas namakan Pancasila
tanpa ada yang menentang ataupun melawan.
Reformasi sangat menentukan suatu perubahan-perubahan
yang memabawa perbaikan untuk Indonesia. Dengan adanya pengertian reformasi kepada
perubahan suatu sistem yang telah ada di Indonesia. Dengan jalan menurunkan
presiden Soeharto dari kursi kepresidenan dan menjalankan sistem reformasi di
Indonesia. Reformasi yang berjalan memperbaiki segala aspek bidang, termasuk
bidang pendidikan terutama pendidikan kewarganegaraan yang erat hubungannya
dengan pemerintahan, kehidupan berbangsa dan bernegara. Masa reformasi dengan
giat mengejar kebebasan walaupun terkadang kebebasan tersebut tidak didasari
dengan program yang jelas. Reformasi merupakan istilah yang amat populer pada
masa krisis dan menjadi kata kunci dalam membenahi seluruh tatanan hidup
berbangsa dan bernegara di tanah air, termasuk reformasi di bidang pendidikan
(Suyanto dan Hisyam, 2001:1).
Pendidikan
Kewarganegaraan di Era Reformasi
Kembali
kepada hakikat pendidikan kewarganegaraan yang sebenarnya adalah upaya sadar
dan terencana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bagi warga negara dengan
menumbuhkan jati diri dan moral bangsa sebagai landasan pelaksanaan hak dan
kewajiban dalam bela negara, demi kelangsungan kehidupan dan kejayaan bangsa
dan negara. Sistem pendidikan nasional Indonesia disusun berlandaskan kepada
kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasar pada pancasila dan UUD 1945 sebagai
kristalisasi nilai-nilai hidup bangsa Indonesia (Tirtarahardja, Sulo.
2005:262). Apalagi pendidikan kewarganegaraan, pasti mengacu pada budaya dan
sistem pemerintahan yang dianut. Pendidikan kewarganegaraan identik dengan
adanya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga maksud dari pendidikan kewarganegaraan
itu adalah memberi rambu-rambu harus bagaimana mengamalkan pancasila dan
menerapkan Undang-Undang Dasar 1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika
kembali ke masa silam pada era pendidikan kewarganegaraan era orde baru yang
dinamakan dengan PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Presiden Soeharto dengan
bangganya mengobarkan bahwa di Indonesia akan melaksanakan pemurniaan
Pancasila. Namun, konsep pemikiran pemurniaan pancasila ini berbeda dengan konsep pemikiran pancasila
yang dianut oleh bangsa Indonesia yang berbeda.
P-4
digunakan sebagai sebuah indoktrinasi wajib dari sebuah ideologi negara yakni
pancasila. Soeharto menganggap bahwa ia sangat lekat dengan pancasila sehingga
setiap urusan yang berhubungan dengan kepentingan pribadi juga dimasuk-masukan
didalam urusan pancasila. Hal ini dapat dibuktikan dengan tulisan dari sebuah
buku berjudul Sejarah Indonesia Modern karya
M.C.Ricklefs bahwa:
Pancasila merupakan ideologi khas Indonesia yang bisa
memandu negara dan warganya serta mampu melindungi rakyat dari ancaman sayap
kanan dan sayap kiri. Penyimpangan konsep P4 oleh Soeharto, keluarganya, dan
kroninyalah yang merusak konsep tersebut. Soeharto semakin hari tampak
menganggap dirinya sebagai perwujudan pancasila, dan menganggap kepentingan
pribadnya sebagai buahnya yang layak (637).
Pada
era reformasi P4 dianggap tidak wajib lagi untuk dipelajari. Dan secara resmi
Konsep P4 dihapus pada tahun 1999. Dan resmi dengan nama Pendidikan
Kewarganegaraan tidak lagi dengan nama PMP (pendidikan Moral Pancasila). P4
yang terdiri dari pancasila
Menindaklanjuti
kebijakan pada era reformasi mengenai perubahan dari sentralisasi ke
desentralisasi membawa banyak perubahan termasuk perubahan dibidang pendidikan.
Perubahan tersebut dapat dilihat dari Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional. Yang intinya pendidikan bukan lagi merupakan
tanggung jawab pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada pemerintah daerah. Hal
tersebut juga tercantum dalam Undang-Undang No 32 tahun 2004 mengenai
pemerintah daerah. Harus di ingat bahwasanya kebijakan pendidikan dipengaruhi
oleh sistem yang berlaku.
Pendidikan
kewarganegaraan dianggap penting pada era reformasi karena sebagai sebuah
pembangunan karakter bangsa, sehingga bisa memisahkan diri dari indoktrinasi
orde baru yang berlabel pancasila. Sehingga perlu adanya perubahan dalam isi
dan konsep pendidikan kewarganegaraan.
Pendidikan
kewarganegaraan yang awalnya adalah dihapuskannya P4 dari substansi penting
dalam pendidikan kewarganegaraan, dan tidak diajarkannya lagi materi GBHN
(garis-garis besar haluan negara) sebagai tindak lanjut tidak digunakannya GBHN
di Indonesia. Awal Pendidikan kewarganegaraan adalah mengedepankan materi
mengenai Hak-Hak asasi manusia yang dirasa tidak begitu baik dilakukan ketika
masa orde baru. Pada masa orde baru banyak hak-hak manusia yang dilanggar dan
hilang begitu saja. Seperti hak hidup, hak berpendapat, hak mengajukan pikiran
dan aspirasi di dalam pemerintahan, dan hak-hak asasi manusia lainnya.
Indonesia adalah negara yang demokratis. Sehingga sangat penting
mengumandangkan adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Selain itu
juga adanya desakralisasi Undang-Undang dasar yakni adanya amandemen yang
bertujuan untuk menyelaraskan Undang-Undang Dasar dengan kemajuan zaman. Salah
satu Undang-Undang yang diamandemen adalah mengenai dwifungsi ABRI. Inti dari
amandemen tersebut adalah ABRI bertindak, dan berfikir sesuai dengan tuntutan
zaman. Sehingga hanya berfungsi sebagai badan keamanan negara. Dalam kaitannya
dengan pendidikan kewarganegaraan yakni tidak diajarkannya dwifungsi ABRI.
Dalam
era reformasi pendidikan kewarganegaraan tidak terpusat kepada pendidikan
didapat melalui pendidikan formal saja, tetapi juga di dapat dari keluarga dan
masyarakat. Sehingga pada era reformasi dibutuhkan kerjasama dari berbagai
pihak demi kemajuan bangsa. Pendidikan kewarganegaraan ini terus berkembang
sesuai dengan makna pancasila yang sebenarnya sampai saat ini. Dan terus
melakukan perbaikan sehingga dapat membentuk warga negara Indonesia yang baik
sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pendidikan
kewarganegaraan ini berorientasi kepada kajian antardisiplin yang jelas.
Disiplin ilmu yang terdapat pada pendidikan kewarganegaraan adalah politik,
hukum, dan nilai moral dari Pancasila. Sehingga ketiga disiplin ini memliki
pijakan yang jelas. Uraian inti dari kajian materi pendidikan kewarganegaraan
era reformasi pada tahun 2006 dapat diketahui antara lain: persatuan dan
kesatuan bangsa, norma, hukum, dan peraturan, hak asasi manusia, kebutuhan
warga negara, konstitusi negara, kekuaaan dan politik, Pancasila, dan
globalisasi. Dari kajian materi tersebut juga ditekankan sikap dan nilai moral
sebagai hasil dari sebuah proses belajar.
PENUTUP
Pendidikan merupakan suatu hal yang penting
dalam sebuah negara. Pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan yang
hakikatnya adalah upaya sadar dan terencana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
bagi warga negara dengan menumbuhkan jati diri dan moral bangsa sebagai
landasan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam bela negara, demi kelangsungan
kehidupan dan kejayaan bangsa dan negara. Indoktrinasi Pancasila yang dilakukan
presiden Soeharto pada masa orde baru dirasa telah mencederai makna pancasila
yang sebenarnya. makna pancasila yang dipegang teguh oleh rakyat Indonesia dan
yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.
Era
reformasi di identikan dengan adanya pembebasan. Bebas yang sebebas-bebasnya
namun tetap dibatasi oleh konstitusi yang berlaku. Pada era reformasi yang
dominan adalah dengan diubahnya substansi materi dari pendidikan
kewarganegaraan tersebut. Substansi yang dulunya dianggap sebagai yang paling
dominan yakni P4 di tiadakan pada tahun 1999. Dan tidak digunakannya lagi GBHN
(garis-garis Besar Haluan Negara) yang dirasa terlalu kental dengan orde baru,
dengan otoritas dan indoktrinasi dari presiden Soeharto.
Kebijakan
lain yang dapat dilihat pada era reformasi untuk pendidikan kewarganegaraan
adalah dengan adanya kebijakan mengenai otonomi daerah. Hubungannya dengan
pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi
seluruhnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Hal tersebut terdapat pada
Undang-Undang No.20 tahun 2013 dan Undang-Undang 32 tahun 2004 yang mengatur
mengenai pendidikan Nasional dan Otonomi daerah. Tidak digunakannya materi
dwifungsi ABRI, dan diganti dengan desakralisasi Undang-Undang Dasar 1945
berjalan sesuai dengan tuntutan zaman. Begitu pula materi ABRI tersebut. Di
dalam pendidikan kewarganegaraan diajarkan tentang fungsi ABRI yang sebenarnya
sebagai badan keamanan negara. ABRI harus bertindak dan berfikir sesuai dengan
zamannya. Tidak selalu dengan kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Era
reformasi dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak demi memajukan dan melakukan
perbaikan untuk Indonesia. Pendidikan kewarganegaraan tidak hanya berfokus pada
pendidikan formal, tetapi juga dapat diperoleh dari keluarga dan masyarakat.
Pendidikan kewarganegaraan selalu melakukan perbaikan demi pencapaian penerapan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang maksimal. Hingga sampai saat ini
pendidikan kewarganegaraan masih digunakan.
DAFTAR RUJUKAN
Ricklefs, M,C.
2008 (edisi 4). Sejarah Indonesia Modern.
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta
Ardi. 2012.
Perkembangan PKN Pendidikan Kewarganegaraan. (online) http://hitamandbiru.blogspot.com/2012/07/perkembangan-pkn-pendidikan.html
diakses 1 desember 2014
Budi Ningsih, C.A. 2005. Belajar Dan Pembelajaran.
Jakarta: Rineka Cipta
Harmin. 2011. Sejarah
Perkembangan Pendidikan Kewiraan Menjadi Pendidikan Kewarganegaraan.
(online) http://harmin-newworld.blogspot.com/2011/03/sejarah-perkembangan-pendidikan_03.html diakses 1 Desember 2014
Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta:
Paradigma
Rahardjo,M.
2010. Pemikiran Kebijakan Pendidikan
Kontemporer. Malang: UIN Maliki Press
Riskamardiana. 2013. Dibalik
Perubahan Sebuah Pengkajian Terhadap Pendidikan Kewarganegaraan. (online) http://riskamardiana.wordpress.com/2013/06/21/dibalik-perubahan-nama-sebuah-pengkajian-terhadap-pendidikan-kewarganegaraan/. Di akses 29 September 2014
Saripuddin, U.
1989. Konsep Dan Strategi Pendidikan
Moral Pancasila Di Sekolah Menengah. Jakarta : Mendikbud
Soemanto,
Soetopo. 1982. Dasar & Teori
Pendidikan Dunia. Surabaya: Usaha Nasional
Sunarto,
Hartono. 2008. Perkembangan Peserta Didik.
Jakarta: Rineka Cipta
Suprijono, A. 2012. Cooperative Learning Teori &
Aplikasi Paikem.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Syamsuddin, Ismaun.
1996. Pengantar Ilmu Sejarah.
Jakarta: Mendikbud
Tirtarahardja, Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar