PRASASTI
CANGGAL DAN PRASASTI KALASAN
SEBAGAI
BUKTI HARMONISASI AGAMA HINDU-BUDDHA
PADA
MASA KERAJAAN MATARAM KUNO
Oleh :
Dwi
Lidiawati (130731615709)
Offering
A/2013
Sejarah
Fakultas Ilmu Sosial
Email:
dwilidia57@gmail.com
Abstrak
:
Prasasti
Canggal dan Prasasti Kalasan dapat digunakan sebagai bukti yang konkrit dalam
memahami pernyataan mengenai kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara. Khususnya
adalah pada masa kerajaan mataram kuno. Prasasti adalah sumber tertulis yang
dapat digunakan sebagai bukti konkrit dalam peristiwa sejarah. Prasasti
biasanya juga digunakan sebagai sumber primer dalam penulisan sejarah. Prasasti
Canggal terdapat beberapa bait atau pada yang diantara isinya menyiratkan
harmonisasi kehidupan diantara agama Hindu Buddha. Begitu pula dengan prasasti
Kalasan. Kedua prasasti ini di buat pada masa kerajaan Mataram Kuno.
Kata
Kunci : Prasasti Canggal, Prasasti Kalasan, Agama
Hindu-Buddha, Mataram Kuno
PENDAHULUAN
Munculnya
pengaruh dari India ini berdampak pada agama dan budayanya. Agama yang dibawa
oleh India adalah agama Hindu dan Buddha. Dari pengaruh tersebut munculah
kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Nusantara. Karena selain terjadi
Hinduisme di Nusantara muncul pula pengaruh Buddha yang berkembang pesat pula.
Kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara cukup tiap bagian ada di Nusantara, meskipun
tidak dalam waktu yang serentak. Pengaruh hindu terjadi pada agama, kesenian,
dan adat istiadat. Dari pembangunan kebudayaan dikaitkan dengan penduduk yang
menetap sehingga terbentuklah sebuah pemerintahan yang disebut sebagai kerajaan
dengan haluan Hindu maupun Buddha.
Di
pulau Jawa terdapat Kerajaan Mataram kuno yang termasuk kerajaan Hindu-Buddha
di Nusantara khususnya terletak di pulau
jawa bagian tengah. Sejak abad ke-8 berkembang kerajaan-kerajaan di pedalaman
Jawa Tengah. Di dalam buku-buku sumber yang membahas mengenai kerajaan Mataram
banyak yang membahas mengenai pemerintahan yang berkuasa di Mataram kuno. Ada
yang menyebut dinasti Sanjaya, ada yang menyebut dinasti Sailendra, ada pula
yang menyebut keduanya. Dua dinasti tersebut merupakan dinasti yang terkenal di
Jawa Tengah. Dari prasasti Canggal dapat diketahui dinasti mana yang memerintah
di dalam kerajaan Mataram Kuno.
Mengenai
sebutan dinasti Sailendra pertama kali terdapat di dalam prasasti Kalasan (778
M). Nama wangsa Sailendra tersebut juga di jumpai di dalam daratan India. Oleh
sebab itu dapat disimpulkan bahwa wangsa Sailendra di dapat dari India. Wangsa
Sailendra adalah penganut agama Buddha Mahayana. Selain pengetahuan mengenai
wangsa Sailendra kita juga perlu tahu apa yang dimaksud sebagai wangsa Sanjaya.
Wangsa Sanjaya adalah penganut agama Hindu Siva.
Di tuliskan oleh para
sejarawan bahwa yang pertama memerintah adalah dinasti Sanjaya yang mulai
berkuasa pada abad ke-8 di Jawa Tengah. Menurut Asmito, kekuasaan dinasti
Sanjaya ini dapat di ketahui melalui: Prasasti Canggal, prasasti Parahyangan,
Prasasti Taji, Prasasti Getak (1988:77). Dinasti Sailendra muncul pada akhir
abad ke-8 di Jawa Tengah. Nama Sailendra berasal dari kata Saila (gunung),
indra (raja). Jadi Sailendra adalah raja Gunung.
Terdapat
banyak prasasti yang menuliskan harmonisasi hindu-Buddha dalam kehidupan
kerajaan bercorak Hindu-Buddha baik yang tersurat maupun tersirat. Sedangkan
prasasti Canggal dan prasasti Kalasan adalah prasasti yang isinya tersirat
mengenai keharmonisan tersebut. Sehingga perlu mempertimbangkan dan
menghubungkan sumber-sumber lainnya. Perlu analisis dari para sejarawan.
Prasasti yang satu akan dikaitkan
dengan prasasti yang lain, dan saling menguatkan. Dalam masa kerajaan Hindu
Buddha di kerajaan Mataram Kuno, ada prasasti yang dibuat oleh dinasti
Sailendra, dan ada prasasti yang dibuat oleh dinasti Sanjaya. Keduanya
menunjukkan sikap keharmonisan yang menakjubkan. Sehingga penulis akan membahas
secara fokus di dalam prasasti Canggal dan prasasti Kalasan dari masa Kerajaan
Mataram Kuno.
PEMBAHASAN
Prasasti Canggal dari
Kerajaan Mataram Kuno
Prasasti
Canggal berasal dari halaman percandian di atas gunung wukir di Canggal, Desa
Kadiluwih, distrik atau kecamatan Salam di Kedu Selatan Kabupaten Magelan.
Prasasti Canggal di temukan di dekat puing-puing candi. Prasasti Canggal di
temukan dalam bentuk inskripsi. Sebagian inskripsi tertulis di tembok yang
melingkari suatu halaman candi Siwa yang terdapat pada puncak bukit atau gunung
tersebut (Asmito, 1988:76).Prasasti ini berangka tahun 654 saka atau 6 oktober
732 M. Prasasti ini adalah prasasti kedua yang dibuat pada masa kerajaan
Mataram Kuno di Jawa tengah. Di tulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa
Sansekerta. Menurut D. G.E Hall (tanpa
tahun: 45) bahwa prasasti Canggal berangka tahun732 di tempat suci Canggal di
Tenggara Borobudur. Prasasti ini menyebut “seorang raja Sanjaya yang mendirikan
lingga di Kunjarakunja di pulau jawa yang kaya akan padi-padian”. Secara rinci
di tulis di dalam buku sejarah nasional indonesia jilid II bahwa isi dari
prasasti Canggal adalah :
“bait pertama
dikatakan bahwa raja Sanjaya telah mendirikan Lingga di atas bukit pada tanggal
6 Oktober 732 M. Lima bait berikutnya berisi puji-pujian kepada Siwa, Brahmana,
dan Wisnu, dengan catatan bahwa untuk siwa sendiri tersedia tiga bait. Bait
ke-7 memuji-muji pulau Jawa yang subur dan banyak menghasilkan gandum (atau
padi) dan kaya akan emas. Di pulau jawa itu ada sebuah bangunan suci untuk
pemujaan Siwa yang amat indiah, untuk kesejahteraan dunia, yang dikelilingi
oleh sungai-sungai yang suci, antara lain sungai Gangga, bangunan suci itu
terletak di Kunjarakunja. Dua bait berikutnya ditujukan kepada raja Sanna, yang
memerintah dengan lemah lembut bagaikan seorang ayah yang mengasuh anak kecil
dengan penuh kasih sayang, dan dengan demikian ia termasyur
dimana-mana..................................... Tiga bait terakhir ditujukan
bagi pengganti Sanna, yaitu raja Sanjaya, anak yang telah menakhlukkan
raja-raja di sekelilingnya, bagaikan Raghu”. (Poesponegoro, Notosusanto,
2010:129)
Dari
bait pertama dapat diketahui bahwa raja Sanjaya yang beragama Siwa telah
mendirikan Lingga yang dimungkinkan adalah Candi. Candi pada dasarnya memang
digunakan sebagai tempat ibadah agama Buddha. Dari prasasti Canggal ditunjukkan
bahwasanya raja yang beragama Hindu telah
memberi perhatian yang besar terhadap umat Buddha. Toleransi yang tinggi dapat
dilihat dari sikap raja Mataram Kuno. Jika rajanya telah menunjukkan sikap
demikian, maka rakyatnyapun dapat di simpulkan dapat hidup berdampingan dengan
agama Buddha. Lingga yang dimaksud ini masih ada sisa-sisanya di atas gunung
Wukir.
Kehidupan
keagamaan yang harmonis antara agama Hindu dan Buddha di tunjukkan lagi pada
bait ke-9 pada prasasti Canggal. Bait ke-9 menjelaskan mengenai raja-raja
kerajaan Mataram Kuno. Sana, Sannaha, dan Sanjaya adalah keturunan Sanjaya yang
artinya wangsa yang beragama Hindu. Raja-raja Mataram Kuno mulai Sanjaya yang
diganti oleh Pancapan, Panangkaran, dan delapan raja lainnya disebutkan dalam
prasasti Canggal dengan gelar Sri Maharaja dan mengambil nama Abhiseka dengan Tungga.
Pancapan Panangkaran
adalah seorang Sailendra. Hal ini dibuktikan pada prasasti Kalasan. Artinya
setelah raja Sanjaya beragam Hindu diganti oleh Pacapana Panangkaran yang
memeluk agama Buddha. Ada pula sumber yang mengatakan bahwa Rakai Panangkaran
itu dari keluarga Sanjaya dan keluarga Sailendra. Untuk bukti tertulis mengenai
wangsa dari Rakai Penangkaran dapat dilihat secara jelas di dalam prasasti
Balitung. Karena di dalam prasasti tersebut Rakai Panangkaran disebut dengan
gelar “Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Raka i Panangkaran”. Gelar
tersebut menunjukkan bahwa Rakai Penangkaran dari Keluarga Sanjaya dan keluarga
Syailendra.
Raja-raja yang lebih
jelas terdapat pada prasasti Muntyasih, demi mendukung isi dari prasasti
Canggal tersebut. Prasasti Muntyasih berisikan raja-raja yang berkuasa di dalam
kerajaan Mataram kuno yang terdiri dari wangsa Sailendra dan wangsa Sanjaya.
Kemudian
setelah Raka i Panangkaran meninggal, kerajaan Mataram terpecah menjadi dua. Hal
ini dapat diketahui karena wilayah Mataram Hindu meliputi Jawa Tengah bagian
utara, di perintah oleh dinasti Sanjaya. Artinya yang berkuasa di Jawa Tengah
bagian utara adalah kerajaan bercorak Buddha. Kemudian untuk daerah Jawa Tengah
bagian selatan di perintah oleh dinasti Syailendra yakni kerajaan Mataram yang
bercorak Buddha.
Perpecahan
politik ini tidak berlangsung lama, untuk menyatukan kekuasaan politik tersebut
terjadi perkawinan politik yang terjadi pada Rakai Pikatan dengan
Pramodhawardani. Rakai Pikatan berasal dari wangsa Sanjaya yang menikah dengan
Pramodhawardani dari wangsa Syailendra.
Uraian
lain mengenai isi dari prasasti Canggal dikemukakan pula oleh Dr. Slamet
Muljana. Bahwa:
“Isi prasasti Canggal terdiri dari 12 pada. Pada 1 menguraikan pembangunan Lingga oleh raja Sanja di atas
gunung. Pada 2-4 memuat pujaan kepada
dewa Siwa, Pada 5 memuat pujaan
terhadap Brahma. Pada 6 pemujaan
terhadap Wisnu. Pada 7 menguraikan
pulau Jawa yang sangat subur, kaya akan tambang emas, dan banyak menghasilkan
padi. Di pulau itu didirikan candi Siwa demi kebahagiaan penduduk, berasal dari
Kunjarakunjadesa (di India Selatan). Pada
8-9 menguraikan bahwa pulau Jawa diperintah oleh raja Sanna, yang sangat
bijaksana, adil dalam tindakannya.......... ketika raja tersebut meninggal
negara merasa kehilangan pelindung. Pada
10-11 menguraikan pengganti raja Sanna yakni putranya raja Sanjaya, namun tidak
langsung dari raja Sanna”(2006:183).
Dari nama Kunjara atau Kunjaradari terdapat di India
Selatan. Dapat diketahui bahwa raja Sanjaya adalah pemeluk agama Siwa yang
berkiblat di India Selatan. Di identifikasi sebagai pertapaan Resi Agastya.
Candi pada masa kerajaan Mataram Kuno biasanya digunakan sebagai tempat ibadah
agama Buddha maupun hindu, sebagai tempat upacara, dan juga pusat pemerintahan.
kemudian mengenai raja pertama yang memerintah atau mendirikan kerajaan Mataram
Kuno ada yang menyebut raka Sanna ada pula yang menyebut raja Sanjaya. Ini di
mungkinkan karena pada masa raja Sanna belum berdiri dinasti Sanjaya. Dinasti
Sanjaya baru ada ketika masa pemerintahan raja Sanjaya. Sehingga, raja Sanjaya
sering di katakan sebagai pendiri kerajaan Mataram Kuno, dan ayah dari dinasti
Sanjaya. Mungkin, memang tidak salah, karena raja Sanna di sebutkan di dalam
salah satu prasasti yang isinya bahwa raja Sanna merupakan raja Pertama dari
kerajaan Kamulan. Yang artinya bukan dari kerajaan Mataram Kuno, baru ketika
putranya Sanjaya mendirikan kerajaan Mataram Kuno.
Menurut
D.G.E. Hall bahwa Dinasti Sailendra mulai muncul dan berkuasa di Jawa pada
pertengahan abad VII. Pancapana Panangkaran adalah Sailendra pertama, ia
pendiri Candi Borobudur dan candi Kalasan. Secara tegas D.G.E. Hall mengatakan
bahwa ada dua dinasti yang memerintah di Jawa. Raja-raja keturunan Sanjaya
sampai tahun 832 yang menjadi bawahan adalah dinansti Sailendra. Berikut
dipaparkan mengenai penguasa dari kedua dinasti tersebut.
Dinasti
Sanjaya (Siva)
|
Dinasti
Sailendra
|
Sanjaya
(732- kurang lebih 760)
|
|
R.
Panangkaran (sekitar 760-sekitar 780)
|
Visnu
(Dharmatungga) (sebelum 775-782)
|
R.
Warak (sekitar 800- sebelum 819)
|
Indra
(samaratunggadhananjaya) (782-812)
|
R.
Garung (R. Patapan) (sebelum 819-838)
|
Samaratunggha
(tara) (812-832)
|
R.
Pikatan (838-815)
|
Pramodhawardhani
(istri dari R. Pikatan)
|
R.
Kayawani (815-Sesudah 882)
|
|
Pada
pernikahan Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani yang latar belakang budaya dan
agama sangat berbeda namun menjalin hubungan pernikahan. Hal ini selain
bertujuan politik juga bertujuan menambah toleransi antara agama Hindu dan
Buddha. Dapat disimpulkan bahwa pada masa kerajaan Mataram Kuno agama Hindu
Buddha dapat hidup rukun berdampingan dalam kehidupan pemerintahan, sosial,
budaya, dan keagamaan.
Walaupun
dalam beberapa proses terjadi persaingan di dalam wangsa Sanjaya dan wangsa
Syailendra. Kehidupan sosial menjadi tetap hidup berdampingan.
Prasasti
Kalasan dari Kerajaan Mataram Kuno
Prasasti Kalasan
pertama kali di terbitkan oleh Dr. Brandes. Prasasti Kalasan ditulis
menggunakan bahasa Sansekerta dengan huruf Pranagari. Pada tahun 700 atau 778
M. Kalasan terletak dekat dengan candi Prambanan. Prasasti ini dari batu
andesit berbentuk persegi panjang. Prasasti ini ditemukan di sebelah timur
candi Kalasan. Menurut Slamet Muljana isi dari prasasti Kalasan adalah:
Pada 1 menenai doa dan salam kepada
Arya Tara, mudah-mudahan para pemujanya dapat mencapai tujuannya. Pada 2-3 para guru raja Sailendra mohon
kepada maharaja Dyah Pancapana Panangkaran agar beliau membangun candi Tara.
Dan rumah untuk para pendeta yang fasih akan pengetahuan Mahaya Winaya. Pada 4-6 berisi para pangkur, tawan, dan
titip menerima perintah untuk membuat candi tara dan perumaham para pendeta.
Candi Tara di dirikan di daerah makmur sang Raja yang menjadi hiasa rajkula
Sailendra untuk kepentingan para guru raja Sailendra. Pada 7-9 mennai desa kalasan yang dihadiahkan. Para Pangkur, tawan,
dan titip, adyaksa desa dan para pembesar menjadi saksi. Pada 11-12: berkat pembangunan Wihara tesebut diharapkan semua
orang memperoleh pengetahuan tentang kelahiran, memperoleh tibavopapanna dan mengikuti ajaran Cina (2006:186).
Dari pada ke 2-6 dapat diketahui keharmonisan
maharaja Dyah Pancapana Panangkaran yang
beragama Siva dari dinasti Sanjaya dapat memberikan sebuah Wihara, candi, dan
perumahan untuk para pendeta yang dimohonkan oleh guru agama Buddha. Kehidupan
rukun antara kedua agama tersebut sudah tidak dapat diragukan lagi. Menurut
para Sejarawan bahwa yang di maksud sebagai tempat ibadah para Buddha adalah
candi Kalasan. Sedangkan tempat untuk perumahan para pendeta adalah candi Sari.
Keduanya memiliki letak yang tidak terlalu jauh.
Terdapat beberapa pendapat dari para ilmuan yang
mengatakan bahwa maharaja Dyah Pancapana Panangkaran adalah raja bawahan dari
dinasti Sailendra. Pernyataan tersebut dihubung-hubungkan dengan
prasasti-prasasti ataupun bukti-bukti yang menyangkut raja maupun dinasti
Sailendra. Adapula yang menginterpretasikan bahwa Sailendra wangsa dan Sanjaya
wangsa saling bekerjasama dalam membangun kekuatan di dalam kerajaan Mataram
Kuno. Dan kerjasama tersebut menimbulkan hubungan yang sangat erat.
Permohonan
dari guru wangsa Sailendra ini di artikan bahwa pemerintahan Sailendrawangsa
dan Sanjaya wangsa terus berdampingan dalam pemerintahan kerajaan Mataram Kuno.
Kesimpulannya pada kurun waktu tersebut didalam kerajaan Mataram Kuno terjadi
keharmonisan di antara kedua agama yakni agama Hindu dan agama Buddha.
Pengaruh
kedua dinasti ini, juga nyata di tunjukkan dalam pembangunan candi yang hampir
seimbang antara candi yang dibangun oleh wangsa Sailendra dan wangsa Sanjaya.
Bentuk dan pemaknaan candi jawa Timuran dan canti jawa tengahan sangat berbeda.
Dalam pembangunannya di lakukan dalam kurun waktu yang hampir sama. Dan
diantara keduanya saling menghargai, memberi kesempatan untuk membangun tempat
ibadah masing-masing.
Dari
Prasasti Kalasan dapat di ketahui bahwa kedua wangsa sebagai pemimpin kerajaan
Mataram Kuno tidak saling berebut pengaruh. Raja yang beragama Buddha tetap
berpegang teguh pada agamanya yakni agama Buddha, begitu pula bagi raja yang
beragam Hindu tetap memegang teguh agama Hindu.
Sekarang
prasasti Kalasan masih bisa ditemui di gedung Museum
Nasional yang lokasinya ada di Jakarta Pusat, bilangan Jalan Merdeka Barat
nomor 12.
PENUTUP
Dalam
kehidupan masyarakat kerajaan Mataram Kuno terdapat dua agama yang hidup
berdampingan tanpa menuai konflik. Mungkin masih ada agama lain. Namun, yang
lebih jelas terlihat secara umum adalah agama Hindu dan agama Buddha.
Pemerintah kerajaan juga terlihat terdapat dari keduanya. Ada yang dari wangsa
Sailendra ada pula yang berasal dari wangsa Sanjaya. Keduanya hidup
berdampingan bahwa akan yang menjalin hubungan pernikahan.
Walaupun
dalam beberapa kurun waktu terjadi perpecahan di antara kedua dinasti tersebut.
Namun, tidak ada pertikaian atau konflik yang nyata dalam perpecahan tersebut.
Mungkin, dapat di interpretasikan bahwa keduanya ini saling membagi kekuasaan,
demi hubungan kerjasama. Candi Canggal dan Candi Kalasan dapat digunakan
sebagai bukti konkrit atau sumber Sekunder dalam memahami raja-raja,
pemerintahan, sosial-budaya, maupun agama dalam kehidupan masyarakat Mataram
Kuno.
Kedua
agama Hindu dan Buddha yang bisa hidup berdampingan merupakan suatu hal yang
sangat mengagumkan. Karena seperti yang dilihat pada masa sekarang ini, banyak
konflik-konflik yang muncul akibat berbedaan agama. Namun, pada masa
pemerintahan kerajaan Mataram Kuno. Pemimpin kerajaan terdiri dari raja yang
beragama Hindu dan terkadang dari raja yang beragama Buddha. Keduanya tidak
menunjukkan tanda-tanda perebutan kekuasaan ataupun perebutan pengaruh di dalam
kawasan yang sama.
Dalam
masanya, juga terdapat perpecahan antara kekuasaan agama hindu dan agama
buddha. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama. Kedua agama tersebut
bersatu kembali untuk memerintah di dalam kerajaan Mataram Kuno. Walaupun raja
yang satu beragama hindu bagi raja yang beragama Buddha tetap beragama Buddha,
sedangkan bagi raja yang beragama Buddha tetap berpegang teguh agama buddha,
meskipun raja- raja lainnya beragama Hindu. Jadi dapat disimpulkan bahwa kedua
agama ini saling memiliki kekuatan yang sama dalam jiwa para raja-rajanya.
Sikap toleransi yang tinggi di tunjukkan di dalam kehidupan masyarakat kerajaan
Mataram Kuno.
Kerajaan
Mataram Kuno menunjukkan hal yang luar biasa, karena dapat mendampingkan kedua
agama dengan penuh kebijaksanaan. Hal ini yang harus di pelajari dalam memahami
sejarah bangsa Kita. Tidak selalu agama digunakan sebagai simbol kekuatan yang
bisa menimbulkan konflik yang pada tahap terakhir akan menimbulkan perpecahan.
Agama tidak boleh digunakan sebagai alat untuk berkuasa. Tergantung kita
menyikapi sebuah perbedaan yang ada di dalam agama. Sejarah adalah pelajaran
bagi manusia untuk membuat manusia menjadi lebih bijaksana. Bukan selalu untuk
melakukan kesalahan yang sama dan mengulang sejarah.
Daftar
Rujukan
Asminto. 1988. Sejarah
Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Depdikbud
Hall,
D.G.E., tanpa tahun. Sejarah asia
Tenggara. Surabaya : Usaha Nasional.
Muljana, S. 2006. Sriwijaya. Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara Yogyakarta
Poesponegoro, Marwati, J. 2010 (cetakan ke-4). Sejarah Nasional Indonesia (Jilid II).
Jakarta: Balai Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar