Selasa, 06 Oktober 2015

PRASASTI CANGGAL DAN PRASASTI KALASAN



                       

PRASASTI CANGGAL DAN PRASASTI KALASAN
SEBAGAI BUKTI HARMONISASI AGAMA HINDU-BUDDHA
PADA MASA KERAJAAN MATARAM KUNO

Oleh :
Dwi Lidiawati (130731615709)
Offering A/2013
Sejarah Fakultas Ilmu Sosial
Email: dwilidia57@gmail.com

Abstrak :
Prasasti Canggal dan Prasasti Kalasan dapat digunakan sebagai bukti yang konkrit dalam memahami pernyataan mengenai kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara. Khususnya adalah pada masa kerajaan mataram kuno. Prasasti adalah sumber tertulis yang dapat digunakan sebagai bukti konkrit dalam peristiwa sejarah. Prasasti biasanya juga digunakan sebagai sumber primer dalam penulisan sejarah. Prasasti Canggal terdapat beberapa bait atau pada yang diantara isinya menyiratkan harmonisasi kehidupan diantara agama Hindu Buddha. Begitu pula dengan prasasti Kalasan. Kedua prasasti ini di buat pada masa kerajaan Mataram Kuno.
Kata Kunci : Prasasti Canggal, Prasasti Kalasan, Agama Hindu-Buddha, Mataram Kuno
PENDAHULUAN
            Munculnya pengaruh dari India ini berdampak pada agama dan budayanya. Agama yang dibawa oleh India adalah agama Hindu dan Buddha. Dari pengaruh tersebut munculah kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Nusantara. Karena selain terjadi Hinduisme di Nusantara muncul pula pengaruh Buddha yang berkembang pesat pula. Kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara cukup tiap bagian ada di Nusantara, meskipun tidak dalam waktu yang serentak. Pengaruh hindu terjadi pada agama, kesenian, dan adat istiadat. Dari pembangunan kebudayaan dikaitkan dengan penduduk yang menetap sehingga terbentuklah sebuah pemerintahan yang disebut sebagai kerajaan dengan haluan Hindu maupun Buddha.
            Di pulau Jawa terdapat Kerajaan Mataram kuno yang termasuk kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara khususnya  terletak di pulau jawa bagian tengah. Sejak abad ke-8 berkembang kerajaan-kerajaan di pedalaman Jawa Tengah. Di dalam buku-buku sumber yang membahas mengenai kerajaan Mataram banyak yang membahas mengenai pemerintahan yang berkuasa di Mataram kuno. Ada yang menyebut dinasti Sanjaya, ada yang menyebut dinasti Sailendra, ada pula yang menyebut keduanya. Dua dinasti tersebut merupakan dinasti yang terkenal di Jawa Tengah. Dari prasasti Canggal dapat diketahui dinasti mana yang memerintah di dalam kerajaan Mataram Kuno.
            Mengenai sebutan dinasti Sailendra pertama kali terdapat di dalam prasasti Kalasan (778 M). Nama wangsa Sailendra tersebut juga di jumpai di dalam daratan India. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa wangsa Sailendra di dapat dari India. Wangsa Sailendra adalah penganut agama Buddha Mahayana. Selain pengetahuan mengenai wangsa Sailendra kita juga perlu tahu apa yang dimaksud sebagai wangsa Sanjaya. Wangsa Sanjaya adalah penganut agama Hindu Siva.
Di tuliskan oleh para sejarawan bahwa yang pertama memerintah adalah dinasti Sanjaya yang mulai berkuasa pada abad ke-8 di Jawa Tengah. Menurut Asmito, kekuasaan dinasti Sanjaya ini dapat di ketahui melalui: Prasasti Canggal, prasasti Parahyangan, Prasasti Taji, Prasasti Getak (1988:77). Dinasti Sailendra muncul pada akhir abad ke-8 di Jawa Tengah. Nama Sailendra berasal dari kata Saila (gunung), indra (raja). Jadi Sailendra adalah raja Gunung.
            Terdapat banyak prasasti yang menuliskan harmonisasi hindu-Buddha dalam kehidupan kerajaan bercorak Hindu-Buddha baik yang tersurat maupun tersirat. Sedangkan prasasti Canggal dan prasasti Kalasan adalah prasasti yang isinya tersirat mengenai keharmonisan tersebut. Sehingga perlu mempertimbangkan dan menghubungkan sumber-sumber lainnya. Perlu analisis dari para sejarawan.
            Prasasti yang satu akan dikaitkan dengan prasasti yang lain, dan saling menguatkan. Dalam masa kerajaan Hindu Buddha di kerajaan Mataram Kuno, ada prasasti yang dibuat oleh dinasti Sailendra, dan ada prasasti yang dibuat oleh dinasti Sanjaya. Keduanya menunjukkan sikap keharmonisan yang menakjubkan. Sehingga penulis akan membahas secara fokus di dalam prasasti Canggal dan prasasti Kalasan dari masa Kerajaan Mataram Kuno.

PEMBAHASAN

Prasasti Canggal dari Kerajaan Mataram Kuno
            Prasasti Canggal berasal dari halaman percandian di atas gunung wukir di Canggal, Desa Kadiluwih, distrik atau kecamatan Salam di Kedu Selatan Kabupaten Magelan. Prasasti Canggal di temukan di dekat puing-puing candi. Prasasti Canggal di temukan dalam bentuk inskripsi. Sebagian inskripsi tertulis di tembok yang melingkari suatu halaman candi Siwa yang terdapat pada puncak bukit atau gunung tersebut (Asmito, 1988:76).Prasasti ini berangka tahun 654 saka atau 6 oktober 732 M. Prasasti ini adalah prasasti kedua yang dibuat pada masa kerajaan Mataram Kuno di Jawa tengah. Di tulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta.  Menurut D. G.E Hall (tanpa tahun: 45) bahwa prasasti Canggal berangka tahun732 di tempat suci Canggal di Tenggara Borobudur. Prasasti ini menyebut “seorang raja Sanjaya yang mendirikan lingga di Kunjarakunja di pulau jawa yang kaya akan padi-padian”. Secara rinci di tulis di dalam buku sejarah nasional indonesia jilid II bahwa isi dari prasasti Canggal adalah :
“bait pertama dikatakan bahwa raja Sanjaya telah mendirikan Lingga di atas bukit pada tanggal 6 Oktober 732 M. Lima bait berikutnya berisi puji-pujian kepada Siwa, Brahmana, dan Wisnu, dengan catatan bahwa untuk siwa sendiri tersedia tiga bait. Bait ke-7 memuji-muji pulau Jawa yang subur dan banyak menghasilkan gandum (atau padi) dan kaya akan emas. Di pulau jawa itu ada sebuah bangunan suci untuk pemujaan Siwa yang amat indiah, untuk kesejahteraan dunia, yang dikelilingi oleh sungai-sungai yang suci, antara lain sungai Gangga, bangunan suci itu terletak di Kunjarakunja. Dua bait berikutnya ditujukan kepada raja Sanna, yang memerintah dengan lemah lembut bagaikan seorang ayah yang mengasuh anak kecil dengan penuh kasih sayang, dan dengan demikian ia termasyur dimana-mana..................................... Tiga bait terakhir ditujukan bagi pengganti Sanna, yaitu raja Sanjaya, anak yang telah menakhlukkan raja-raja di sekelilingnya, bagaikan Raghu”. (Poesponegoro, Notosusanto, 2010:129)
            Dari bait pertama dapat diketahui bahwa raja Sanjaya yang beragama Siwa telah mendirikan Lingga yang dimungkinkan adalah Candi. Candi pada dasarnya memang digunakan sebagai tempat ibadah agama Buddha. Dari prasasti Canggal ditunjukkan bahwasanya  raja yang beragama Hindu telah memberi perhatian yang besar terhadap umat Buddha. Toleransi yang tinggi dapat dilihat dari sikap raja Mataram Kuno. Jika rajanya telah menunjukkan sikap demikian, maka rakyatnyapun dapat di simpulkan dapat hidup berdampingan dengan agama Buddha. Lingga yang dimaksud ini masih ada sisa-sisanya di atas gunung Wukir.
            Kehidupan keagamaan yang harmonis antara agama Hindu dan Buddha di tunjukkan lagi pada bait ke-9 pada prasasti Canggal. Bait ke-9 menjelaskan mengenai raja-raja kerajaan Mataram Kuno. Sana, Sannaha, dan Sanjaya adalah keturunan Sanjaya yang artinya wangsa yang beragama Hindu. Raja-raja Mataram Kuno mulai Sanjaya yang diganti oleh Pancapan, Panangkaran, dan delapan raja lainnya disebutkan dalam prasasti Canggal dengan gelar Sri Maharaja dan mengambil nama Abhiseka dengan Tungga. 
Pancapan Panangkaran adalah seorang Sailendra. Hal ini dibuktikan pada prasasti Kalasan. Artinya setelah raja Sanjaya beragam Hindu diganti oleh Pacapana Panangkaran yang memeluk agama Buddha. Ada pula sumber yang mengatakan bahwa Rakai Panangkaran itu dari keluarga Sanjaya dan keluarga Sailendra. Untuk bukti tertulis mengenai wangsa dari Rakai Penangkaran dapat dilihat secara jelas di dalam prasasti Balitung. Karena di dalam prasasti tersebut Rakai Panangkaran disebut dengan gelar “Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Raka i Panangkaran”. Gelar tersebut menunjukkan bahwa Rakai Penangkaran dari Keluarga Sanjaya dan keluarga Syailendra.
Raja-raja yang lebih jelas terdapat pada prasasti Muntyasih, demi mendukung isi dari prasasti Canggal tersebut. Prasasti Muntyasih berisikan raja-raja yang berkuasa di dalam kerajaan Mataram kuno yang terdiri dari wangsa Sailendra dan wangsa Sanjaya.
            Kemudian setelah Raka i Panangkaran meninggal, kerajaan Mataram terpecah menjadi dua. Hal ini dapat diketahui karena wilayah Mataram Hindu meliputi Jawa Tengah bagian utara, di perintah oleh dinasti Sanjaya. Artinya yang berkuasa di Jawa Tengah bagian utara adalah kerajaan bercorak Buddha. Kemudian untuk daerah Jawa Tengah bagian selatan di perintah oleh dinasti Syailendra yakni kerajaan Mataram yang bercorak Buddha.
            Perpecahan politik ini tidak berlangsung lama, untuk menyatukan kekuasaan politik tersebut terjadi perkawinan politik yang terjadi pada Rakai Pikatan dengan Pramodhawardani. Rakai Pikatan berasal dari wangsa Sanjaya yang menikah dengan Pramodhawardani dari wangsa Syailendra.
            Uraian lain mengenai isi dari prasasti Canggal dikemukakan pula oleh Dr. Slamet Muljana. Bahwa:
 “Isi prasasti Canggal terdiri dari 12 pada. Pada 1 menguraikan pembangunan Lingga oleh raja Sanja di atas gunung. Pada 2-4 memuat pujaan kepada dewa Siwa, Pada 5 memuat pujaan terhadap Brahma. Pada 6 pemujaan terhadap Wisnu. Pada 7 menguraikan pulau Jawa yang sangat subur, kaya akan tambang emas, dan banyak menghasilkan padi. Di pulau itu didirikan candi Siwa demi kebahagiaan penduduk, berasal dari Kunjarakunjadesa (di India Selatan). Pada 8-9 menguraikan bahwa pulau Jawa diperintah oleh raja Sanna, yang sangat bijaksana, adil dalam tindakannya.......... ketika raja tersebut meninggal negara merasa kehilangan pelindung. Pada 10-11 menguraikan pengganti raja Sanna yakni putranya raja Sanjaya, namun tidak langsung dari raja Sanna”(2006:183).
Dari nama Kunjara atau Kunjaradari terdapat di India Selatan. Dapat diketahui bahwa raja Sanjaya adalah pemeluk agama Siwa yang berkiblat di India Selatan. Di identifikasi sebagai pertapaan Resi Agastya. Candi pada masa kerajaan Mataram Kuno biasanya digunakan sebagai tempat ibadah agama Buddha maupun hindu, sebagai tempat upacara, dan juga pusat pemerintahan. kemudian mengenai raja pertama yang memerintah atau mendirikan kerajaan Mataram Kuno ada yang menyebut raka Sanna ada pula yang menyebut raja Sanjaya. Ini di mungkinkan karena pada masa raja Sanna belum berdiri dinasti Sanjaya. Dinasti Sanjaya baru ada ketika masa pemerintahan raja Sanjaya. Sehingga, raja Sanjaya sering di katakan sebagai pendiri kerajaan Mataram Kuno, dan ayah dari dinasti Sanjaya. Mungkin, memang tidak salah, karena raja Sanna di sebutkan di dalam salah satu prasasti yang isinya bahwa raja Sanna merupakan raja Pertama dari kerajaan Kamulan. Yang artinya bukan dari kerajaan Mataram Kuno, baru ketika putranya Sanjaya mendirikan kerajaan Mataram Kuno.
            Menurut D.G.E. Hall bahwa Dinasti Sailendra mulai muncul dan berkuasa di Jawa pada pertengahan abad VII. Pancapana Panangkaran adalah Sailendra pertama, ia pendiri Candi Borobudur dan candi Kalasan. Secara tegas D.G.E. Hall mengatakan bahwa ada dua dinasti yang memerintah di Jawa. Raja-raja keturunan Sanjaya sampai tahun 832 yang menjadi bawahan adalah dinansti Sailendra. Berikut dipaparkan mengenai penguasa dari kedua dinasti tersebut.
Dinasti Sanjaya (Siva)
Dinasti Sailendra
Sanjaya (732- kurang lebih 760)

R. Panangkaran (sekitar 760-sekitar 780)
Visnu (Dharmatungga) (sebelum 775-782)
R. Warak (sekitar 800- sebelum 819)
Indra (samaratunggadhananjaya) (782-812)
R. Garung (R. Patapan) (sebelum 819-838)
Samaratunggha (tara) (812-832)
R. Pikatan (838-815)
Pramodhawardhani (istri dari R. Pikatan)
R. Kayawani (815-Sesudah 882)


Pada pernikahan Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani yang latar belakang budaya dan agama sangat berbeda namun menjalin hubungan pernikahan. Hal ini selain bertujuan politik juga bertujuan menambah toleransi antara agama Hindu dan Buddha. Dapat disimpulkan bahwa pada masa kerajaan Mataram Kuno agama Hindu Buddha dapat hidup rukun berdampingan dalam kehidupan pemerintahan, sosial, budaya, dan keagamaan.
Walaupun dalam beberapa proses terjadi persaingan di dalam wangsa Sanjaya dan wangsa Syailendra. Kehidupan sosial menjadi tetap hidup berdampingan.
Prasasti Kalasan dari Kerajaan Mataram Kuno
            Prasasti Kalasan pertama kali di terbitkan oleh Dr. Brandes. Prasasti Kalasan ditulis menggunakan bahasa Sansekerta dengan huruf Pranagari. Pada tahun 700 atau 778 M. Kalasan terletak dekat dengan candi Prambanan. Prasasti ini dari batu andesit berbentuk persegi panjang. Prasasti ini ditemukan di sebelah timur candi Kalasan. Menurut Slamet Muljana isi dari prasasti Kalasan adalah:
Pada 1 menenai doa dan salam kepada Arya Tara, mudah-mudahan para pemujanya dapat mencapai tujuannya. Pada 2-3 para guru raja Sailendra mohon kepada maharaja Dyah Pancapana Panangkaran agar beliau membangun candi Tara. Dan rumah untuk para pendeta yang fasih akan pengetahuan Mahaya Winaya. Pada 4-6 berisi para pangkur, tawan, dan titip menerima perintah untuk membuat candi tara dan perumaham para pendeta. Candi Tara di dirikan di daerah makmur sang Raja yang menjadi hiasa rajkula Sailendra untuk kepentingan para guru raja Sailendra. Pada 7-9 mennai desa kalasan yang dihadiahkan. Para Pangkur, tawan, dan titip, adyaksa desa dan para pembesar menjadi saksi. Pada 11-12: berkat pembangunan Wihara tesebut diharapkan semua orang memperoleh pengetahuan tentang kelahiran, memperoleh tibavopapanna dan mengikuti ajaran Cina (2006:186).
Dari pada ke 2-6 dapat diketahui keharmonisan maharaja Dyah Pancapana Panangkaran  yang beragama Siva dari dinasti Sanjaya dapat memberikan sebuah Wihara, candi, dan perumahan untuk para pendeta yang dimohonkan oleh guru agama Buddha. Kehidupan rukun antara kedua agama tersebut sudah tidak dapat diragukan lagi. Menurut para Sejarawan bahwa yang di maksud sebagai tempat ibadah para Buddha adalah candi Kalasan. Sedangkan tempat untuk perumahan para pendeta adalah candi Sari. Keduanya memiliki letak yang tidak terlalu jauh.
Terdapat beberapa pendapat dari para ilmuan yang mengatakan bahwa maharaja Dyah Pancapana Panangkaran adalah raja bawahan dari dinasti Sailendra. Pernyataan tersebut dihubung-hubungkan dengan prasasti-prasasti ataupun bukti-bukti yang menyangkut raja maupun dinasti Sailendra. Adapula yang menginterpretasikan bahwa Sailendra wangsa dan Sanjaya wangsa saling bekerjasama dalam membangun kekuatan di dalam kerajaan Mataram Kuno. Dan kerjasama tersebut menimbulkan hubungan yang sangat erat.
            Permohonan dari guru wangsa Sailendra ini di artikan bahwa pemerintahan Sailendrawangsa dan Sanjaya wangsa terus berdampingan dalam pemerintahan kerajaan Mataram Kuno. Kesimpulannya pada kurun waktu tersebut didalam kerajaan Mataram Kuno terjadi keharmonisan di antara kedua agama yakni agama Hindu dan agama Buddha.
            Pengaruh kedua dinasti ini, juga nyata di tunjukkan dalam pembangunan candi yang hampir seimbang antara candi yang dibangun oleh wangsa Sailendra dan wangsa Sanjaya. Bentuk dan pemaknaan candi jawa Timuran dan canti jawa tengahan sangat berbeda. Dalam pembangunannya di lakukan dalam kurun waktu yang hampir sama. Dan diantara keduanya saling menghargai, memberi kesempatan untuk membangun tempat ibadah masing-masing.
            Dari Prasasti Kalasan dapat di ketahui bahwa kedua wangsa sebagai pemimpin kerajaan Mataram Kuno tidak saling berebut pengaruh. Raja yang beragama Buddha tetap berpegang teguh pada agamanya yakni agama Buddha, begitu pula bagi raja yang beragam Hindu tetap memegang teguh agama Hindu.
            Sekarang prasasti Kalasan masih bisa ditemui di gedung Museum Nasional yang lokasinya ada di Jakarta Pusat, bilangan Jalan Merdeka Barat nomor 12.

PENUTUP
            Dalam kehidupan masyarakat kerajaan Mataram Kuno terdapat dua agama yang hidup berdampingan tanpa menuai konflik. Mungkin masih ada agama lain. Namun, yang lebih jelas terlihat secara umum adalah agama Hindu dan agama Buddha. Pemerintah kerajaan juga terlihat terdapat dari keduanya. Ada yang dari wangsa Sailendra ada pula yang berasal dari wangsa Sanjaya. Keduanya hidup berdampingan bahwa akan yang menjalin hubungan pernikahan.
            Walaupun dalam beberapa kurun waktu terjadi perpecahan di antara kedua dinasti tersebut. Namun, tidak ada pertikaian atau konflik yang nyata dalam perpecahan tersebut. Mungkin, dapat di interpretasikan bahwa keduanya ini saling membagi kekuasaan, demi hubungan kerjasama. Candi Canggal dan Candi Kalasan dapat digunakan sebagai bukti konkrit atau sumber Sekunder dalam memahami raja-raja, pemerintahan, sosial-budaya, maupun agama dalam kehidupan masyarakat Mataram Kuno.
            Kedua agama Hindu dan Buddha yang bisa hidup berdampingan merupakan suatu hal yang sangat mengagumkan. Karena seperti yang dilihat pada masa sekarang ini, banyak konflik-konflik yang muncul akibat berbedaan agama. Namun, pada masa pemerintahan kerajaan Mataram Kuno. Pemimpin kerajaan terdiri dari raja yang beragama Hindu dan terkadang dari raja yang beragama Buddha. Keduanya tidak menunjukkan tanda-tanda perebutan kekuasaan ataupun perebutan pengaruh di dalam kawasan yang sama.
            Dalam masanya, juga terdapat perpecahan antara kekuasaan agama hindu dan agama buddha. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama. Kedua agama tersebut bersatu kembali untuk memerintah di dalam kerajaan Mataram Kuno. Walaupun raja yang satu beragama hindu bagi raja yang beragama Buddha tetap beragama Buddha, sedangkan bagi raja yang beragama Buddha tetap berpegang teguh agama buddha, meskipun raja- raja lainnya beragama Hindu. Jadi dapat disimpulkan bahwa kedua agama ini saling memiliki kekuatan yang sama dalam jiwa para raja-rajanya. Sikap toleransi yang tinggi di tunjukkan di dalam kehidupan masyarakat kerajaan Mataram Kuno.
            Kerajaan Mataram Kuno menunjukkan hal yang luar biasa, karena dapat mendampingkan kedua agama dengan penuh kebijaksanaan. Hal ini yang harus di pelajari dalam memahami sejarah bangsa Kita. Tidak selalu agama digunakan sebagai simbol kekuatan yang bisa menimbulkan konflik yang pada tahap terakhir akan menimbulkan perpecahan. Agama tidak boleh digunakan sebagai alat untuk berkuasa. Tergantung kita menyikapi sebuah perbedaan yang ada di dalam agama. Sejarah adalah pelajaran bagi manusia untuk membuat manusia menjadi lebih bijaksana. Bukan selalu untuk melakukan kesalahan yang sama dan mengulang sejarah.





Daftar Rujukan
Asminto. 1988. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Depdikbud
Hall, D.G.E., tanpa tahun. Sejarah asia Tenggara. Surabaya : Usaha Nasional.
Muljana, S. 2006. Sriwijaya. Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara Yogyakarta
Poesponegoro, Marwati, J. 2010 (cetakan ke-4). Sejarah Nasional Indonesia (Jilid II). Jakarta: Balai Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar