Selasa, 06 Oktober 2015

EPISTEMOLOGI DASAR



EPISTEMOLOGI DASAR: Suatu Pengantar
(A. M. W Pranarka)







Resume
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Filsafat ilmu
Yang dibina oleh Bapak GM. Sukamto, M.Pd, M.Si







Oleh:

Pebri Ramdani                                 (130731615714)
Suci Suryaning Dias                        (130731615743)
Yunik Lestari                                   (130731607278)
Zainal Abidin                                   (130731616733)

















UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
DAFTAR ISI

Halaman






BAB I

APAKAH ITU EPISTEMOLOGI

Secara etimologikal, epistemology berasal dari dua kata di dalam bahasa Yunani yaitu: episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan dan logos lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Secara sederhana epistemology berarti pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan.
Bila diurai lebih jauh episteme dapat dipecah menjadi dua bagian yaitu epi-histemai yang artinya mendudukan, menempatkan atau meletakkan. Episteme lebih mengandung arti pengetahuan sebagai salah satu upaya intelektual untuk “menempatkan sesuatu dalam kedudukan sesuai tempatnya”. Sedangkan kata logos juga merupakan kata yang dekat kaitannya dengan pengetahuan. Logos dapat berarti pikiran, berdekatan dengan kata nous yang artinya budi.
Gerakan “epistemology” di Yunani dahulu dipimpin antara lain oleh kelompok yang disebut kaum “Sophis”, yaitu orang yang secara sadar mempermasalahkan segala sesuatu. Epistemologi kadangkala juga dikaitkan dan bahkan disamakan dengan suatu disiplin yang dinamakan Critika atau Criteologia, yaitu pengetahuan sistematik mengenai kriteria/ patokan untuk menentukan pengetahuan yang benar dan tidak benar.
Mengapa epistemology tumbuh dan berkembang?
Pengalaman menunjukkan bahwa pegetahuan manusia bergerak di dalam dua tataran yaitu: tataran yang sifatnya spontan, tataran yang sifatnya refleksif. Di dalam evolusi kesadaran tersebut tidak jarang manusia dihadapkan kepada pada masalah-masalah yang memacu  lebih cepat lagi tumbuhnya kesadaran  epistemological, baik secara psikologis emosional maupun secara intelektual. Permasalahan yang lazim didapat manusia adalah masalah-masalah tentang pertentangan pendapat antara yang suatu hal yang dianggap benar atau salah, masalah pertentangan ilmu pengetahuan yang berujung pada terjadinya konflik. Oleh sebab itulah pada dasarnya manusia selalu mempermasalahkan kualitas pengetahuannya.
Perkembangan pengetahuan juga melahirkan berbagai jenis pengetahuan sistematis seperti ilmu, filsafat, theology, ideology dan teknologi. Manusia kemudian mulai mempersoalkan c
kriteria tentang kepastian dan validitas pengetahuan yang sifatnya langsung ataupun pengetahuan tidak langsung, pengetahuan yang sifatnya tunggal dan pengetahuan yang merupakan komposisi dan akumulasi dari berbagai macam pengetahuan. Proses seperti itu terjadi karena pengetahuan itu adalah bagian dari hidup dan kehidupan manusia, yang di dalamnya mempunyai historitas dan sosialitas.
Epistemology yang diuraikan dalam naskah ini adalah perkembangan teori-teori sistematik mengenai pengetahuan yang terjadi dalam pengetahuan sejarah masyarakat dan kebudayaan Barat, sejak zaman awal sampai sekarang. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa sejak zaman Yunani Kuno, orang sudah mulai mempertanyakan secara sadar mengenai pengetahuan. Tampak bahwa orang merasakan bahwa pengetahuan merupakan faktor penting  yang menentukan hidup dan kehidupan manusia. Orang meletakkan kedaulatan pada pengetahuan, setidaknya hal ini terlihat jelas sebagai bagian dari tradisi masyarakat dan kebudayaan Athena. Sejarah kebudayaan Yunani sepertinya lebih banyak dibentuk dan diberi warna oleh perkembangan Athena memberi prioritas pada pengetahuan. Salah satu aspek yang mewarnai seluruh perkembangan kebudayaan Yunani Kuno adalah pengetahuan itu sendiri, mulai dari zaman Pra-Socrates sampai pada masa Pra-Aritosteles.
Zaman Romawi tidak begitu banyak menunjukkan perkembangan pemikiran mendalam dan sistematik mengenai pengetahuan. Hal ini disebabkan karena alam pikiran Romawi adalah alam pikiran yang sifatnya lebih pragmatis dan ideologis. Stolcisme dan epicurisme banyak memberi pengaruh terhadap alam pemikiran Romawi. Masuknya agama Nasrani ke Eropa memacu perkembangan epistemology lebih lanjut, khususnya karena terdapat masalah antara pengetahuan samawi dan manusiawi, antara iman dan akal. Hal ini kemudian memberi masalah baru, manakah yang lebih berbobot dan berkualitas iman atau ilmu, kepercayaan atau pembuktian. Kaum agamis mengatakan bahwa pengetahuan manusiawi (intellectus) harus disempurnakan dengan pengethuan adikodrati (fides). Kaum intelektual mengatakan sebaliknya iman adalah omong kosong kalau tidak terbuktikan oleh akal.
Situasi seperti ini melahirkan aliran skolastik yang cukup banyak perhatiannya pada masalah epistemology, karena berusaha menjalin paduan sistematik antara pengetahuan keagamaan dan pengetahuan manusiawi yang rasional. Disinilah kemudian terjadi pertarungan antara Hellenisme dan Semitisme. Sejarah kemudian membuktikan bahwa perpaduan Hellenisme yang bersifat manusiawi-intelektual dengan ajaran agama yang bersifat samawi-supernatural tidaklah kokoh, sebab nanti terjadilah kebangkitan zaman Modern Eropa yang dipandang sebagai kebangkitan pemikiran Hellenistis terhadap dominasi alam pikiran Seministik. Dalam perkembangan Zaman Modern Eropa kita menyaksikan pertumbuhan epistemology secara kreatif dan multiaplikatif.  Dalam periode ini lahirlah aliran rationalisme, empirisme, idealism, positivism yang semuanya memberikan perhatian mengenai problem pengetahuan. Itulah mengapa periode ini disebut sebagai periode kritik, yang berarti orang secara sadar mempermasalahkan secara mendasar dan sistematis kriteria untuk mengetahui pengetahuan yang benar dan tidak benar sehingga muncullah berbagai macam aliran dengan berbagai macam ajaran mengenai hal tersebut. Dimulai dari pemikiran Decrates hingga Immanuel Kant  yang secara konsisten memecahkan problem pengetahuan melalui ratio maka manusia harus mampu mengenali dan mengetahui ratio itu dalam statusnya yang murni mengenai ratio itu sendiri.
Zaman modern membangkitkan semangat Aufklarung, yaitu suatu gerakan yang yakin bahwa dengan bekal pengetahuan manusia secara natural akan mampu membangun tata dunia yang sempurna. Optimism yang kelewat mutlak dan perpecahan dogmatic doktriner antara berbagai aliran baik dalam aliran filsafat, ilmu maupun theology sebagai akibat dari pergumulan epistemology modern yang jadi multiaplikatif telah menjadikan suasana krisis budaya. Gejala baru yang tumbuh sebagai bagian dari zaman modern ini adalah munculnya ideology dan teknologi sebagai bagian dari perkembangan epistemology dan kebudayaan. Aufklarung telah melahirkan ideology- ideology modern. Positivisme mendekatkan dan membaurkan perkembangan ilmu dan teknologi.
Sesudah Perang Dunia II timbul aliran-aliran corak baru dalam pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan alam pikiran Barat, terutama Eropa. Di dalam aliran-aliran baru ini terkandung suatu asumsi baru di bidang epistemology. Aliran ini melihat perhatian yang terlalu berlebihan pada pengetahuan qua pengetahuan merupakan salah satu sebab krisis kemanuasian. Aliran-aliran sebelumnya terlalu melihat problem epistemologi sebagai problem tersendiri lepas dari hidup dan kehidupan manusia sebagai konteksnya telah menyebabkan tumbuhnya pandangan-pandangan yang bersifat partial deterministic, “satu dimensional”. Hampir semuanya mengorbankan manusia dan kemanusiaan sebagai kenyataan yang integral. Sebagian besar aliran tersebut lebih memusatkan pemikiran kepada hidup dan kehidupan konkret manusia. Perhatian ditujukan pada manusia sebagai acuan segala pemikiran dan pengetahuan, segala perbuatan dan pergerakan.
Aliran yang lebih kontemporer tidak menyusun suatu pemikiran sistematik yang sifatnya total integral, bahkan banyak juga yang bersifat anti-sistem. Maka dari itu ada yang mengatakan apabila aliran-aliran modern sebelumnya membawa ciri determinisme, aliran-aliran kontemporer seperti Eksistensialisme itu membawa ciri in-determinisme cenderung ke arah liberalisasi dan deregulasi sistem dan nilai-nilai yang terlalu  intelektualistik.
Aliran-aliran baru tersebut rasanya kurang berhasil meletakan basis baru dalam hal perkembangan kemasyarakatan dan budaya modern. Tidak heran jika waktu itu muncul gerakan-gerakan yang sifatnya radikal anarkistik. Sebagai reaksi terhadap situasi tersebut muncullah aliran baru yang sifatnya lebih pragmatic dan banyak mengembangkan pikiran-pikiran kemasyarakatan. Problem utama yang mendapat perhatian adalah bagaimana mewujudkan masyarakat baru dari sebuah masyarakat yang penuh dengan problem hidup dan masalah-masalah yang menekan hidup.
Sebagai perkembangan lebih lanjut positivism dan pragmatism yang banyak berpengaruh di Inggris dan Amerika muncullah pendekatan kebahasaan dalam bidang epistemology. Aliran yang lahir ini disebut Language Analisys, dimana pikiran mereka menganggap bahwa kebenaran dan kepastian tidak lain adalah sifat dan makna dari kata-kata. Sehingga epistemology adalah masalah reaksional-struktural kebahasaan. Pendekatan pragmatic menitik beratkan pada teknik, instrumen atau metodologi yang menjadi hal yang menentukan hubungan relasional dengan kebenaran atau kepastian.
Gejala kontemporer yang terakhir nyatanya mempunyai asumsi epistemological. Dogmatis dan determinisme dalam satu dimensionalisme sangat berpengaruh, sehingga terkadang terapan-terapan apriori dan generalisasi yang kurang kritis dalil- dalilnya. Perubahan yang mendasar diwarnai pula oleh aliran yang bersifat intelektualistik dan voluntaristik. Timbul pemikiran yang mempunyai corak ideological mengingat orang mulai sadar bahwa berpikir bagi kebanyakan orang adalah dapat mengubah dunia beserta masyarakat dan seisinya. Pemikiran ideological ditolak oleh kalangan akademik yang mempertahankan ilmu sebagai sesuatu yang obyektif, value-free. Mereka memandang pemikiran baru yang bersifat ideological sebagai pemikiran yang tidak ilmiah, dengan membuat garis pembatas yang tajam antara ilmu pengetahuan dan ideology. Gejala epistemology yang mengiringi perkembangan hal ini adalah tumbuhnya ajaran mengenai paradigma. Pengetahuan adalah benar menurut ajaran ini jika pendukungnya kolektif sosiologis. Aliran ini ingin memberi keterangan mengapa ada kepastian dan kebenaran tapi di pihak lain ingin menjelaskan mengapa bisa terjadi perubahan, mengapa perubahan itu bersifat evolusioner. Karena itu kebenaran dan kepastian itu sifatnya tidak mutlak.
Menyadari hal tersebut tumbuh ajaran Karl Popper dengan dalil Falsifikasi. Dalil ini ingin mengembalikan pendekatan dan sikap epistemological dari alairan modern awal yang diinginkan Rationalisme, Empirisme, Idealisme, Positivisme dan khususnya Verifikasi. Dalam pendekatan verifikasi terkandung sikap epistemological yang deterministic dan tidak menyadari bahwa pengetahuan, kebenaran dan kepastian sifatnya evolusioner. Hal ini menunjukan bahwa perkembangan epistemology berjalan di dalam dialektika antara pola absolutisasi dan pola relativisasi. Namun disamping itu tumbuh kesadaran bahwa pengetahuan itu selalu merupakan pengetahuan manusia, manusialah yang mengetahui.
Secara umum epistemology memang tergolong dalam filasafat di mana epistemology adalah salah satu disiplin kefilsafatan. Inti dari filasafat adalah pengetahuan dan filsafat mengenai pengetahuan adalah epistemology. Filsafat kemudian dibedakan menjadi
1.         Epistemologi : disiplin kefilsafatan mengenai pengetahuan
2.         Ontology : disiplin kefilsafatan mengenai struktur semesta
3.         Deontology : disiplin kefilsafatan mengenai hal-hal yang sifatnya normative, meliputi etika perorangan maupun etika social.
Mungkin memang harus disadari bahwa epistemology adalah bidang pemikiran yang menjadi titik temu antara disiplin kefilsafatan dan disiplin ilmu pengetahuan ilmiah. Oleh sebab itu epistemology dibedakan menjadi
1.         Sensu stricto : dalam pengeetian yang sempit epistemologi termasuk dalam disiplin kefilsafatan.
2.         Sensu lato : dalam pengertian yang luas epistemologi dapat berupa disiplin kefilsafatan maupun disiplin pengetahuan keilmiahan.
Ada pula yang membagi epistemology menjadi
1.    General epistemology (epistemology dasar)
Membahas pengetahuan qua pengetahuan
2.    Special epistemology (epistemology khusus)
Berbicara tentang pengetahuan khususs tertentu seperti sejarah, metodologi, ststistik dan lain lain.
Fokus perhatiannya terhadap hala-hal yang mendasar mengenai pengetahuan itu sendiri. Pertumbuhan epistemology terjadi akibat pembauran antara kegiatan ilmiah dan kefilsafatan maka metode dan pendekatan yang dipakai seyogyanya bersifat komplamenter konsentris dalam semangat kesadaran dan relevansi pendekatan yang bersifat multidisipliner. Pendekatan yang dipakai untuk lebih mengenal epistemology adalah pendekatan historis dan tematis. Pendekatan historis mengamati problematic maupun teori-teori pengetahuan itu dalam perkembangan sejarahnya. Pendekatan tematik menujukan perhatian terhadap usaha mengkaji masalah ataupun isu tertentu yang mungkin merupakan problem kefilsafatan maupun problem keilmiahan.

BAB II

MENGAPA EPISTEMOLOGI KITA PELAJARI

Tiga pertimbangan yang dipakai mengapa epistemology sebaiknya kita pelajari
1.                   Perimbangan strategis
Srategi adalah memandang segala sesuatu sebagai kekuatan, sehingga dalam naskah ini kita berbicara tentang pengetahuan sebagai kekuatan. Salah satu kekuatan yang membentuk sejarah adalah pikiran, sehingga sejarah dibentuk oleh pikiran-pikiran yang tumbuh menyejarah. Hubungan antara pikiran dan sejarah itu menunjukan secara jelas betapa di dalam diri manusia terkandung dinamika yang jangkauannya tidak terbatas tetapi yang aktual akan selau berada dalam keterbatasan. Hingga saat ini pikiran manusia telah mengalami pertumbuhan peradaban manusia, baik dalam proses aktivitas maupun dalam produk-produknya. Manusiapun dalam keadaan yang semakin sadar tidak berhenti untuk mengadakan peningkatan dan penyempurnaan dalam kegiatan berpikirnya.
Pengetahuahn adalah suatu kekuatan yang telah dan akan terus membentuk kebudayaan, mengerakan sejarah dan mengubah dunia. Sudah semestinya kita berusaha mencari apa itu pengetahuan, apa sifat dan hakikatnya, apa daya dan juga keterbatasannya, serta apa yang menjadi permasalahannya.
Pengetahuan telah mengikuti perkembangan teknologi yang salanjutnya memacu perkembangannya. Teknologi berawal dari adanya penemuan dan penemuan berasal dari pengetahuan hingga ia tumbuh dan berkembang seperti sekarang sebab terjadi peleburan antara teknologi dan penelitian ilmiah. Pada peradaban global seperti sekarang kekuatan suatau bangsa atau negara ditentukan oleh bidang ilmu pengetahuan, ekonomi dan seberapa maju teknologi yang dikuasainya.
Kekuatan dari pengetahuan dapat dilihat dari banyaknya ajaran-ajaran, teori-teori dan dogma dan mengguritanya perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Para shopis yang merupakan pelopor tumbuhnya epistemology yang dengan beraninya mempertanyakan segala sesuatu dengan konsekuensi dianggap sebagai sumber anarki dan dan kemerosotan demokrasi di zaman Yunani kuno. Keterpecahan epistemology tak jarang mengkibatakan timbunya konflik antar sasama kalangan kefilsafatan, kalangan keagamaan dan tak jarang hingga pada politik masyarakat.
Akibat yang timbul pengetahuan dapat digunakan sebagai suatu senjata perang. Orang yang ingin memenangkan pertempuran tidak melulu menggunakan kekuatan fisik tetapi juga menggunakan pengetahuan dengan cara menguasai pemikiran. Penguasaan pemikiran dapat dilakukan dengan berbagai macam cara seperti propaganda, informasi, pembrangusan, sensor, bahkan sampai pada diskusi pada program-program studi hingga penelitian ilmiah.
2.                   Pertimbangan kebudayaan
Masalah epistemology dan kebudayaan dapat juga kita rumuskan sebagai masalah pengetahuan dan manusia. Pengetahuan adalah daya yang dimiliki manusia. Dengan pengetahuan itu masyarakat mengetahui dan mengenal peristiwa, menelaah, mengurai, menginterpretasi dan menentukan pilihan. Dengan daya pengetahuan ini manusia mepertahankan dan mengembangkan hidup dan kehidupannya.
Pengetahuan berjalan dari taraf yang tidak sadar hingga sampai pada tahap sadar. Dalam tahap sadar maka akan terjadi sistematisasi dan refleksi. Umumnya pengetahuan bergerak dalam hubungan subyek yang mengetahui dengan hal-hal yang diketahui. Manusia dengan dibekali daya pengetahuan dimungkinkan untuk mengetahui sruktur diri dan struktur semesta (ontology), mengenali bobot dan kadar pengetahuannya itu (epistemology) dan mengetahui nilai-nilai, sikap-sikap dan patokan pilihan tindakan (deontology). Semua itu dijalin dalam sintesa baik individual ataupun kolektif secara dinamis dan terjadilah proses perkembangan kebudayaan.
Sejarah dunia berubah menjadi sjarah kebudayaan sejak manusia menampakan diri dalam dunia. Evolusi kebudayaan manusia selalu disertai pula evolusi pengetahuan manusia baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Masalah epistemology dan kebudayaan dapat diteliti dengan menelaah perkembangan sejarah pengetahuan manusia dari zaman yang amat sederhana sampai zaman yang multiaplikatif dan kompleks seperti sekarang.
Hubungna antara epistemology dan kebudayaan tampak jelas dalam sejarah kebudayaan Barat. Sejarah filsafat dan kebudayaan modern biasanya meruapakan suatu reaksi terhadap perkembangan kejenuhan filsafat dan kebudayaan Eropa abad pertengahan. Dikatakan bahwa revolusi pengetahuan merupakan salah satu faktor yang melahirkan dan membentuk kebudayaan modern. Perubahan dari abad pertengahan ke era modern merupakan hasil transformasi budaya dari suasana belief-system kepada suasana knowledge-system.
Pecahanya abad pertengahan Eropa mengawali lahirnya kebudayaan modern telah melahirkan suatu divergensi yang menjurus pada pecahnya system of thought. Dengan latar belakang ini Decrates mencoba menemukan jalan keluar dengan membebaskan alam pikiran manusia dari keterpecahan dan ketidakpastian, maka sampailah ia pada sebuah pendekatan yang dikenal sebagai debinum metodicum. Akan tetapi kemudian sejarah mencatat bahwa usaha Decrates memberikan satu titik konveregensi belum berhasil. Bahkan ia merupakan sumber dari dua perkembangan aliran besar yang saling bertentangan, yaitu rasionalisme dan empirisme. Dalam proses diveregensi ini jelas bahwa pengetahuan merupakan salah satu faktor pembentuk suasana tersebut.
Pertentangan antara empirisme dan rasionalisme serta masalah-masalah yang masih terbawa dari masa Abad Pertengahan Eropa menyebabkan tampilnya Immanuel Kant. Disinipun analisa mengenai ilmu pengetahuan masih menjadi perhatian utama. Nyatanya problem yang dialami Kant tidak jauh beda dengan yang dialami Decrates, ia belum berhasil mencapai titik konveregensi. Ia kemudian menjadi sumber perkembangan lebih lanjut dari diveregensi antara idealism dan positivism. Secara singkat perkembangan sejarah modern Eropa sampai masa Kant dapat ditarik kesimpulan antara lain
a.                        Revolusi pengetahuan telah menjdi suatu penggerak perkembangan budaya modern
b.                        Revolusi ternyata menghasilkan sebuah proses diveregensi
c.                        Prosese diveregensi menjadi aplikatif yang membawa pada masalah kompleksitas
d.                       Bahwa proses-proses itu mempengaruhi aspek-aspek keagamaan,theologi, filsafat imu pengetahuan, kemasyarakatan, dsb.
Agaknya sebab-sebab itulah yang memprakarsai munculnya aliran-aliran baru pada sekitar pertengahan abad 20, yang dapat kita namakan dengan aliran-aliran koretemporer, yang hakikatnya merupakan suatu reaksi terhadap perkembangan sejarah modern, yang amat ditentukan perkembangan pengetahuan manusia yang menjadi disfungsi dalam mewujudkan cita-cita budaya modern. Aliran-aliran ini mempunyai nafas anti-epistemologikal, dalam arti terlalu menitikberatkan pada pengembangan pengetahuan sampai mengorbankan perkembangan manusia dan kebudayaan itu sendiri.
Mungkin karena masih bergerak dalam suasana reaktif maka aliran-aliran kortemporer belum juga sampai pada titik konvergensi. Orientasi baru adalah manusia dan kebudayaan, sekurang-kuranganya aliran ini tetap menujukan suatu indikasi kearah konveregensi  manusia. Manusia dewasa ini mendambakan suatu tata ekonomi baru bahkan tata dunia baru. Membangun tata dunia baru memang merupakan tantangan aktual dari kebudayaan modern, maka membangun tata dunia baru hakikatnya harus dipandang sebagai satu masalah kebudayaan.
Kita di Indonesia sedang dalam situasi kultural dunia yang berada pada transformasi besar, cepat dan menyeluruh. Proses ini bersifat struktural tapi c
kultural.  Proses ini membawa Indonesia pada tahap dimana epistemology menjadi permasalah yang perlu diperhatikan. Namun di sisi lain hal tersebut masih merupakan masalah-masalah yang asing dalam dunia pemikiran di Indonesia.
Dari sejarah kebudayaan Indonesia dapat diangkat suatu kesimpulan bahwa bangsa Indonesia mempunyai daya c
kultural yang kuat dalam bentuk kemampuan mewujudkan akulturasi. Kemampuan untuk mengambil dan mengolah secara kreatif unsur-unsur dari budaya dan peradaban  luar guna mengmbangkan dan memajukan masyarakat kebudayaan Indonesia tanpa kehilangan identitas kepribadiannya.
Konflik merupakan jalan kearah kemajuan. Hal ini terlihat dengan betapa konflik yang antagonistic dan konvergenistik di Barat telah melahirkan perubahan dan kemajuan di Barat. Mempelajari epistemology di Barat tetap harus dilaksanakan dengan semangat akulturasi yang dikerjakan secara aktif dan kreatif.
3.                   Pertimbangan Pendidikan
Hubungan pengetahuan dan pendidikan sangat erat. Pengetahuan itu telah membentuk pertumbuhan kebudayaan dan peradaban manusia. Pendidikan pada hakikatnya berusaha mengantar manusia pada perkembangan kematangan, baik secara intelektual, emosional, sosial dan spiritual. Pendidikan itu usaha sadar mengembangkan sikap hidup, pengetahuan keterampilan dan manusia berusaha mengembangkan diri bersamama dengan sesamanya.
Dalam sistem pendidikan modern dewasa ini pengetahuan menempati porsi utama dalam proses belajara mengajar. Artinya, pendidikan tertuju pada penguasaan pengetahuan bukan pada pembentukan pribadi manusia. Kurikulum adalah penegetahuan:meterinya, komposisisnya, metodologinya, silabi dan evaluasi. Hal ini bahwa mereka yang terlibat dalam usaha membangun, merencanakan dan mengolah pendidikan memang perlu mengetahui sifat hakikat dan pertumbuhan pengetahuan itu sendiri.
Perkembangan logika matematika sebagai pelengkap utama dalam pengembangan pengetahuan yang disebut organon oleh Aritosteles. Maka informasi mengenai perkembangan pengetahuan di dunia menjadi sangat penting. Pengetahuan kadang berubah dan kadang juga mengubah kebudayaan dan peradaban. Negara-negara maju menitikberatkan perhatian kepada apa yang dinamakan penelitian dan pengembangan. Disitu orang berbicara tentang industrialisasi pengetahuan, yang dapat dijadikan factor pendukung kemajuan suatu masyarakat. Dengan pendidikan penting dibangun pula sikap terhadap pengetahuan. Melaui pendidikan orang disiapkan tidak saja untuk menguasai pengetahuan tapi juga untuk membudayakan pengetahuan, disinilah pentingnya epistemology.


APAKAH PENGETAHUAN ITU

Pertanyaan “Apakah pengetahuan itu?” yang memacu lahirnya epistemology dan mengembangkan pengetahuan agar menjadi sebuah kekuatan yang nyata. Hanya orang yang memberi prioritas pada pengetahuan secara sadar dan mendasar, akan mepertanyakan apa itu pengetahuan. Pendekatan kita terhadap pengetahuan terkadang terlalu pragmatic. Dengan demikian terjadilah pengetahuan tanpa pendalaman yang mendasar. Seperti yang kita ketahui sikap pragmatism mengandung bahaya kedangkalan terhadap pengetahuan.
Pengetahuan adalah suatu persatuan antara subyek dan obyek: dengan mengetahui subyek menjadi manunggal dengan obyek dan obyek menjadi manunggal dengan subyek. Pengetahuan pada hakikatnya akan selalu bersifat relational, yang berarti berada di dalam kesehubungan subyek dan obyek  dan relasi ini bukanlah apa yang yang disebut relasi extrinsic melainkan suatu relasi intrisik. Sementara itu ada pula yang menguraikan bahwa pengetahuan hanya sekadar sebagai suatu relasi extrinsic semata. Masalah yang dihadapi pendapat ini adalah bagaimana diterangkan kehadiran obyek itu di dalam subyek.
Demikian pula problem antara essece dan existence. Disanalah kemudian timbul dua aliran pemikiran: nominalis dan konseptualis. Keduanya beranggapan bahwa di dalam pengetahuan itu yang terjadi hanyalah pertemuan bukan persatuan antara subyek dan obyek. Bagi kaum nominalis pengetahuan itu terjadi karena adanya obyek dan subyeknyalah yang memberi nama pada obyek-obyek tersebut. Bagi kaum konseptualis pengetahuan adalah pertmuan dan di dalam pertemuan itu yang menentukan adalah konsep-konsep dari intelek manusia.
Aliran realime-kritis dan realism moderat yang beranggapan bahwa pengetahuan adalah suatu bentuk persatuan antara subyek dan obyek, dan bukan sekadar pertemuan. Lalu didalam perkembangan di zaman modern, kontroversi itu menggejala di dalam bentuk aliran positivism dan idealism. Hubungan antara subyek dan obyek dalam ilmu pengetahuan terkandung permasalahan antara materialism dan imaterialisme, dimensi material dan dimensi spiritual, induksi ataukah deduksi obyektif ataukah sunyektif, kriteria kebenaran adalah masalah kebenaran itu sendiri. Didalam pengetahuan itu terdapat aktifitas dari pihak subyek maupun obyek, begitupula passivitas subyek maupun obyek.
Terkait dengan aliran sensionalis yang menggejala pada aliran empiricism dan positivism, denga demikian pengetahuan itu seleu bersifat obyektif-subyektif dan subyektif-obyektif. Kemanunggal subyek dan obyek didalam pengetahuan bukanlah suatu kemanuggalan yang sempurna dimana subyek sepenuhnya menjadi subyek dan obyek sepenuhnya menjadi obyek. Terjadilah suasana yang membawa frustasi bahkan suasana yang menuju pada absurditas dari pertentangan antara idealism dan positivism yang tampaknya yakin membawa manusia itu pada hakikat Geist im Welt.
Dari pemaparan sederhana mengenai pengetahuan diatas terdapat beberapa uraian yang melibatkan beberapa aliran
1.    Ajaran yang serba rohani dan yang serba materi
2.    Ajaran yang serba subyekstif dan serba obyektif
3.    Ajaran yang serba deduktif dan ajaran yang serba induktif.
Yang kita bicarakan dalam bahasan ini adalah pengetahuan dalam pola dasarnya. Yang kita bicarakan adalah pengetahuan qua pengetahuan dan itupun hanya pengetahuan yang sifatnya immediate, yaitu hubungan antara subyek dan obyek dalam one act of direct knowledge. Dalam menjelaskan bagaimanakah proses pengetahuan sebagai persatuan subyek dan obyek. Dengan perkataan lain bagaimana proses material- immaterial itu terjadi di dalam subyek, yaitu manusia yang pengetahuannya bersifat indrawi atau sensivo-rational. Salah satu hipotesa yang menerangkan tahap-tahap pengetahuan dimana orang membuat perbedaan tataran indrawi dan intellectus agens.
Di dalam realitas selalu terkandung kebhinekaan dan ketunggalikaan. Di dalam pengetahuan manusia juga terkandung kemampuan untuk memahami kebhinekaan dan ketunggalikaan. Ada beberapa pelajaran yang diangkat dari analisa mengenai pengetahuan diatas
1.    Bahwa pengetahuan adalah suatu kegiatan yang sifatnya mengembangkan dan menambah kesempurnaan, yang istilahnya perspective activity.
2.    Bahwa pengetahuan manusia itu sifatnya terbatas, tidak sempurna dan karena itu terus berkembang. Manusia tidak mengetahuai sagala sesuatunya secara total.


BAB IV

KEBENARAN DAN SIFAT-SIFATNYA

Kebenaran sesungguhnya meruopakan tema sentral dari epistemology. Umumnya orang percaya bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran. Pendekatan terhadap kebenaran tampaknya masih mempunyai pragmatic, seperti halnya sikap kita terhadap pengetahuan. Probelamatika mengenai kebenaran sperti halnya dengan yang terjadi pada pengetahuan, merupakan masalah tersebut ternyata mampu mengembangakan dan menumbuhkan epistemology.
Telaah epistemologi membawa kita pada kesimpulan bahwa perlu membedakan kebenaran menjadai tiga: kebenaran epistemological, kebenaran ontological, dan kebenaran semantikal.
1.        Kebenaran epistemological: penegertian kebenaran dalam hubungannya dengan penegetahuan manusia. Kebenaran dasar yang ada di dalam obyek pengetahuan itu sendiri.
2.        Kebenaran ontological: kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada sagala sesuatu yang ada maupun diadakan.
3.        Kebenaran semantikal: kebenaranan yang terdapat dalam tutur kata dan bahasa.
Menyebut kebenaran semantikal sebagai kebenaranan moral disebabkan karena di dalam tutur kata dan bahasa menghianati atau tidak dalam kebenaran epistemological ataupun  kebenaran ontological tergantung pada manusia yang mempunyai kemerdekaan tutur kata.
Dalam arti apakah dan sejauh manakah pengetahuan dapat dikatakan benar?
Pengetahuan adalah kemanuggalan subyek dan obyek. Pengetahuan dikatakan benar apabila dalam kemanunggalan terdapat kesasuaian antara apa yang ada di dalam pengetahuan subyek dan apa yang ada dikenyataan ada di dalam obyek. Inilah yang kemudian menumbuhkan aliran Phenomenisme, sederhanannya aliran ini mengatakan bahwa pengetahuan  adalah hubungan antara noumenon (di dalam obyek) dan phenomenon (bayangan, kesan yang tumbuh di dalam subyek). Maka pengetahuanyang benar itu hanya terdapat dalam konsep-konsep saja. Beberapa kalangan mengemukakan bahwa pengetahuan tidak lain merupakan kesan yang diberikan obyek kepada indra kita, pengetahuan termasuk kebenaran adalah respon kita terhadap rangsangan dari obyek-obyek tertentu.
Kemudian tunbuhlah aliran idealism dan empirisme positivism. Implikasi mendasar lebih lanjut melahirkan aliran relativisme dan subyektivisme yang akhirnya bermuara pada skeptisme. Kepastian dan kebenaran pun menjadi buyar.
Kebenaran itu merupakan bagian dari proses budi pikiran in statu activo. Artinya didalam proses aktif inilah terdapat kesesuaian dan kemanuggalan antara subyek dan obyek. Pengetahuan sebagai suatu prosese mempunyai awal dan akhir.
Konsep adalah bagian dari proses yang terjadi di dalam intelektus dan intellectus yang belum bergerak lebih lanjut dalam proses kemanunggalannya dengan obyek. Bila konsep itu dijadikan terminus quo maka kebenaran bukanlah suatu hasil yang sifatnya resporikal tapi sesuatu yangh sifatnya sendirian.
Terminus ad quem perlu ditelaah, alasannya karena proses terjadinya konsep dirangsang oleh obyek, tapi konsep itu sendiri memang tumbuh di dalam diri subyek. Terminus ad quem  dari pengetahuan adalah essensi nama ataupun “the what” dari obyek itu saja. Tidak ada kemanuggalan resporikal yang sesungguhanya antara noumenon dan phenomenon, antara subyek dan obyek karena yang ada adalah phenomenon yang dibangun oleh intelek  di dalam subyek saja. Maka kembali lagi kita terjatuh dalam subyektivitas. Terminus a quem dari pengetahuan dan yang menentukan kebenaran epistemological adalah the real exsistence of the object termasuk dalam the what dari obyek. Dalam pengertian inilah pengetahuan itu bersifat resporikal dan merupakan kemanunggalan antara subyek dan obyek. Obyek pengetahuan tidak terbatas pada benda-benda konkret material semata.
Bahasa merupakan ekspresi manusiawi per excellence maksudnya dalam bahasa itulah terdapat kodrat manusia. Kebenaran dalam hubungannya dengan bahasa menjadi hal yang sangat komples. Berkembanglah semiotic yang mempelajari elemen- elemen yang mempelajari tanda,interpretasi dan kondisi lainnnya. Orang membedakan maupun mengungkapkan hubungan semantik, syntaksis dan aspek pragmatis fungsional dari bahasa. Timbul pula apa yang dinamakan hermeneutic. Problem kebenaran dan kepastian dalam pengetahuan membawa serta problem kepastian mengenal bahasa sebagai ungkapan kebenaran.


BAB  V

KEBENARAN DAN SIFAT-SIFATNYA

Melalui pengetahuan manusia berusaha mendapatkan kebenaran. Selanjutnya karena kebenaran adalah kebenaran dan kepastian adalah kepastian, maka kepada kebenaran dan kepastian itu lalu lazim diberikan nilai mutlak: apa yang benar, apa yang pasti, itu adalah mutlak. apabila kebenaran dan di sini tentu saja yang dimaksudkan adalah kebenaran Epistemologikal, itu ada pada pengetahuan, dan apabila sifat dan hakikat pengetahuan tersebut adalah relasional, intensional, evolutif, dan diskursif, bagaimanakah kita dapat mengatakan ada kepastian dan kebenaran yang sifatnya mutlak di dalam pengetahuan manusia tersebut. Pengetahuan akan disebut sebagai pengetahuan yang benar apabila terdapar suatu kesesuaian terpadu, apabila terdapat conformitas, antar apa yang terjadi di dalam pengetahuan subjek di satu pihak dengan apa yang senyatanya ada di dalam objek di lain pihak. Namuan karena pengetahuan itu sifatnya selalu relatif dan diskursif, maka kita perlu menyadari bawa conformitas antar subjek dan objek tersebut bukanlah satu conformitas yang tuntas paripurna, yaitu conformitas yang semesta dan menyeluruh. Conformitas itu akan selalu merupakan conformitas yang parsial, yang relatif.
Untuk memperjelas soal sifat-sifat kebenaran kita perlu sekali mengadakan pembedaan antara diformitas total yang lazim disebut sebagai diformitas positiva ( positiva difformity) dengan diformitas yang relatif atau persial, yang lazim disebut sebagai diformitas negativa (negative difformity). Di dalam pengetahuan yang benar akan selalu terkandug negative difformity, akan tetapi tidaklah terkandung positive difformity. Kebenaran berada di dalam lingkup relasional antara subjek dan objek. Maka itu perlu kita memahami pengertian kebenaran ditinjau dari aspek subyeknya atau ditinjau dari aspek obyeknya. Kebenaran ditinjau dari aspek subyeknya akan berarti kebenaran di dalam pengetahuan yang konkret: di dalam pengetahuan si anau, si ini, ataupun si itu. Dengan demikian maka ditinjau dari segi subyeknya kebenaran itu tentu saja akan selalu bervariasi, bahkan dapat berkembang, dapat kurang sempurna, dapat lebih sempurna dan lain sebagainya. Sementara itu kebenaran, ditinjau  dari aspek obyeknya, akan selalu berarti kebenaran epistemologikal yang tidak tuntas, artinya obyek itu sendiri adalah suatu totalitas yang kompleks, banyak seginya, banyak aspeknya. Maka itu kebenaran ditinjau dari segi obyeknya akan selalu merupakan hal yang kurang sempurna, yang masih ada kekurangannya, yang masih perlu disempurnakan, jadi yang tidak mutlak sempurna, kepastiannya juga tidak menyeluruh.
Itulah sebabnya berkenaan dengan kebenaran dan sifat-sifatnya diadakanlah pembedaan pengertian mengenai kebenaran epistemologikal di dalam tiga kategori: kebenaran ditinjau secara formal, kebenaran ditinjau dari segi subyeknya, dan kebenaran ditinjau dari segi obyeknya. Kebenaran ditinjau secara formal adalah apabila pengetahuan benar tersebut telah memenuhi hakikat apapun pengertian dasar dari kebenaran epistemologikal itu. Kalau conformitas itu memang ada, maka secara formal pengetahuan kita itu memenuhi hakikat kebenaran. Inilah yang disebut kebenaran dalam arti formal yang istilahnya adalah veritas formaliter spectata. Kebenaran ditinjau dari segi subyeknya adalah apa yang sudah di utarakan diatas. Istilah yang lazim dipakai untuk ini adalah: veritas subjective spectata. Sedang kebenaran ditinjau dari segi obyeknya hal itu pun telah pula dikemukakan di atas juga. Istilah lazim adalah veritas materialiter spectata yaitu kebenaran ditinjau dari materi obyeknya. Kadang-kadang juga dipergunakan istilah veritas objective spectata.
Kalau yang dikemukakan di dalam pengetahuan yang benar tersebut adalah kebenaran yang lingkupnya adalah lingkup kontingen, maka kemutlakan dan kepastiannya juga tergantung kepada batasan-batasan yang ada baik berkenaan dengan tempat ataupun berkenaan dengan waktu. Sehubungan dengan pembedaan antara lingkup yang kontingen di satu pihak dengan lingkup yang permanen, established, necessary atau mapan di lain pihak, ada manfaatnya memperhatikan pula mengenai tiga klasifikasi kepastian epistemologikal: kepastian alami, kepastian manusiawi, kepastian metafisikal.
Kepastian alami, yang biasanya disebut dengan istilah certitudo physica (physical certitude) adalah kepastian yang didasarkan kepada sifat-sifat alamiah benda-benda. Kepastiannya tergantung sejauh benda-benda itu masih tetap”bertingkah laku” sesuai dengan dasar-dasar kodrat alamiahnya yang kita ketahui. Di dalam lingkup kepastian alamiah inilah tumbuh pengetahuan ilmiah, didasarkan kepada pengamatan ataupun eksperimentasi atas aksi dan reaksi alamiah dari benda-benda, zat-zat, elemen-elemen.
Yang dinamakan kepastian manusiawi, biasanya disebut sebagai certitudo moralis, dan kaitannya adalah necessitas moralis. Disini apa yang disebut kepastian itu ditentukan ataupun didasarkan kepada kodratnya manusia, dan manusia mempunyai kemerdekaan: merdeka dalam arti bebas maupun dalam arti bebas untuk, walapun tidak sepenuhnya mutlak.
Sedangkan yang dinamakan kepastian metafisikal pada hakekatnya adalah hal yang sifatnya amat intelektual. Kepastian ini sifatnya mutlak karena penyimpangan atau pengingkaran terhadap kepastian metafisik akan berarti kontradiksi intelektual terhadap diri sendiri. Bertopang kepada kepastian metafisik dijabarkanlah apa yang dinamakan principium identitas (principle of identity), principium negationis (principle of negation), principium veritatis primariae (principle of the primary truth), yang menjadi pangkal tolak landasannya kepastian-kepastian intelektual lain-lainnya. Di sini kebenaran dasar menjadi dasarnya kebenaran, pengetahuan dasar menjadi dasarnya pengetahuan. Kepastian metafisikal ini terutama ditunjukkan kepada para Skeptisi, yaitu orang-orang yang alirannya adalah meragukan akan adanya pengetahuan manusia.
Kebenaran epistemologikal adalah selalu kebenaran dalam kaitannya dengan pengetahuan manusia, bahkan pengetahuan seorang manusia. Maka itu akan selalu bersifat subyektif, terbatas, dan evolutif, relasional, diskursif, sesuai dengan sifat hakikat manusia yang adalah makhluk yang terbatas, relatif, dan mengalami perubahan serta perkembangan, berada di dalam lingkup tempat dan waktu, menyejarah dan memasyarakat. Pengetahuan manusia akan selalu bersifat manusiawi, begitu pula halnya dengan kebenaran epistemologikalnya. Itulah sebabnya maka kebenaran ditinjau dari segi subjeknya dapat mengalami evolusi, perkembangan, dapat bertambah ataupun berkurang, baik mengenai hal yang diketahu’inya maupun tentang cara mengetahui kebenaran tersebut.
Pengetahuan yang sifatnya diskursif, evolutif, parsial, tidak akan pernah dapat menjangkau objek itu di dalam keseluruhan dan kesemestaannya, in totalitate. Dengan demikian tidak pernah akan ada pengetahuan yang sifatnya tuntas ditinjau dari segi obyeknya ini. Dengan demikan jelas pula bahwa pengetahuan manusia mengenai objek itu dapat mengalami perkembangan, dapat disempurnakan, banyak hal mengenai obyek itu yang dapat diketahui. Inilah yang disebut mutabilis et admittit gradus: dapat berubah dan dapat mengalami perkembangan, peningkatan, pengurangan. Kebenaran dan kepastian dapat menjadi bertambah baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif, secara intensif maupun secara ekstensif, atau sebaliknya menjadi kurang baik. pengetahuan dan kepastian yang secara kualitatif dan kuantitatif dan kuantitatif menyangkut semesta ini akan memberi kemungkinan yang lebih besar bagi manusia untuk membudayakan semesta itu pula.
Dari situasi seperti ini dapat tumbuh antara lain sikap dan cara berfikir yang cenderung memutlakkan apa yang dirasa benar. Dan terjadilah sikap dan cara berfikir yang dogmatik satu dimensional, yang tidak jarang membuat manusia terperangkap di dalam ketertutupan dan kebekuan. Situasi seperti itu juga mengakibatkan adanya kecenderungan untuk memberikan nlai mutlak dan pasti kepada kenyataan yang sebetulnya tidak pasti dan tidak mutlak. timbullah apa yang disebut aliran Relativisme Radikal atau Relatifisme Universal. Karena kenyataannya mengetahui objek di dalam totalitasnya itu tidak mungkin, maka orang lalu memberikan harga mati secara mutlak kepada hal-hal yang sifatnya subyektif ataupun pragmatif. Aliran-aliran seperti ini tidaklah menolak adanya kebenaran dan kepastian, bahkan kebanyakan adalah menentang aliran skeptisisme, akan tetapi aliran ini memberikan uraian yang tidak tepat mengenai sifat dan hakikat dari kebenaran tersebut. Dari aliran inilah secara mudah dapat tumbuh aliran-aliran yang dapat digolongkan ke dalam segala jenis Subyektivisme dan Pragmatisme. Hikmah terdalam dari uraian mengenai kebenaran dan sifat-sifatnya ini adalah janganlah kita memutlakkan hal-hal yang pada hakikatnya tidak mutlak.


BAB VI

SALAH DAN KELIRU

Menurut kodratnya pengetahuan adalah wahana dengan mana manusia mencapai kebenaran. Maka tujuan dari pengetahuan itu pun adalah tercapainya kebenaran. Sebab kalau menurut kodratnya pengetahuan juga ditunjukan pula kepada kesalahan dan keliruan, akan susahnya kita manusia membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Tentu saja yang dibahas di dalam hal ini adalah tetap kebenaran epistomologikal. memang kita juga dapat dan perlu mengadakan pembedaan antara kesalahan semantikal dan kesalahan epistomologikal, sebagai mana halnya kita telah membahas tentang kebenaran onotologikal, semantikal dan epistemologikal. Perlu diperjelas lebih dulu tentang pengertian kesalahan dan kekeliruan. Kesalahan apabila di terjemahkan kedalam bahasa inggris adalah falsity. Walaupun aliran-aliran tersebut itu hampir semuanya tidak ingin terjerumus ke dalam apa yang dinamakan skeptisisme ataupun dogmatisme, akan tetapi apabila pandangan mereka dipegang teguh secara konsisten, maka kita akan terperangkap kembali ke dalam dogmatisme atau ke dalam skeptisisme.
Kesalahan dan kekeliruan yang kita bicarakan adalah selalu berkaitan dengan pengetahuan manusia. Yang artinya, berada didalam kingkup kegiatan cognitif intelektual manusia. Maka itu seperti halnya kebenaran, maka kesalahan itu pun terdapatnya juga di dalam proses kegiatan cognitif intelektual manusia. Diformitas itu terdapat di dalam keadaan di mana gerak pengetahuan subjek telah menuju kepada obyek sebagaimana adanya kegiatan dividendo dan componendo telah mencapai tahap perpaduan atau titik sintesa. Lazimnya kegiatan ini terungkap di dalam bentuk pernyataan cognitif intelektual. Apa yang disebut kesalahan itu, kalau kita perhatikan dapat terungkap di dalam dua jenis pernyataan yang cognitif-intelektual. Lain halnya apabila kesalahan itu kita tinjau dari aspek subyek ataupun dari aspek obyeknya, konfrontasi mutlak antara konformitas dan diformitas memang tidak begitu terlihat. Kesalahan bersifat relatif, tidak mutlak, dapat di ubah, dapat kurang ataupun dapat lebih.
Sehubungan dengan proses tindakan manusia di dalam membuat kekeliruan ini, ada enam tataran pengetahuan. Pertama, adalah nescience. Kedua, adalah ignorance. Ketiga, doubt. Empat, suspicion. Lima, opinion. Keenam adalah certitude. Didalam tataran doubt ataupun opinion itu pada hakikatnya belum terjadi suatu kepastian intelektual. Ada faktor lain yang iki mempengaruhi. Faktor ini antara lain adalah faktor volitif manusia, yang dapat memacu ataupun mempercepat dibuatnya suatu “intellectual assent”. Mengapa aspek volitif, afektif dan psikomotorik dapat tumbuh demikian, hal ini pun tampaknya dipengaruhi oleh berbagai faktor pula, misalnya kurang kuatnya disiplin intelektual, adanya hawa nafsu tertentu, pamrih, keinginan, pengaruh orang-orang lain, prasangka-prasangka, puas dengan yang sifatnya superfisial. Yang dapat kita ambil dari pembahasan mengenai kesalahan dan kekeliruan adalah bahwa apabila kita mengiginkan agar pertumbuhan cognitif intelektual untuk mencapai kebenaran dan kepastian dapat terjadi secara sadar, terencana, teratur dan sistematik, maka ia harus disertai dengan askese, dengan disiplin, dengan latihan, dengan dengan laku dan pengendalian diri. Dalam hal ini kesalahan dan kekeliruan pun mungkin menjadi jalan kepada kebenaran dan kepastian.



BAB VII

KEPASTIAN DASAR DAN DASARNYA KEPASTIAN

Ada dua macam bentuk aliran yang mempermasalahkan kepastian mengenai adanya kebenaran. Keduanya dapat dianggap sebagai aliran yang meragukan, mempertanyakan, memasalahkan adanya pengetahuan dan adanya kebenaran. Aliran yang satu adalah aliran Skeptisisme Doktriner, artinya menjadi kesimpulan dan keyakinan bahwa pengetahuan dan kebenaran itu memang tidak ada. Di kalangan aliran Skolastik, masalah mengenai kepastian dasar dan juga menjadi dasarnya kepastian, ini lazim disebut sebagai masalah mengenai Testimonium Conscientiae. Problem kepastian tersebut di pandang sebagai problem testimonium, karena yang di tuntut oleh masalah ini adalah adanya bukti, dan testimonium artinya adalah pembuktian. Adapun istilah conscience dalam pengertian moral, bukan mengenai hati nurani. Istilah conscience kalau diuraikan terdiri dari dua kata Cum (menyertai) dan scientia (pengetahuan). Jadi conscience adalah pengetahuan yang selalu menyertai segala pengetahuan.
Refleksi transendetal, yaitu usaha secara sadar mengungkapkan hal ada akan tetapi hanya bersifat implisit, maka adanya conscience seperti itu dapat kita ketahui secara sadar pula. Pembuktian mengenai kepastian dasar memberi jaminan mengenai adanya pengetahuan dan adanya kebenaran itu terjadi dengan melakukan proses eksplisitasi diri. Secara definisif proses tersebut dapat dipertahankan melalui argumentasi yang disebut elenchicon atau retorisio, yaitu menunjukkan bahwa barang siapa tidak menyetujui hal ini sesungguhnya ia telah membantah dirinya sendiri. Kepastian dasar ini adalah amat penting karena tidak saja merupakan jawaban yang mendasar terhadap berbagai macam sikap dan ajaran seperti misalnya Skeptisisme dan Relativisme, akan tetapi karena kepastian tersebut merupakan dasarnya segala kepastian lainnya. Kepastian dasar ini apabila kita urai lagi ternyata didalamnya memuat apa yang dapat di sebut sebagai kebenaran dasar atau benar-benar primer, yang lazim dinamakan primary truths, yang juga amat besar fungsionalnya bagi kukuhnya pertumbuhan pengetahuan manusia, terutama yang sifatnya sistematik. Kebenaran-kebenaran dasar atau primary truths itu merupakan hal yang amat penting di dalam pertumbuhan pengetahuan manusia, dan sesungguhnya selalu diandaikan oleh proses pertumbuhan pengetahuan manusia. Substance itu sifatnya mandiri, sedangkan accidents itu melekat pada substance, akan tetapi tidak sama dengan substance tersebut. Dengan kata lain, manusia mempunyai kesatuan substansial akan tetapi memiliki kemajemukan assidental.
Manusia mealui pengetahuannya dapat menyamah kenyataan-kenyataan material. Berdasarkan kepada primary truths tersebut manusia mengembangkan penelitian-penelitian eksperimental mengenai gejala-gejala alamiah. Dengan landasan primary truths dapatlah di pahami betapa manusia juga mengembangkan penalaran baik yang bersifat indukatif maupun yang bersifat dedukatif, manusia mengembangtumbuhkan pengetahuan. Pengetahuan itupun berkembang tidak hanya secara individual, melainkkan secara kolektif, sosial, bahkan melampaui batas waktu, terutama lagi setelah manusia mengembangkan peradaban baca tulis sampai kepada peradaban teknologi informatika saat ini. Library research saat ini merupakan bagian penting di dalam proses pertumbuhan pengetahuan.
Karena pengetahuan mengandung di dalamnya dinamika, maka manusia juga berusaha mengatasi batasan tempat maupun waktu. Dan tumbuhlah pengetahuan sejarah, yang menjangkau masa lampau akan tetapi juga menjangkau masa depan. Sehubungan dengan masa lampau manusia mengembangkan apa yang dinamakan heuristik, untuk mengetahui sumber-sumber pengetahuan mengenai masa lampaunya itu. Terhadap masa depan manusia pun memasuki dunia futurable, baik yang dapat dipastikan maupun hanya yang dapat di pekirakan. Kalau secara epistemologikal ingin kita klasifikasikan, maka menurut jenis kepastiannya kita dapat membedakan berikut ini:
1.             Pengetahuan yang memberikan kepastian dasar dan dasar kepastian.
2.              Pengetahuan yang (dilandasi oleh kepastian dasar dan primary truths) memberikan kepastian berdasarkan penelitian-penelitian eksperimental.
3.             Pengetahuan yang (dilandasi oleh kepastian dasar dan primary truths) memberikan kepastian berdasarkan penalaran baik yang bersifat deduktif maupun yang bersifat doktrinal.
4.             Pengetahuan yang (dilandasi oleh kepastian dasar dan primary truths) memberikan kepastian berdasarkan atas sumber-sumber informasi, baik historis maupun doktrinal.
5.             Pengetahuan yang (dilandasi oleh kepastian dasar dan primary truths) mengenai masa depan.
Dari segalai kepastian tersebuat hanya satu yang sifatnya “immediate” yaitu kepastian yang diperoleh dengan menggunakan perantara, menggunakan media.


BAB VIII

KEPASTIAN : HAKIKAT DAN SIFATNYA

Kebenaran itu ada, kepastian itu ada. Maka itu manusia dimungkinkan untuk mencari kebenaran dan mencari kepastian. Melalui pengupasan lebih lanjut, dari kepastian dasar tersebut dapatlah diangkat beberapa dasar kepastian yang disebut sebagai primary truths, kebenaran-kebenaran primer yang mengandung di dalamnya sifat pasti, tidak dapat diragukan secara epistemologikal. Kepastian yang diperoleh manusia tidaklah hanya kepastian dasar melalui, kebenaran yang dapat dicapai manusia bukanlah tersebut kepada apa yang disebut sebagai primary truths semata-mata. Pengetahuan manusia tumbuh berkembang, menjadi majemuk, baik mengenai cara mengetahuinya maupun mengenai hal-hal yang diketahuinya, dan dari situ pun mansia menemukan kebenaran, memperoleh kepastian. Bahwa kepastian (dalam hal ini sekali lagi yang kita bahas adalah kepastian epistemologikal) itu ada, dan sudah terbukti.
Suatu kepastian epistemologikal terjadi apabila seseorang berani menyatakan persetujuan cognitif-intelektualnya mengenai objek, tanpa dengan adanya rasa khawatir sedikit pun akan yang sebaliknya. Kepastian epistemologikal tentu harus dilihat di dalam konteks relasional antara subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui. Walaupun kapastian itu mempunyai dasar yang diangkat dari hubungan antara subyek dan obyek. Itulah namanya kepastian, yang secara formal tentu saja dapat dikatakan sekali pasti selamanya pasti. Membahas kepastian epistemologikal memang tidak begitu mudah, antara lain karena apa yang disebut kepastian tersebut dilihat dari segi totalitas obyeknya pasti menjadi relatif lagi. Sedangkan kepastian yang tidak memaksa adalah bahwa sebetulnya subyek secara cognitif-intelektual tidak merasa harus taat tunduk, akan tetapi ada faktor lain, faktor noncognitif, dan lazimnya adalah faktor volitif atau afektif, yang memaksa manusia memberi pernyataan intelektual-cognitif.
Sehubungan dengan itu maka sifat kepastian epistimologikal lazim dibagi menjadi dua, yang pertama kepastian mutlak atau istilahnya kepastian metaphisikal dan yang kedua kepastian yang tidak mutlak yang istilahnya adalah kepastian hipotetikal. Dalam pembedaan ini yang menentukan bukan faktor subyektif akan tetapi faktor obyektif, yaitu sifat hakikat dari berbagai macam obyek pengetahuan yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga lingkup : 1. Lingkup metaphisik, 2. Lingkup phisik, 3. Lingkup manusiawi. Di dalam lingkup metaphisik itu kepastian yang diperoleh adalah kepastian yang sifatnya mutlak, artinya keraguan sama sekali tidak mungkin karena melawan kepastian itu berarti “kontradiksi”. Dalam lingkup phisik dan lingkup manusiawi, kepastian dapat terjadi, dan secara formal adalah tetap pula kepastian, yaitu pernyataan cognitif intelektual mengenai obyek tanpa ada kekhawatiran keliru karena sifat jelasnya obyek itu sendiri namun kepastian itu adalah hipotesis, artinya sejauh kenyataan phisik ataupun kenyataan manusiawi itu tidak menyimpang dari kodratnya kelazimannya.
Certitudo metaphysica terjadi apabila kepastian tersebut didasarkan atas pengetahuan yang tidak mungkin dilawan, ditolak. Kadar kepastiannya secara intelektual mutlak. termasuk ke dalam kepastian mutlak ini adalah kepastian dasar dan dasar kepastian (primary truths). Demikian mutlak sifatnya kepastian ini sampai-sampai orang mengatakan bahwa Tuhan Yang Mahakuasa sendiri pun tidak melawan kepastian ini, karena menyalahi atau menentang kepastian ini berarti melakukan kotradiksi. 
Certitudo physica adalah kepastian pengetahuan yang didasarkan atas hukum kodrat phisik alamiah sesuatu zat ataupun benda. Lingkup kepastian ini adalah di sekitar apa yang disebut sebagai physica nature, yang dapat diketahui manusia melalui proses deduksi ataupun proses induksi. Dasarnya adalah sifat konstan dari kenyataan phisik alamiah tersebut. Kepastian ini dapat menyangkut pernyataan tertentu saja.
Certitudo moralis itu sebaliknya dapat diterjemahkan menjadi kepastian manusiawi, artinya kepastian yang diperoleh berkenaan dengan pengetahuan kita mengenai manusia yang mempunyai kehendak bebas (bai bebas dari maupun bebas untuk).
Maka pada dasarnya kepastian ini adalah kepastian yang sifatnya hipotetikal. Walaupun sifatnya berbeda-beda, namun ketiganya adalah tetap kepastian.

BAB IX

PENALARAN DAN KEABSAHAN EPISTEMOLOGIKALNYA

            Kepastian merupakan sesuatu yang tidak bisa kita bantah dalam kehidupan ini dengan kita mengalami secara langsung dan itu dijadikan sebagai suatu pengalaman. Begitu juga dengan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, pengetahuan merupakan sesuatu hal yang pasti. Namun, terkadang manusia malah tidak berdaya dan bahkan tidak mempunyai pangkalan yang kuat bagi kepastian pengetahuannya itu.
            Perlu kita cermati bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia itu bersifat diskusif, evolutif, bahkan menjadi multiplikatif, dan kompleks. Sedangkan kepastian dasar itu muncul dengan apa yang dipikirkan langsung tanpa adanya mediasi terlebih dahulu. Padahal kita tahu, bahwa pengetahuan itu muncul dan tumbuh dengan mediasi terlebih dahulu dan terus tumbuh serta berkembang. Oleh karena itu pengetahuan dan penalaran itu sangat erat hubungannya. Proses evolusi pengetahuan yang multiplikatif tersebut muncul dari proses awal penalaran. Penalaran merupakan suatu proses melalui mana manusia berdasarkan suatu pengetahuan sampai kepada pengetahuan baru lebih lanjut. Ketika manusia melihat suatu kejadian, maka dengan refleks yang dimiliki oleh manusia melakukan penalaran, dan dari penalaran tersebut dijadikan sebagai pengetahuan baru yang ditemui.
            Penalaran terbagi kepada dua macam, pertama penalaran deduktif, dan kedua penalaran induktif. Penalaran deduktif memiliki arti yaitu suatu evolusi pemikiran dengan mana manusia berdasarkan atas hal atau pengertian yang luas sampai kepada kesimpulan yang sempit, dari yang general kepada pengertian baru yang sifatnya particular, dari yang abstrak teoritikal kepada yang konkret empirikal. Sedangkan, penalaran induktif adalah proses evolusi pengetahuan melalui mana manusia mengambil kesimpulan yang sifatnya umum berdasarkan atas hal-hal yang sifatnya khusus, dari particular kepada yang general, dari yang empirikal kepada yang teoritikal.
            Untuk mengkaji kedua penalaran ini, dibutuhkan kajian mendalam yang hubungannya dengan epistemologi mengenai kepastian dasar dan kebenaran. Bagaimana kita menyatukan dua hal tersebut yakni penalaran dan kepastian dasar. Pertama penalaran deduktif merupakan penalaran yang berjalan melalui proses silogisme. Dan ketika kita kaji lebih dalam mengenai hal ini yang menunjuk kepada kepastian dasar. Ada dua unsur yang mencerminkan kepastian dasar, yang pertama adalah sebab akibat dan yang kedua adalah asas identitas. Silogisme sebab akibat ini ditujukan dengan adanya kesimpulan yang ditarik dapat dipandang sebagai akibat adanya interaksi kausal antara dua pemirsa. Silogisme hanyalah merupakan penerapan dari asas-asas yang tergolong kepada kelompok kepastian dasar, maka dengan sendirinya jaminan silogisme itu tidaklah sepenuhnya sama dengan jaminan yang ada pada kepastian dasar. Dan tentunya ada syarat-syarat yang harus dipenuhi baik itu yang sifatnya substansial atau pun struktural. Dari sinilah betapa pentingnya logika mempunyai peranan penting di dalam evolusinya pengetahuan. Logika merupakan jalan yang harus di tempuh jika kita ingin mengembangkan penalaran deduktif ini.
            Sementara penalaran induktif merupakan penalaran yang prosesnya bergerak dari hal-hal yang particular menuju kepada kesimpulan yang sifatnya general. Proses ke arah kesimpulan yang general  memang mempunyai landasan yang sifatnya permanen dan menggabungkan. Kalau elemen seperti itu tidak ada maka penalaran induktif tidak lain daripada proses pengumpulan hal-hal partikular yang satu dengan yang lain tidak mempunyai titik landasan konstan yang menggabungkan, mempertemukan.
            Maka dari itu, landasan dari penalaran induktif adalah adanya kodrat (natural) yang sifatnya konstan dan stabil. Jadi ketika seorang pemikir tidak bisa memahami mengenai adanya kodrat sebagai sifat dasar yang stabil dan konstan itu akan selalu menemui kesukaran dalam menghadapi problem epistemology berkenaan dengan penalaran induktif ini. Penalaran induktif juga bersifat kondisional, maka dari itulah penalaran induktif ini harus disertai dengan usaha pengamatan (observasi) terhadap faktor-faktor konstan mengadakan pengkajian atas sebab-sebab dari faktor-faktor tersebut  sebagai syarat-syarat yang harus dipenuhi dan tidak lain tidak bukan adalah apa yang dinamakan dengan penelitian ilmiah empirikal atas data-data.

 

BAB X

KESAKSIAN SEBAGAI SUMBER PENGETAHUAN, PERCAYA SEBAGAI TINDAKAN INTELEKTUAL

Pada bab sebelumnya kita telah membahas bagaimana pengetahuan muncul dari penalaran, tetapi ternyata pengetahuan juga tidak hanya muncul melalui penalaran saja tetapi juga adanya kesaksian yang kita percayai. Terutama sekali ketika kejadian itu terjadi pada masa lampau, maka dibutuhkan referensi, dokumentasi dan informasi.
            Namun, pada dasarnya hal itu memunculkan masalah yang penting dan amat relevan. Masalah pertama, kepercayaan. Masalah kedua yaitu yang berkaitan dengan eksistensi dan keabsahan dari ilmu sejarah. Sejarah sebagai pengetahuan ilmiah mengenai masa lampau merupakan suatu pengetahuan yang membuat kesimpulan-kesimpulan berdasarkan atas sumber-sumber yang secara temporer tidak bersifat langsung. Ilmu sejarah membuat kesimpulan-kesimpulan berdasarkan atas adanya saksi-saksi masa lampau. Ketiga, masalah epistemological mengenai kesaksian dan kepercayaan itu tentu saja mempunyai implikasi misalnya terhadap penghayatan KeTuhanan yang maha esa. Keempat, masalah kepercayaan dan kesaksian ini tentu saja memiliki kaitannya pula dengan tata hukum, terutama dengan kesaksian, dan saksi itu tidak jarang menjadi jaminan dan bukti yang diberi kekuatan hukum.
            Secara epistemological saksi merupakan orang yang mengetahui secara langsung, dan kemudian menyampaikan yang diketahuinya tersebut. Saksi ada yang langsung yaitu mengetahui sesuatu itu sendiri, ada juga yang tidak langsung yaitu mengetahui sesuatu karena ada orang lain yang mengetahui. Serta kesaksian itu ada yang berupa kesaksian manusiawi ada juga kesaksian Tuhan melalui kitab yang di bawa utusannya, terutama sekali bagi kita yang menganut agama samawi. Dari kesemua itu ada hal yang amat penting dari masalah kesaksian ini yaitu masalah kepercayaan, apakah saksi itu bisa dipercaya atau tidak, baik saksi yang berupa barang atau juga saksi yang berupa manusia. Dan untuk mengetahui apakah saksi itu bisa dipercaya atau tidak, yaitu pengetahuan, artinya bahwa saksi itu memang mempunyai kemungkinan untuk mengetahui hal yang dikemukakan, yang selanjutnya adalah kejujuran dari saksi itu. Dan jika kedua syarat itu terpenuhi maka kesaksian itu memang dapat dipandang sebagai sumber pengetahuan yang memiliki keabsahan epitemologikalnya. Kesaksian dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan, Manusia mengembangkan pengetahuan tidak hanya dari penalarannya saja yang memang dibuatnya sendiri tetapi juga dalam hubungannya dengan manusia lain, bahkan dalam waktu yang berlainan.
            Maka dari itulah kebenaran dari kesaksian itu menjadi sangat penting atas perkembangan ilmu sejarah. Ilmu sejarah tentu saja merupakan ilmu yang memberikan kebenaran yang sifatnya kondisional. Terkadang kita sering melihat penulisan-penulisan sejarah sering diselinapi oleh unsur-unsur yang terlalu subyektif. Bahkan tidak jarang ilmu sejarah dipergunakan untuk mencapai tujuan pragmatik, seperti kepentingan politik, ekonomi, ideologi yang kerap memalsukan sejarah.

BAB XI

SKEPTISISME

            Skeptisisme atau dalam bahasa Yunaninya Skeptomai yang memiliki arti memperhatikan dengan cermat. Dalam konteksnya dengan filsafat ilmu, skeptisisme merupakan satu-satunya aliran yang tidak mengakui adanya kepastian dan kebenaran itu. Para skeptisi mulanya adalah orang-orang yang mengamati segala sesuatu  dan menelitinya. Skeptisisme merupakan sistem pemikiran yang mengajarkan sebagai sikap ragu-ragu sebagai sikap dasar yang fundamental dan universal. Ketika kita meneliti sesuatu, kita jangan percaya langsung pada satu kondisi, kita harus melihat sisi-sisi lain yang berhubungan dengan kejadian tersebut.
            Skeptisisme sudah ada sejak zaman kuno. Sextus Empiricus misalnya, dia pernah berkata “Tak seorang pun kiranya akan meragukan bahwa sesuatu itu adalah seperti ini atau pun seperti itu, akan tetapi masalahnya yang mendasar adalah apakah sesuatu itu memang sungguh-sungguh seperti itu atau pun seperti ini”. Dan seiring berjalannya waktu, skeptisisme menjalar hingga zaman modern.
            Ada banyak variasi dalam aliran ini. Ada skeptisisme yang bersifat moderat yang hanya meragukan beberapa kepastian kebenaran. Namun, ada juga yang sifatnya doktriner, universal, dan spekulatif teoritikal, artinya mengajarkan doktrin sistematik di mana dikemukakan secara mendasar dan universal bahwa manusia tidak mungkin menemukan kepastian kebenaran. Ada skeptisisme obyektif yang menerima kepastian praktikal saja dan menolak adanya kepastian intelektual mendasar. Maka dari itu, muncul perbedaan antara skeptisisme sebagai doktrin dan sebagai praksis.
            Aliran skeptisisme sebagai doktrin yaitu sebagai suatu kesimpulan sistematik berdasarkan atas proses intelektual, dalam bentuk apa pun ajaran itu dikemukakan, selalu mengandung di dalamnya kontradiksi. Ada pula yang mengemukakan doktrin skeptisisme ini sebagai sikap untuk tidak melibatkan diri dalam activitas intellectual.
            Yang mungkin perlu kita perhatikan adalah mengapa skeptisisme itu dapat terjadi. Faktornya adalah karena pengetahuan itu merupakan bagian dan fungsi dari hidup dan kehidupan manusia yang sifatnya kompleks. Dari situlah muncul perbedaan-perbedaan diantara manusia kemudian muncul keraguan. Rene Descartes mencoba mengembangkan metode yang disebut Methodical Doubt atau dubium methodium. Teori ini mencoba menemukan kebenaran kepastian dari teori skeptisisme, meskipun terkadang sulit, tetapi metode ini merupakan langkah awal dan pemacu proses intelektual. Intinya kita perlu mengkaji suatu kejadian itu dengan teliti dan secara kritikal agar tidak salah kaprah.


BAB XII

ANTI-INTELEKTUALISME

            Perkembangan awal aliran anti-intelektualisme ini memang sudah lama sekali, perkembangan ini sudah ada sejak zaman Eropa Kuno. Misalnya saja Stoa dan Zeno yang mengajarkan teori ini bahwa bukan intelek atau pikiran yang menjadi perhatian kita dan menentukan segala sesuatunya, melainkan hidup dan kehidupan. Dia mengajarkan mengenai ordo naturalis  dan mengenai sikap yang tegar di dalam putarannya hidup dan kehidupan. Sementara itu ada satu tokoh lagi yaitu Epicurus yang mengajarkan bahwa untuk dapat melaksanakan hidup dan kehidupan itu manusia harus mengikuti asas mencari yang enak dan mengenakan. Sebab untuk mencapai kenikmatan itulah manusia justru harus dapat menemukan yang disebut harmoni atau keselarasan.
            Dalam perkembangannya anti-intelektulisme juga terjadi dalam perkembangan Eropa modern atau yang disebut dengan anti-intelektualisme kontemporer. Anti-intelektualisme kontemporer diartikan sebagai gerakan yang menimbulkan aliran pemikiran yang terjadi bila sebelum perang Dunia II atau pun sesudah itu. Gerakan ini mengajukan suatu slogan pemikiran: bukan manusia untuk pengetahuan akan tetapi pengetahuan untuk manusia. Berbagai aliran yang dapat diklasifikasikan ke dalam gerakan ini adalah eksistensialisme, phenomenology, personalisme, philosophy of life, Tokoh-tokohnya antara lain Kierkigard, Nietzche, Henry Bergson, Heidegger, Karl Jaspers, Karl Barth, J.P Sartre, Gabriel Marcell, Albert Camus, dan Marleau Ponti.
            Bagi aliran ini, kebenaran itu bukanlah proses intelektual, tidak dapat ditujukan kepada konsep-konsep abstrak essensialistik. Kebenaran adalah hidup, kebenaran itu terjadi dibuat dan dipilih bukan dipikirkan, kebenaran itu ditentukan oleh pilihan, situasi dan kebenaran.
            Memang kita boleh menolak intelektualisme yang berlebihan, namun, kita tidak perlu menolak adanya intelek dalam hidup manusia. Dan karena gerakan ini sikap dasarnya adalah anti-sistem dan anti-determinisme, tampaknya memang sukar pula gerakan ini dapat membangun dan mewujudkan masyarakat dan kebudayaan baru dengan sistem. Bagi kita amanat dari semua itu adalah: membuat manusia dan kemauan menjadi tema dasar di dalam perkembangan epistemology, supaya dengan demikian evolusi pengetahuan akan tumbuh di dalam jalan kebudayaan.

BAB XIII

RELATIVISME

Relativisme merupakan aliran yang paling membaur dari berbagai aliran sistem ilmu maupun filsafat. Relativisme berasal dari referre (latin), yang berarti membawa, mengacu, menghubungkan. Berkembang menjadi relatio atau ikatan atau relasi suatu hubungan.
Relativisme merupakan suatu aliran atau paham yang mengajarkan bahwa kebenaran itu ada, tapi tidak bersifat mutlak.
Relativisme dibagi menjadi dua: (1) relativisme universal yaitu relativisme yang mengajarkan bahwa semua saja dapat sama sama benar. (2) Relativisme parsial yaitu aliran yang membuat kebenaran parsial menjadi kebenaran total (memutlakkan sesuatu yang tidak mutlak). Relativisme ini muncul setelah manusia kurang lapang untuk berhadapan dengan kenyataan yang kompleks.
Pengetahuan adalah hal yang kompleks, hal yang relasional. Pengetahuan adalah selalu relasi antara subyek dan obyek. Jadi dua duanya penting dalam aliran ini.
Ada beberapa macam aliran yang dapat digolongkan ke dalam aliran ini yaitu:
1. subyektivisme-empirik (Hume) yang mengatakan kebenaran itu ditentukan oleh pengalaman pancaindra manusia masing-masing.
2. subyektivisme-intelektualistik yang juga disebut aliran rasionalisme (Descartes) yang mengatakan rasio adalah Sauber dan sekaligus ukuran pengetahuan yang benar. Wujud lain dari subyektivisme-intelektualistik ini adalah aliran idealisme yang menganggap kebenaran itu terjadi di dalam dan ditentukan oleh kesadaran intelektual subyektif.
3. subyektivisme-pragmatik yang juga disebut voluntarisme aliran ini yang menyatakan bahwa kebenaran tidak bersumber pada intelek atau ratio akan tetapi berdasarkan kehendak, kemauan.
Sejarah falsafah bangsa Eropa modern merupakan sejarah konflik yang terus-menerus antara aliran-aliran filsafat yang cenderung menyatakan kedaulatan mutlak terhadap kebenaran, menyatakan claim absolut atas apa yang dinamakan kebenaran.
Aliran-aliran ini mempunyai kaitan  dengan perkembangan pemikiran di bidang kenegaraan, politik, hukum, dan keagamaan. Simpang-siur dan terpecah-pecahnya aliran ini menyebabkan sementara orang menganggap bahwa kebenaran itu ada, tetapi bersifat subyektif.

BAB XIV

PERIODE EROPA KUNO
A. ZAMAN PRA-SOCRATES
Aliran Ionia (Asia Minor). Tokohnya Thales, Anaximander, Anaximenes, Herakletos. Thales mengatakan bahwa the first principle adalah air. Anaximander mengatakan bahwa the first principle itu sifatnya harus indefinite, infinite. Sementara Anaximenes mengatakan bahwa the first principle adalah udara. Herakletos sendiri lazim dipandang sebagai penganut aliran: no permanency menurutnya everything is changing.
Aliran Pithagorean. Tokoh utamanya adalah Pythagoras (sekitar 532 SM) perhatiannya besar terhadap matematika. Aliran ini dibagi menjadi dua yaitu aliran Akusmatik (bersifat mistik) dan aliran Mathematici. Aliran ini menganggap bahwa ukuran kepastian dan kebenaran itu adalah sistem numerikal.
Aliran Elea mempunyai tokoh yaitu Xenophanes, Parmenides, zen. Namun yang paling berpengaruh di bidang ontologi dan epistemologi adalah Parmenides yang berkaitan dengan masalah: One and Many, permanence and change, absolute and relative. Parmenides ini bertentangan dengan Herakletos dia menganggap semua itu satu adanya, dan perubahan itu tidak ada.
Aliran Phisiologis (Naturalis) tokohnya adalah Empodocles, Anaxagoras dan Democritus. Prinsip dasar yang menggerakkan sesuatu menurut Empodocles adalah love and hatred. Anaxagoras berbicara tentang “nous” yang berarti budi. Yang menjelaskan sifat hakikat budi itu sebagai ruang, sebab budi harus mampu memuat semua.
Para Sophis berasal dari kata Sophia yang berarti wisdom (kebijaksanaan).  Kelompok ini cenderung mempermasalahkan segala sesuatu secara mendasar, dan menolak pendekatan apriori deduktif. Tokoh-tokohnya adalah Protagoras, Gorgias, Prodicus. Protagoras dipandang sebagai tokoh relativisme awal. Menurut Plato, Protagoras mengajarkan sesuatu di mana manusia bisa menentukan sesuka hatinya mengenai benar dan salah.

B. ZAMAN SOCRATES-PLATO-ARISTOTELES
Socrates (470-399 SM) menghadapi masalah besar akibat gerakan para Sophian, yaitu masalah kepastian. Socrates mengajarkan bahwa kepastian dan kebenaran itu dapat dicari dan ditemukan dengan dialektika yaitu dengan mempermasalahkan terus menerus sampai akhirnya menemukan kepastian tersebut.
Plato (428-347 SM) lahir di Athena dari keluarga terpandang yang menjadi pendiri sekolah yang disebut dengan “Akademi”, yaitu suatu diskusi di serambi rumah. Karyanya meliputi Dialog-dialog Socrates dan Symposium. Menurut Plato ini pengetahuan tidak sama dengan perasaan semata-mata. Plato disebut sebagai aliran Idealis, sebab berpangkal dari suatu Ida yang masih harus dibuktikan kenyataannya.
Aristoteles (384-322 SM) lahir di stagira, anak seorang tabib kerajaan dan menjadi murid Plato pada akademi. Dan mendirikan sekolah sendiri yang disebut Peripatatici. Dia merupakan seorang realis. Karya-karyanya banyak diantaranya: Politics, Physics, The History of Animals, De Anima, Methaphysics. Sebagai seorang realis dia mendasarkan pemikirannya berdasarkan pengalaman  untuk memberikan uraian mendasar. Ajarannya yang mendasar mengenai pengetahuan (epistemologi) mempunyai corak realis, pengetahuan sebagai hubungan relasional antara subyek dan obyek.
C. ZAMAN SESUDAH SOCRATES
Zaman ini disebut juga sebagai period of decline. Dalam zaman ini terjadi peristiwa penting yaitu masuknya pengaruh Judaisme dan agama Nasrani ke Eropa, yang membawa masukan pengaruh alam pikiran semiotik ke Eropa. Ada beberapa aliran dalam zaman ini yaitu stoicisme, Epikurisme, skeptisisme, elektisisme, Neo pythagorean, dan Neo platonisme.
1.  Stoicisme tokohnya adalah Zeno, Chrysipus dan Cleanthes. Aliran ini bersifat anti-intelektualistik. Pusat perhatiannya adalah mengenai kodrat, hidup dan kehidupan.
2.  Epikurisme tokohnya adalah Epicurus. Fokus dari aliran ini adalah menemukan kenikmatan hidup. Epistemologinya bercorak sensasionalistik yaitu menganggap kebenaran itu ditentukan oleh rasa enak ataupun tidak enak.
3.  Skeptisisme ini merupakan aliran yang muncul karena banyak aliran yang saling berbenturan satu dengan yang lain. Tokohnya adalah Pyrrho, Arcesilaus, Carneades.
4.  Eklektisisme yang bersifat mencampur campurkan begitu saja ajaran-ajaran yang sudah ada.
5.  Neo Pythagorean aliran yang menekankan soal Tuhan. Merupakan gejala pertemuan antara Hellenisme dan Semitisme.
6.  Neo Platonisme aliran ini juga merupakan pertemuan antara Hellenisme dan Semitisme. Fokus pada Tuhan, Jiwa, Manusia, Dunia. Tokoh-tokohnya antara lain Plotinus dan Philo.


BAB XV

ZAMAN PERTENGAHAN EROPA
A. PEMBAGIAN
Pembagian sejarah epistemologi pada zaman pertengahan ini adalah:
1.      Zaman Patristik (Abad I-IV M)
2.      Zaman Skolastik (Abad IV-XIII M)
3.      Zaman Aquinas (Abad XIII M)
4.      Zaman sesudah Thomas Aquinas (Sampai Abad XVI)
Zaman ini merupakan interaksi antara Hellenisme dan Semitisme. Kebangkitan Hellenisme ini memacu timbulnya Zaman Modern sebagai dari Zaman Pertengahan Eropa.
Zaman Patristik (Patristik dari kata Patres yang artinya para bapa yang diartikan sebagai perintis gereja di Eropa). Problem utama dari zaman ini adalah mengenai adanya Tuhan Yang Esa, Trinitas, Allah yang menjadi manusia, hubungan antara Tuhan dan Manusia, Dosa, yang semuanya meliputi masalah epistemologi, ontologi, maupun moral. Perintis ternama dari zaman ini adalah Gregorius, Basilius, Tertulianus, Origenes. Di dalam proses ini muncullah theologi.
Zaman Skolastik diawali munculnya tokoh Agustinus yang merupakan pemikir yang gigih membela gereja. Dia merasa tertantang oleh masyarakat dan kebudayaan Yunani-Romawi, karena menurut mereka salah satu penyebab jatuhnya kerajaan Romawi itu adalah akibat adanya agama Nasrani. Zaman skolastik mulai tumbuh apa yang dinamakan sekolah-sekolah yang didirikan oleh raja.
Thomas Aquinas merupakan tokoh besar di zaman pertengahan Eropa. Dia berusaha membangun suatu perpaduan bernapaskan realisme antara nalar dan iman, kodrat dan adikodrati, falsafah dan teologi. Epistemologi Thomas Aquinas pada dasarnya merupakan uraian lebih lanjut dari Epistemologi Aristoteles, yang titik-tolaknya adalah menerima pengetahuan intelektual.
Zaman sesudah Thomas Aquinas ini banyak terjadi krisis, di antaranya pertentangan yang terus menerus yaitu antara gereja dan negara, perubahan kondisi sosial dan ekonomi dan masih banyak lagi. Tokoh-tokoh zaman ini antara lain Da Vittoria dan Suarez yang kebanyakan berbicara tentang politik dan hukum.


BAB XVI

ZAMAN MODERN EROPA
A. ZAMAN MODERN AWAL
Nicolaus dari Cussa (1401 M-1446). Dia adalah seorang kardinal (Pejabat tinggi gereja). Seorang matematikus dan ahli ilmu ukur. Usahanya adalah menumbuhkan koordinasi dan mencari titik temu dari aliran-aliran yang berkonflik.
Nicolao Bernando Machiavelli (1469-1527 M). Dia merupakan bapak ilmu politik atau ilmu negara modern. Selain itu dia juga yang berusaha menerapkan ilmu modern terhadap soal-soal sosial-politik.
Gallileo-Gallilei (1564-1642 M). Dia merupakan seorang profesor di Pisa dan Padua sekaligus serang Matematikus. Ia adalah peletak dasar-dasar fisika modern. Dia menerima pendapat dari Copernicus yang menyatakan bumi mengitari matahari. Hal ini yang menyebabkan terjadinya persengketaan antara Gallilei dengan Paus (Gereja).
Rene Descartes (1559-1650 M) dia mengembangkan metode yang dikenal sebagai dubium methodicum (methodical doubt) yaitu mencari kepastian dengan jalan meragukan segalah hal sesuatu terlebih dahulu yang mirip dengan jalan dialektika yang ditempuh Socrates. Descartes adalah orang yang religius hal ini dibuktikan dengan usahanya untuk membuktikan adanya Tuhan.
Benedict Spinoza (1632-1667 M) ia menolak adanya plurality of substances. Ia adalah perintis aliran monisme (Everything is One). Ia mengatakan bahwa yang ada itu sesungguhnya adalah pengetahuan yang satu sebagai satu sistem integral. Karya-karyanya adalah Tractatus Theologico Politis, Ethica, De Intellectu Emendationa.
Francis Bacon, (1561-1626 M). Ia adalah penentang aliran skolatissisme dan juga menentang Aristoteles. Ia menganjurkan pendekatan induktif untuk menemukan kebenaran. Menurut Bacon dengan nalar manusia memahami alam, dengan ilmu menaklukkan alam, dengan sastra membentuk invaginasi mengenai alam untuk mengatasi atau menghindar dari alam itu.
Gottfried Wilheim Leibniz (1646-1716), ia adalah seorang juris, matematikus, diplomat, historian, filsuf dan teolog.  Ia adalah penemu kalkulus. Ia juga adalah pengembang monadologi: segala sesuatu di dalam semesta ini adalah pertumbuhan dari berbagai Monad. Monad ini yang menentukan segala-galanya, dan seluruhnya itu pun tergantung dari Tuhan. Selain itu dia juga mengajarkan tentang pare-established harmony, antara segala sesuatu di dalam semesta.
Thomas Hobbes (1588-1676 M) dan John Locke (1632-1714 M) mereka adalah serang empiricist Hobbes banyak berbicara tentang kedaulatan (sovereignty) dan juga cenderung mempertahankan kekuasaan politik absolut. Sementara John Locke merupakan seorang teolog dan juga sebagai pembela dari freedom of thought dan freedom of speech.
Newton (1642-1727 M), merupakan ilmuwan besar. Teori-teorinya mengenai gerak, sinar, dan sebagainya adalah amat besar pengaruhnya.
Di zaman modern awal ini filsafat dan ilmu mempunyai kedudukan sejajar dengan teolog. Rasionalisme dan empirisme merupakan dua aliran dominan yang mewarnai awal zaman modern. Natural Sciences berkembang pesat.
B. ZAMAN MODERN PERTENGAHAN
Ditandai dengan lahirnya gerakan Aufklarung serta munculnya pemikir-pemikir besar seperti Immanuel Kant, Hegel, Schopenhauer.
Zaman ini dikenal dengan zaman Aufklarung, gerakan pencerahan, dalam bahasa Inggrisnya The Enlightenment. Tokohnya antara lain Diderot, D’Alembert, Voltaire, J.J. Rousseau, Lessing Reimarius dan lain sebagainya. Gerakan ini merupakan pemacu utama dari seluruh evolusi progresif dari zaman Modern hingga saat ini, memacu kehausan akan serba pembaruan.
Diderot (1713-1784 M) merupakan anggota dari apa yang dikenal sebagai kelompok ensiklopedi di Prancis. Seorang filsuf, sastrawan dia juga merupakan editor dari ensiklopedi selain itu ia juga dipandang sebagai perintis dari aliran Positivisme.
D’Alembert (1717-1781 M). Pernah belajar di hukum, kedokteran dan matematika. Bersama dengan Diderot dia juga bekerja untuk ensiklopedi. Dia juga merupakan perintis dari aliran Positivisme. Ia beranggapan bahwa etika bukanlah masalah intelektual akan tetapi adalah masalah hati.
Voltaire (1694-1778 M) ia menekankan perlunya pendekatan ilmiah. Tulisan-tulisannya mengandung napas Humanistik. Ia sendiri merasa sebagai orang yang percaya kepada Tuhan walaupun banyak orang menganggapnya sebagai atheis. Voltaire menolak segala argumentasi dan pertimbangan yang dasarnya adalah wahyu (samawi). Di akhiri hidupnya Voltaire menunjukkan sikap yang amat memusuhi gereja dan agama.
J.J Roussseau (1712-1778 M) pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan politik dan kebudayaan Eropa. Pikirannya terfokus pada soal kebahagiaan kemerdekaan. Seperti kebanyakan tokoh lainnya Rousseau juga berbicara mengenai Tuhan dan agama.
Idealisme dan Usaha Membangun Sistem Semesta.
Immanuel Kant (1724-1804), ia tertarik pada filsafatnya Leibniz dan Wolf. Ia juga mempelajari fisika dari Newton dan mempunyai perhatian terhadap psikologinya Locke. Selain itu dia juga merupakan seorang kristen yang saleh. Ia merupakan scientist, filsuf, dan teolog. Dia juga dipandang sebagai pemula aliran phenomenisme. Menurut Kant filsafat adalah kegiatan intelektual, dan karena itu hanyalah kegiatan phenomenal, tidak mempunyai hubungan dan dasar sama sekali terhadap pengalaman, terhadap kenyataan.
Fichte (1762-1814 M). Menurutnya pengetahuan itu merupakan evolusi dari kesadaran ini, bahwa pengetahuan baginya suatu gerak dan juga suatu aksi. Dia menekankan bahwa seorang individu harus menyadari hak-hak individual dari orang lain.  Dia membagi sejarah Eropa dalam beberapa fase evolusi yaitu tahap unreflective, otorita, anarki, pencerahan, dan masyarakat yang manusiawi.
Schelling (1775-1854 M). Menurutnya segala sesuatu itu pada hakikatnya satu. Subyek dan obyek, intelek dan benda, natur dan spirit, maupun kemerdekaan dan keterpaksaan. Dia melihat sejarah manusia adalah suatu drama di mana manusia menjadi aktor dan juga auctor nya. Dia mengatakan apa yang disebut pure reason itu tidak mempunyai batasan waktu, batasan tempat ataupun batasan arti.
Hegel (1770-1831 M), tema-tema yang dikembangkannya adalah geist (jiwa, atma, Budi) dialektika, sejarah. Menurutnya sejarah ini sebagai bagaikan dari evolusinya Sang Maha Semesta (Absolut), dan Sang Maha Semesta ini adalah Geist.
Schopenhauer (1788-1860 M), menurutnya dunia merupakan evolusi dari kesadaran yang terkandung hubungan antara subyek dan obyek. Kehendak itu tidak diatasi dengan membuat intelligible. Dia dipandang sebagai penganut dari determinisme.
Positivisme
Tokohnya adalah Saint Simon (1760-1825 M) dan Auguste Comte (1798-1857). Saint Simon merupakan perintis gerakan sosialisme di Prancis, dan orang pertama yang mengungkapkan konsep positivisme. Menurutnya ilmu adalah sumber kepastian tertinggi. Sementara Comte adalah bapak sosiologi modern. Menurutnya ilmu adalah berkenaan dengan sains seperti fisika, kimia, astronomi fisiologi dan biologi.
 Dari positivisme ini maka kemudian muncul aliran-aliran yang lain diantaranya evolusionisme dengan tokohnya Herbert Spencer, Psikologi dan Psikologisme yang merupakan satu-satunya ilmu yang dapat memberikan hukum secara pasti mengenai masyarakat, manusia dan kebudayaan, sosiologi dan sosiologisme yang menganggap bahwa kebenaran itu tergantung kondisi sosiologikalnya. Determinisme ekonomi yang menganut seleksi alamiah seperti hukum rimba “survival of the fittest”.
Karl Marx (1818-1883 M) adalah seorang pergerakan yang mencita-citakan gabungan antara sosialisme Prancis dan ekonomi Inggris dan filsafat Jerman. Marx mempunyai beberapa ciri khusus yaitu:
1.        Ilmu baginya tidak untuk mengetahui tetapi untuk mengubah dunia;
2.        Perkembangan mengenai ideologi modern dengan mempertajam arti dari ideologi;
3.        Mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan pragmatis ekonomi dalam pengetahuan.
John Stuart Mill (1806-1873 M) dia adalah pengikut ajaran dari Simon dan Comte. Merupakan filsuf dan ahli ekonomi. Perhatiannya terhadap sejarah dan masalah perubahan sosial. Ia mencoba menerangkan realitas di luar manusia dengan psikologi. Selain itu dia juga menerangkan tentang etika dan problem sosial.
Dalam perkembangan epistemologi modern maka muncul problem-problem mengenai metode ini. Dalam perkembangan ilmu alam mengatakan hanya ilmu alam yang mempunyai kepastian sementara ilmu sosial tidak mempunyai kepastian ilmiah. Hal ini yang menyebabkan ilmu sosial pecah menjadi dua aliran. Di satu sisi menganggap metode ilmu alam bisa digunakan di ilmu sosial tapi di sisi yang lain menganggap ilmu alam tidak bisa digunakan di dalam ilmu sosial.
Zaman ini juga berkembang mengenai ideologi. Ilmu ini tumbuh karena berkenaan dengan manusia, dunia, masyarakat, moral, politik, dan hukum. Ideologi pada saat itu merupakan bagian dari struktur masyarakat yang diwarnai oleh pertentangan kelas. Menurut Marx ideologi ini merupakan teori yang diciptakan dan dikembangkan oleh para pemegang kekuasaan untuk mempertahankan status quo. Dalam perkembangannya ideologi berubah menjadi dua ideologi keagamaan dan ideologi non keagamaan.
Berkembangnya ilmu pengetahuan mendorong berkembangnya teknologi pula. Karena dalam setiap ilmu ada beberapa bagian yang memerlukan ilmu ukur. Di antaranya astronomi, kimia, fisika, dsb. Perkembangan ilmu pengetahuan ini yang mendukung terjadinya perkembangan teknologi modern.
C. PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN ABAD XX
Sebelum Perang Dunia II ini pemikiran-pemikiran masih dipengaruhi oleh positivisme dan perkembangan dari evolusionisme. Sementara pengaruh dari Aufklarung juga masih terasa. Teologi pada zaman ini juga mengalami perkembangan. Ada beberapa aliran teologi yang muncul. Ada teologi yang dipengaruhi olah aliran rasionalisme, ada teologi yang dipengaruhi oleh aliran idealisme ada pula yang dipengaruhi oleh positivisme itu sendiri. Sehingga teologi dipandang merupakan pemikiran yang dikembangkan oleh manusia (bukan wahyu), sehingga hal ini yang memunculkan atheisme modern. Selain aliran-aliran tersebut historisme muncul pada zaman ini. Menurut aliran ini ilmu sejarah dipandang adalah penentu dari hukum segala-galanya.
Selain itu teknologi menjadi hal pengetahuan. Pada perkembangan ini teknologi menjadi terkait dengan industrialisasi, akan tetapi makin terpadu dengan perkembangan ilmu. Selain itu ekonomi menjadi elemen yang penting di dalam persaingan politik. Kemudian pertumbuhannya juga didukung oleh teknologi tersebut. Zaman ini telah menjadi zaman yang amat kaya dengan pemikiran maupun penemuan-penemuan. Namun hal ini juga merupakan zaman yang ruwet karena ilmu pengetahuan semakin tumbuh menjadi majemuk.
Sesudah perang dunia II kesadaran manusia mulai tumbuh, yaitu bahwa manusia mempunyai dua potensi yaitu membangun serta merusak dunia. Suasana epistemologi pada masa ini diwarnai oleh kesadaran dalam diri manusia tersebut, mengenai manusia itu sendiri yang sebagai pusat sejarah dengan segala optimisme dan pesimismenya.
Karena pengetahuan selalu berusaha untuk menemukan kepastian-kepastian secara deterministik, maka sebagai reaksinya manusia mencoba untuk lepas dari hal itu. mereka mulai berpikiran kebenaran, kepastian bukanlah problem intelektual semata, akan tetapi problem hidup manusia, problem pilihan, problem eksistensi.
Di masa ini muncul beberapa aliran-aliran lain di antaranya:
1.    Penomologi yang dirintis oleh Husserl yang menjadi jembatan antara alam pikiran lama dengan alam pikiran baru. Aliran ini membicarakan tentang refleksi intelektual, intensionalitas dan pengetahuan di dalam pengalaman manusia.
2.    Eksistensialisme yang merupakan gerakan alam pikiran yang dipelopori oleh Kierkegard. Aliran ini bersifat anti-intelektualisme, anti-determinisme, dan menempatkan segala sesuatu merupakan proses dari hidup dan kehidupan manusia. Tokoh-tokohnya antara lain Heidegger, Karl Jaspers, Gabriel Marcel, J.P Sartre.
3.    Personalisme gerakan ini menitik beratkan pengertian manusia sebagai “persona”, sebagai pribadi. Aliran ini makin memperjelas kedudukan pengetahuan dan hubungannya dengan manusia.
4.    Philosophy of Life tokohnya adalah Henri Bergson dan Eduard Le Roy. Bagi gerakan ini pengetahuan bukanlah hal yang harus dibuang namun reintegrasi dengan inti hidup dan kehidupan tersebut dengan seluruh proses evolusinya yang masih terus menerus.
5.    Antropologi Kefilsafatan pengembang dari gerakan ini adalah Martin Buber. Di Indonesia ada Prof. Dr. N. Driyarkara dan Ki Hadjar Dewantara.
6.    Aliran Analisa Bahasa yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran positivisme. Kepastian menurut aliran ini tergantung pada kebahasaan.
7.    Neo positivisme yang menekankan empirisisme serta menentang pemikiran-pemikiran yang bersifat non empirikal. Berusaha mendalai hakikat dari ilmu ilmiah. Tokoh aliran ini adalah para anggota kelompok Wina.
8.    Filsafat Ilmu yang menganggap dirinya merupakan terdiri dari berbagai aliran pemikiran sehingga aliran ini dipandang sebagai meta ilmu.
Selain aliran di atas ideologi juga berkembang pesat. Masa itu ada konflik bipolar yaitu antar blok timur (Soviet Rusia) dan blok barat (Amerika Serikat). Konflik ini merupakan konflik ideologi yaitu komunis dan kapitalis. Sementara itu di samping ideologi ilmu pengetahuan juga berkembang pesat baik ilmu pengetahuan alam maupun sosial.
Pada zaman itu pula muncul gerakan New Left yang bersifat radikal yang menginginkan perubahan yang tampaknya tidak banyak didasari oleh refleksi teoretikal. Inti dari gerakan ini adalah anti-establishment. Selain gerakan ini ada juga gerakan Neo-Marxisme yang mengkritik terhadap komunisme dan kapitalisme dan berbagai bentuk sosialisme yang sudah mengorganisasi.
Ada beberapa bidang keilmuan yang mengalami perkembangan. Pertama adalah ilmu pengetahuan saat itu diwarnai pula oleh orientasinya kepada masa depan. Sehingga dalam ilmu pengetahuan berusaha dan memikirkan bahkan membuat perencanaan untuk masa depan. Kedua keagamaan yang tidak ditentukan sebagai organisasi dan ajaran, melainkan sebagai iman dan penghayatan, sebagai kekuatan spiritual, bukan kekuatan fisik institusional. Ketiga bidang ideologi yang dari bipolar menjadi multipolar.
Di periode ini telah lahir negara-negara muda  yang kebanyakan menganut paham nasionalisme, demokrasi, sosialisme. Namun dunia juga dilanda oleh berbagai krisis. Krisis ini yang membuat ketimpangan di antara negara maju dan berkembang.
Secara singkat evolusi pengetahuan belum selesai hal ini dikarenakan masing-masing jenis pengetahuan masih akan tumbuh menggurita. Selain itu makin terkaitnya ilmu pengetahuan dengan teknologi. Sehingga hal ini akan membedakan antara ilmu, filsafat, dan juga teologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar