EPISTEMOLOGI DASAR: Suatu Pengantar
(A. M. W Pranarka)
Resume
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Filsafat ilmu
Yang dibina oleh Bapak GM. Sukamto, M.Pd,
M.Si
Oleh:
Pebri Ramdani (130731615714)
Suci Suryaning Dias (130731615743)
Yunik Lestari (130731607278)
Zainal Abidin (130731616733)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I
APAKAH
ITU EPISTEMOLOGI
Secara etimologikal, epistemology berasal dari dua
kata di dalam bahasa Yunani yaitu: episteme dan logos. Episteme artinya
pengetahuan dan logos lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan
sistematik. Secara sederhana epistemology berarti pengetahuan sistematik
mengenai pengetahuan.
Bila diurai lebih jauh episteme dapat dipecah menjadi
dua bagian yaitu epi-histemai yang artinya mendudukan, menempatkan atau meletakkan.
Episteme lebih mengandung arti pengetahuan sebagai salah satu upaya intelektual
untuk “menempatkan sesuatu dalam kedudukan sesuai tempatnya”. Sedangkan kata
logos juga merupakan kata yang dekat kaitannya dengan pengetahuan. Logos dapat
berarti pikiran, berdekatan dengan kata nous yang artinya budi.
Gerakan “epistemology” di Yunani dahulu dipimpin
antara lain oleh kelompok yang disebut kaum “Sophis”, yaitu orang yang secara
sadar mempermasalahkan segala sesuatu. Epistemologi kadangkala juga dikaitkan
dan bahkan disamakan dengan suatu disiplin yang dinamakan Critika atau
Criteologia, yaitu pengetahuan sistematik mengenai kriteria/ patokan untuk menentukan
pengetahuan yang benar dan tidak benar.
Mengapa epistemology tumbuh dan berkembang?
Pengalaman menunjukkan bahwa pegetahuan manusia
bergerak di dalam dua tataran yaitu: tataran yang sifatnya spontan, tataran
yang sifatnya refleksif. Di dalam evolusi kesadaran tersebut tidak jarang
manusia dihadapkan kepada pada masalah-masalah yang memacu lebih cepat lagi tumbuhnya kesadaran epistemological, baik secara psikologis
emosional maupun secara intelektual. Permasalahan yang lazim didapat manusia
adalah masalah-masalah tentang pertentangan pendapat antara yang suatu hal yang
dianggap benar atau salah, masalah pertentangan ilmu pengetahuan yang berujung
pada terjadinya konflik. Oleh sebab itulah pada dasarnya manusia selalu
mempermasalahkan kualitas pengetahuannya.
Perkembangan pengetahuan juga melahirkan berbagai
jenis pengetahuan sistematis seperti ilmu, filsafat, theology, ideology dan
teknologi. Manusia kemudian mulai mempersoalkan c
kriteria tentang kepastian dan validitas pengetahuan
yang sifatnya langsung ataupun pengetahuan tidak langsung, pengetahuan yang
sifatnya tunggal dan pengetahuan yang merupakan komposisi dan akumulasi dari
berbagai macam pengetahuan. Proses seperti itu terjadi karena pengetahuan itu
adalah bagian dari hidup dan kehidupan manusia, yang di dalamnya mempunyai
historitas dan sosialitas.
Epistemology yang diuraikan dalam naskah ini adalah
perkembangan teori-teori sistematik mengenai pengetahuan yang terjadi dalam
pengetahuan sejarah masyarakat dan kebudayaan Barat, sejak zaman awal sampai
sekarang. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa sejak zaman Yunani Kuno, orang
sudah mulai mempertanyakan secara sadar mengenai pengetahuan. Tampak bahwa
orang merasakan bahwa pengetahuan merupakan faktor penting yang menentukan hidup dan kehidupan manusia.
Orang meletakkan kedaulatan pada pengetahuan, setidaknya hal ini terlihat jelas
sebagai bagian dari tradisi masyarakat dan kebudayaan Athena. Sejarah
kebudayaan Yunani sepertinya lebih banyak dibentuk dan diberi warna oleh
perkembangan Athena memberi prioritas pada pengetahuan. Salah satu aspek yang
mewarnai seluruh perkembangan kebudayaan Yunani Kuno adalah pengetahuan itu
sendiri, mulai dari zaman Pra-Socrates sampai pada masa Pra-Aritosteles.
Zaman Romawi tidak begitu banyak menunjukkan
perkembangan pemikiran mendalam dan sistematik mengenai pengetahuan. Hal ini
disebabkan karena alam pikiran Romawi adalah alam pikiran yang sifatnya lebih
pragmatis dan ideologis. Stolcisme dan epicurisme banyak memberi pengaruh
terhadap alam pemikiran Romawi. Masuknya agama Nasrani ke Eropa memacu
perkembangan epistemology lebih lanjut, khususnya karena terdapat masalah
antara pengetahuan samawi dan manusiawi, antara iman dan akal. Hal ini kemudian
memberi masalah baru, manakah yang lebih berbobot dan berkualitas iman atau
ilmu, kepercayaan atau pembuktian. Kaum agamis mengatakan bahwa pengetahuan
manusiawi (intellectus) harus disempurnakan dengan pengethuan adikodrati
(fides). Kaum intelektual mengatakan sebaliknya iman adalah omong kosong kalau
tidak terbuktikan oleh akal.
Situasi seperti ini melahirkan aliran skolastik yang
cukup banyak perhatiannya pada masalah epistemology, karena berusaha menjalin
paduan sistematik antara pengetahuan keagamaan dan pengetahuan manusiawi yang
rasional. Disinilah kemudian terjadi pertarungan antara Hellenisme dan
Semitisme. Sejarah kemudian membuktikan bahwa perpaduan Hellenisme yang
bersifat manusiawi-intelektual dengan ajaran agama yang bersifat
samawi-supernatural tidaklah kokoh, sebab nanti terjadilah kebangkitan zaman
Modern Eropa yang dipandang sebagai kebangkitan pemikiran Hellenistis terhadap
dominasi alam pikiran Seministik. Dalam perkembangan Zaman Modern Eropa kita
menyaksikan pertumbuhan epistemology secara kreatif dan multiaplikatif. Dalam periode ini lahirlah aliran
rationalisme, empirisme, idealism, positivism yang semuanya memberikan
perhatian mengenai problem pengetahuan. Itulah mengapa periode ini disebut
sebagai periode kritik, yang berarti orang secara sadar mempermasalahkan secara
mendasar dan sistematis kriteria untuk mengetahui pengetahuan yang benar dan
tidak benar sehingga muncullah berbagai macam aliran dengan berbagai macam
ajaran mengenai hal tersebut. Dimulai dari pemikiran Decrates hingga Immanuel
Kant yang secara konsisten memecahkan
problem pengetahuan melalui ratio maka manusia harus mampu mengenali dan
mengetahui ratio itu dalam statusnya yang murni mengenai ratio itu sendiri.
Zaman modern membangkitkan semangat Aufklarung, yaitu
suatu gerakan yang yakin bahwa dengan bekal pengetahuan manusia secara natural
akan mampu membangun tata dunia yang sempurna. Optimism yang kelewat mutlak dan
perpecahan dogmatic doktriner antara berbagai aliran baik dalam aliran
filsafat, ilmu maupun theology sebagai akibat dari pergumulan epistemology
modern yang jadi multiaplikatif telah menjadikan suasana krisis budaya. Gejala
baru yang tumbuh sebagai bagian dari zaman modern ini adalah munculnya ideology
dan teknologi sebagai bagian dari perkembangan epistemology dan kebudayaan.
Aufklarung telah melahirkan ideology- ideology modern. Positivisme mendekatkan
dan membaurkan perkembangan ilmu dan teknologi.
Sesudah Perang Dunia II timbul aliran-aliran corak
baru dalam pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan alam pikiran Barat, terutama
Eropa. Di dalam aliran-aliran baru ini terkandung suatu asumsi baru di bidang
epistemology. Aliran ini melihat perhatian yang terlalu berlebihan pada
pengetahuan qua pengetahuan merupakan salah satu sebab krisis kemanuasian.
Aliran-aliran sebelumnya terlalu melihat problem epistemologi sebagai problem
tersendiri lepas dari hidup dan kehidupan manusia sebagai konteksnya telah
menyebabkan tumbuhnya pandangan-pandangan yang bersifat partial deterministic,
“satu dimensional”. Hampir semuanya mengorbankan manusia dan kemanusiaan
sebagai kenyataan yang integral. Sebagian besar aliran tersebut lebih
memusatkan pemikiran kepada hidup dan kehidupan konkret manusia. Perhatian
ditujukan pada manusia sebagai acuan segala pemikiran dan pengetahuan, segala
perbuatan dan pergerakan.
Aliran yang lebih kontemporer tidak menyusun suatu
pemikiran sistematik yang sifatnya total integral, bahkan banyak juga yang
bersifat anti-sistem. Maka dari itu ada yang mengatakan apabila aliran-aliran
modern sebelumnya membawa ciri determinisme, aliran-aliran kontemporer seperti
Eksistensialisme itu membawa ciri in-determinisme cenderung ke arah
liberalisasi dan deregulasi sistem dan nilai-nilai yang terlalu intelektualistik.
Aliran-aliran baru tersebut rasanya kurang berhasil meletakan
basis baru dalam hal perkembangan kemasyarakatan dan budaya modern. Tidak heran
jika waktu itu muncul gerakan-gerakan yang sifatnya radikal anarkistik. Sebagai
reaksi terhadap situasi tersebut muncullah aliran baru yang sifatnya lebih
pragmatic dan banyak mengembangkan pikiran-pikiran kemasyarakatan. Problem
utama yang mendapat perhatian adalah bagaimana mewujudkan masyarakat baru dari
sebuah masyarakat yang penuh dengan problem hidup dan masalah-masalah yang
menekan hidup.
Sebagai perkembangan lebih lanjut positivism dan
pragmatism yang banyak berpengaruh di Inggris dan Amerika muncullah pendekatan
kebahasaan dalam bidang epistemology. Aliran yang lahir ini disebut Language
Analisys, dimana pikiran mereka menganggap bahwa kebenaran dan kepastian tidak
lain adalah sifat dan makna dari kata-kata. Sehingga epistemology adalah
masalah reaksional-struktural kebahasaan. Pendekatan pragmatic menitik beratkan
pada teknik, instrumen atau metodologi yang menjadi hal yang menentukan
hubungan relasional dengan kebenaran atau kepastian.
Gejala kontemporer yang terakhir nyatanya mempunyai
asumsi epistemological. Dogmatis dan determinisme dalam satu dimensionalisme
sangat berpengaruh, sehingga terkadang terapan-terapan apriori dan generalisasi
yang kurang kritis dalil- dalilnya. Perubahan yang mendasar diwarnai pula oleh
aliran yang bersifat intelektualistik dan voluntaristik. Timbul pemikiran yang
mempunyai corak ideological mengingat orang mulai sadar bahwa berpikir bagi
kebanyakan orang adalah dapat mengubah dunia beserta masyarakat dan seisinya.
Pemikiran ideological ditolak oleh kalangan akademik yang mempertahankan ilmu
sebagai sesuatu yang obyektif, value-free. Mereka memandang pemikiran baru yang
bersifat ideological sebagai pemikiran yang tidak ilmiah, dengan membuat garis
pembatas yang tajam antara ilmu pengetahuan dan ideology. Gejala epistemology
yang mengiringi perkembangan hal ini adalah tumbuhnya ajaran mengenai
paradigma. Pengetahuan adalah benar menurut ajaran ini jika pendukungnya
kolektif sosiologis. Aliran ini ingin memberi keterangan mengapa ada kepastian
dan kebenaran tapi di pihak lain ingin menjelaskan mengapa bisa terjadi
perubahan, mengapa perubahan itu bersifat evolusioner. Karena itu kebenaran dan
kepastian itu sifatnya tidak mutlak.
Menyadari hal tersebut tumbuh ajaran Karl Popper
dengan dalil Falsifikasi. Dalil ini ingin mengembalikan pendekatan dan sikap
epistemological dari alairan modern awal yang diinginkan Rationalisme,
Empirisme, Idealisme, Positivisme dan khususnya Verifikasi. Dalam pendekatan
verifikasi terkandung sikap epistemological yang deterministic dan tidak
menyadari bahwa pengetahuan, kebenaran dan kepastian sifatnya evolusioner. Hal
ini menunjukan bahwa perkembangan epistemology berjalan di dalam dialektika
antara pola absolutisasi dan pola relativisasi. Namun disamping itu tumbuh
kesadaran bahwa pengetahuan itu selalu merupakan pengetahuan manusia,
manusialah yang mengetahui.
Secara umum epistemology memang tergolong dalam
filasafat di mana epistemology adalah salah satu disiplin kefilsafatan. Inti
dari filasafat adalah pengetahuan dan filsafat mengenai pengetahuan adalah
epistemology. Filsafat kemudian dibedakan menjadi
1.
Epistemologi
: disiplin kefilsafatan mengenai pengetahuan
2.
Ontology
: disiplin kefilsafatan mengenai struktur semesta
3.
Deontology
: disiplin kefilsafatan mengenai hal-hal yang sifatnya normative, meliputi
etika perorangan maupun etika social.
Mungkin memang harus disadari bahwa epistemology
adalah bidang pemikiran yang menjadi titik temu antara disiplin kefilsafatan
dan disiplin ilmu pengetahuan ilmiah. Oleh sebab itu epistemology dibedakan
menjadi
1.
Sensu
stricto : dalam pengeetian yang sempit epistemologi termasuk dalam disiplin
kefilsafatan.
2.
Sensu
lato : dalam pengertian yang luas epistemologi dapat berupa disiplin
kefilsafatan maupun disiplin pengetahuan keilmiahan.
Ada pula yang membagi epistemology menjadi
1. General epistemology (epistemology
dasar)
Membahas pengetahuan qua
pengetahuan
2. Special epistemology (epistemology
khusus)
Berbicara tentang pengetahuan khususs
tertentu seperti sejarah, metodologi, ststistik dan lain lain.
Fokus perhatiannya terhadap hala-hal yang mendasar
mengenai pengetahuan itu sendiri. Pertumbuhan epistemology terjadi akibat
pembauran antara kegiatan ilmiah dan kefilsafatan maka metode dan pendekatan
yang dipakai seyogyanya bersifat komplamenter konsentris dalam semangat
kesadaran dan relevansi pendekatan yang bersifat multidisipliner. Pendekatan
yang dipakai untuk lebih mengenal epistemology adalah pendekatan historis dan
tematis. Pendekatan historis mengamati problematic maupun teori-teori
pengetahuan itu dalam perkembangan sejarahnya. Pendekatan tematik menujukan
perhatian terhadap usaha mengkaji masalah ataupun isu tertentu yang mungkin
merupakan problem kefilsafatan maupun problem keilmiahan.
BAB II
MENGAPA
EPISTEMOLOGI KITA PELAJARI
Tiga pertimbangan yang dipakai mengapa epistemology
sebaiknya kita pelajari
1.
Perimbangan
strategis
Srategi adalah memandang segala sesuatu
sebagai kekuatan, sehingga dalam naskah ini kita berbicara tentang pengetahuan
sebagai kekuatan. Salah satu kekuatan yang membentuk sejarah adalah pikiran,
sehingga sejarah dibentuk oleh pikiran-pikiran yang tumbuh menyejarah. Hubungan
antara pikiran dan sejarah itu menunjukan secara jelas betapa di dalam diri
manusia terkandung dinamika yang jangkauannya tidak terbatas tetapi yang aktual
akan selau berada dalam keterbatasan. Hingga saat ini pikiran manusia telah
mengalami pertumbuhan peradaban manusia, baik dalam proses aktivitas maupun
dalam produk-produknya. Manusiapun dalam keadaan yang semakin sadar tidak
berhenti untuk mengadakan peningkatan dan penyempurnaan dalam kegiatan
berpikirnya.
Pengetahuahn adalah suatu kekuatan yang
telah dan akan terus membentuk kebudayaan, mengerakan sejarah dan mengubah
dunia. Sudah semestinya kita berusaha mencari apa itu pengetahuan, apa sifat
dan hakikatnya, apa daya dan juga keterbatasannya, serta apa yang menjadi
permasalahannya.
Pengetahuan telah mengikuti perkembangan
teknologi yang salanjutnya memacu perkembangannya. Teknologi berawal dari
adanya penemuan dan penemuan berasal dari pengetahuan hingga ia tumbuh dan
berkembang seperti sekarang sebab terjadi peleburan antara teknologi dan
penelitian ilmiah. Pada peradaban global seperti sekarang kekuatan suatau
bangsa atau negara ditentukan oleh bidang ilmu pengetahuan, ekonomi dan
seberapa maju teknologi yang dikuasainya.
Kekuatan dari pengetahuan dapat dilihat
dari banyaknya ajaran-ajaran, teori-teori dan dogma dan mengguritanya
perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Para shopis yang merupakan pelopor
tumbuhnya epistemology yang dengan beraninya mempertanyakan segala sesuatu
dengan konsekuensi dianggap sebagai sumber anarki dan dan kemerosotan demokrasi
di zaman Yunani kuno. Keterpecahan epistemology tak jarang mengkibatakan
timbunya konflik antar sasama kalangan kefilsafatan, kalangan keagamaan dan tak
jarang hingga pada politik masyarakat.
Akibat yang timbul pengetahuan dapat
digunakan sebagai suatu senjata perang. Orang yang ingin memenangkan
pertempuran tidak melulu menggunakan kekuatan fisik tetapi juga menggunakan
pengetahuan dengan cara menguasai pemikiran. Penguasaan pemikiran dapat
dilakukan dengan berbagai macam cara seperti propaganda, informasi,
pembrangusan, sensor, bahkan sampai pada diskusi pada program-program studi
hingga penelitian ilmiah.
2.
Pertimbangan
kebudayaan
Masalah epistemology dan kebudayaan
dapat juga kita rumuskan sebagai masalah pengetahuan dan manusia. Pengetahuan
adalah daya yang dimiliki manusia. Dengan pengetahuan itu masyarakat mengetahui
dan mengenal peristiwa, menelaah, mengurai, menginterpretasi dan menentukan
pilihan. Dengan daya pengetahuan ini manusia mepertahankan dan mengembangkan
hidup dan kehidupannya.
Pengetahuan berjalan dari taraf yang
tidak sadar hingga sampai pada tahap sadar. Dalam tahap sadar maka akan terjadi
sistematisasi dan refleksi. Umumnya pengetahuan bergerak dalam hubungan subyek
yang mengetahui dengan hal-hal yang diketahui. Manusia dengan dibekali daya
pengetahuan dimungkinkan untuk mengetahui sruktur diri dan struktur semesta
(ontology), mengenali bobot dan kadar pengetahuannya itu (epistemology) dan
mengetahui nilai-nilai, sikap-sikap dan patokan pilihan tindakan (deontology).
Semua itu dijalin dalam sintesa baik individual ataupun kolektif secara dinamis
dan terjadilah proses perkembangan kebudayaan.
Sejarah dunia berubah menjadi sjarah
kebudayaan sejak manusia menampakan diri dalam dunia. Evolusi kebudayaan
manusia selalu disertai pula evolusi pengetahuan manusia baik secara
kuantitatif maupun kualitatif. Masalah epistemology dan kebudayaan dapat
diteliti dengan menelaah perkembangan sejarah pengetahuan manusia dari zaman
yang amat sederhana sampai zaman yang multiaplikatif dan kompleks seperti
sekarang.
Hubungna antara epistemology dan
kebudayaan tampak jelas dalam sejarah kebudayaan Barat. Sejarah filsafat dan
kebudayaan modern biasanya meruapakan suatu reaksi terhadap perkembangan
kejenuhan filsafat dan kebudayaan Eropa abad pertengahan. Dikatakan bahwa
revolusi pengetahuan merupakan salah satu faktor yang melahirkan dan membentuk
kebudayaan modern. Perubahan dari abad pertengahan ke era modern merupakan
hasil transformasi budaya dari suasana belief-system kepada suasana
knowledge-system.
Pecahanya abad pertengahan Eropa
mengawali lahirnya kebudayaan modern telah melahirkan suatu divergensi yang
menjurus pada pecahnya system of thought. Dengan latar belakang ini Decrates
mencoba menemukan jalan keluar dengan membebaskan alam pikiran manusia dari
keterpecahan dan ketidakpastian, maka sampailah ia pada sebuah pendekatan yang
dikenal sebagai debinum metodicum. Akan tetapi kemudian sejarah mencatat bahwa
usaha Decrates memberikan satu titik konveregensi belum berhasil. Bahkan ia
merupakan sumber dari dua perkembangan aliran besar yang saling bertentangan,
yaitu rasionalisme dan empirisme. Dalam proses diveregensi ini jelas bahwa
pengetahuan merupakan salah satu faktor pembentuk suasana tersebut.
Pertentangan antara empirisme dan
rasionalisme serta masalah-masalah yang masih terbawa dari masa Abad
Pertengahan Eropa menyebabkan tampilnya Immanuel Kant. Disinipun analisa
mengenai ilmu pengetahuan masih menjadi perhatian utama. Nyatanya problem yang
dialami Kant tidak jauh beda dengan yang dialami Decrates, ia belum berhasil mencapai
titik konveregensi. Ia kemudian menjadi sumber perkembangan lebih lanjut dari
diveregensi antara idealism dan positivism. Secara singkat perkembangan sejarah
modern Eropa sampai masa Kant dapat ditarik kesimpulan antara lain
a.
Revolusi
pengetahuan telah menjdi suatu penggerak perkembangan budaya modern
b.
Revolusi
ternyata menghasilkan sebuah proses diveregensi
c.
Prosese
diveregensi menjadi aplikatif yang membawa pada masalah kompleksitas
d.
Bahwa
proses-proses itu mempengaruhi aspek-aspek keagamaan,theologi, filsafat imu
pengetahuan, kemasyarakatan, dsb.
Agaknya sebab-sebab itulah yang memprakarsai
munculnya aliran-aliran baru pada sekitar pertengahan abad 20, yang dapat kita
namakan dengan aliran-aliran koretemporer, yang hakikatnya merupakan suatu
reaksi terhadap perkembangan sejarah modern, yang amat ditentukan perkembangan
pengetahuan manusia yang menjadi disfungsi dalam mewujudkan cita-cita budaya
modern. Aliran-aliran ini mempunyai nafas anti-epistemologikal, dalam arti
terlalu menitikberatkan pada pengembangan pengetahuan sampai mengorbankan
perkembangan manusia dan kebudayaan itu sendiri.
Mungkin karena masih bergerak dalam suasana reaktif
maka aliran-aliran kortemporer belum juga sampai pada titik konvergensi.
Orientasi baru adalah manusia dan kebudayaan, sekurang-kuranganya aliran ini
tetap menujukan suatu indikasi kearah konveregensi manusia. Manusia dewasa ini mendambakan suatu
tata ekonomi baru bahkan tata dunia baru. Membangun tata dunia baru memang
merupakan tantangan aktual dari kebudayaan modern, maka membangun tata dunia
baru hakikatnya harus dipandang sebagai satu masalah kebudayaan.
Kita di Indonesia sedang dalam situasi kultural dunia
yang berada pada transformasi besar, cepat dan menyeluruh. Proses ini bersifat
struktural tapi c
kultural. Proses
ini membawa Indonesia pada tahap dimana epistemology menjadi permasalah yang
perlu diperhatikan. Namun di sisi lain hal tersebut masih merupakan
masalah-masalah yang asing dalam dunia pemikiran di Indonesia.
Dari sejarah kebudayaan Indonesia dapat diangkat
suatu kesimpulan bahwa bangsa Indonesia mempunyai daya c
kultural yang kuat dalam bentuk kemampuan mewujudkan
akulturasi. Kemampuan untuk mengambil dan mengolah secara kreatif unsur-unsur
dari budaya dan peradaban luar guna
mengmbangkan dan memajukan masyarakat kebudayaan Indonesia tanpa kehilangan
identitas kepribadiannya.
Konflik merupakan jalan kearah kemajuan. Hal ini
terlihat dengan betapa konflik yang antagonistic dan konvergenistik di Barat
telah melahirkan perubahan dan kemajuan di Barat. Mempelajari epistemology di
Barat tetap harus dilaksanakan dengan semangat akulturasi yang dikerjakan
secara aktif dan kreatif.
3.
Pertimbangan
Pendidikan
Hubungan pengetahuan dan pendidikan
sangat erat. Pengetahuan itu telah membentuk pertumbuhan kebudayaan dan peradaban
manusia. Pendidikan pada hakikatnya berusaha mengantar manusia pada
perkembangan kematangan, baik secara intelektual, emosional, sosial dan
spiritual. Pendidikan itu usaha sadar mengembangkan sikap hidup, pengetahuan
keterampilan dan manusia berusaha mengembangkan diri bersamama dengan
sesamanya.
Dalam sistem pendidikan modern dewasa
ini pengetahuan menempati porsi utama dalam proses belajara mengajar. Artinya,
pendidikan tertuju pada penguasaan pengetahuan bukan pada pembentukan pribadi
manusia. Kurikulum adalah penegetahuan:meterinya, komposisisnya, metodologinya,
silabi dan evaluasi. Hal ini bahwa mereka yang terlibat dalam usaha membangun,
merencanakan dan mengolah pendidikan memang perlu mengetahui sifat hakikat dan
pertumbuhan pengetahuan itu sendiri.
Perkembangan logika matematika sebagai
pelengkap utama dalam pengembangan pengetahuan yang disebut organon oleh
Aritosteles. Maka informasi mengenai perkembangan pengetahuan di dunia menjadi
sangat penting. Pengetahuan kadang berubah dan kadang juga mengubah kebudayaan
dan peradaban. Negara-negara maju menitikberatkan perhatian kepada apa yang
dinamakan penelitian dan pengembangan. Disitu orang berbicara tentang
industrialisasi pengetahuan, yang dapat dijadikan factor pendukung kemajuan
suatu masyarakat. Dengan pendidikan penting dibangun pula sikap terhadap
pengetahuan. Melaui pendidikan orang disiapkan tidak saja untuk menguasai
pengetahuan tapi juga untuk membudayakan pengetahuan, disinilah pentingnya
epistemology.
APAKAH PENGETAHUAN ITU
Pertanyaan “Apakah pengetahuan itu?”
yang memacu lahirnya epistemology dan mengembangkan pengetahuan agar menjadi
sebuah kekuatan yang nyata. Hanya orang yang memberi prioritas pada pengetahuan
secara sadar dan mendasar, akan mepertanyakan apa itu pengetahuan. Pendekatan
kita terhadap pengetahuan terkadang terlalu pragmatic. Dengan demikian
terjadilah pengetahuan tanpa pendalaman yang mendasar. Seperti yang kita
ketahui sikap pragmatism mengandung bahaya kedangkalan terhadap pengetahuan.
Pengetahuan adalah suatu persatuan
antara subyek dan obyek: dengan mengetahui subyek menjadi manunggal dengan
obyek dan obyek menjadi manunggal dengan subyek. Pengetahuan pada hakikatnya
akan selalu bersifat relational, yang berarti berada di dalam kesehubungan
subyek dan obyek dan relasi ini bukanlah
apa yang yang disebut relasi extrinsic melainkan suatu relasi intrisik.
Sementara itu ada pula yang menguraikan bahwa pengetahuan hanya sekadar sebagai
suatu relasi extrinsic semata. Masalah yang dihadapi pendapat ini adalah
bagaimana diterangkan kehadiran obyek itu di dalam subyek.
Demikian pula problem antara essece dan
existence. Disanalah kemudian timbul dua aliran pemikiran: nominalis dan
konseptualis. Keduanya beranggapan bahwa di dalam pengetahuan itu yang terjadi
hanyalah pertemuan bukan persatuan antara subyek dan obyek. Bagi kaum nominalis
pengetahuan itu terjadi karena adanya obyek dan subyeknyalah yang memberi nama
pada obyek-obyek tersebut. Bagi kaum konseptualis pengetahuan adalah pertmuan
dan di dalam pertemuan itu yang menentukan adalah konsep-konsep dari intelek
manusia.
Aliran realime-kritis dan realism
moderat yang beranggapan bahwa pengetahuan adalah suatu bentuk persatuan antara
subyek dan obyek, dan bukan sekadar pertemuan. Lalu didalam perkembangan di zaman
modern, kontroversi itu menggejala di dalam bentuk aliran positivism dan
idealism. Hubungan antara subyek dan obyek dalam ilmu pengetahuan terkandung
permasalahan antara materialism dan imaterialisme, dimensi material dan dimensi
spiritual, induksi ataukah deduksi obyektif ataukah sunyektif, kriteria
kebenaran adalah masalah kebenaran itu sendiri. Didalam pengetahuan itu
terdapat aktifitas dari pihak subyek maupun obyek, begitupula passivitas subyek
maupun obyek.
Terkait dengan aliran sensionalis yang menggejala
pada aliran empiricism dan positivism, denga demikian pengetahuan itu seleu
bersifat obyektif-subyektif dan subyektif-obyektif. Kemanunggal subyek dan
obyek didalam pengetahuan bukanlah suatu kemanuggalan yang sempurna dimana
subyek sepenuhnya menjadi subyek dan obyek sepenuhnya menjadi obyek. Terjadilah
suasana yang membawa frustasi bahkan suasana yang menuju pada absurditas dari
pertentangan antara idealism dan positivism yang tampaknya yakin membawa
manusia itu pada hakikat Geist im Welt.
Dari pemaparan sederhana mengenai
pengetahuan diatas terdapat beberapa uraian yang melibatkan beberapa aliran
1. Ajaran yang serba rohani dan yang serba
materi
2. Ajaran yang serba subyekstif dan serba
obyektif
3. Ajaran yang serba deduktif dan ajaran
yang serba induktif.
Yang kita bicarakan dalam bahasan ini adalah
pengetahuan dalam pola dasarnya. Yang kita bicarakan adalah pengetahuan qua
pengetahuan dan itupun hanya pengetahuan yang sifatnya immediate, yaitu
hubungan antara subyek dan obyek dalam one act of direct knowledge. Dalam
menjelaskan bagaimanakah proses pengetahuan sebagai persatuan subyek dan obyek.
Dengan perkataan lain bagaimana proses material- immaterial itu terjadi di
dalam subyek, yaitu manusia yang pengetahuannya bersifat indrawi atau
sensivo-rational. Salah satu hipotesa yang menerangkan tahap-tahap pengetahuan
dimana orang membuat perbedaan tataran indrawi dan intellectus agens.
Di dalam realitas selalu terkandung kebhinekaan dan
ketunggalikaan. Di dalam pengetahuan manusia juga terkandung kemampuan untuk
memahami kebhinekaan dan ketunggalikaan. Ada beberapa pelajaran yang diangkat
dari analisa mengenai pengetahuan diatas
1. Bahwa pengetahuan adalah suatu kegiatan
yang sifatnya mengembangkan dan menambah kesempurnaan, yang istilahnya
perspective activity.
2. Bahwa pengetahuan manusia itu sifatnya
terbatas, tidak sempurna dan karena itu terus berkembang. Manusia tidak
mengetahuai sagala sesuatunya secara total.
BAB IV
KEBENARAN DAN SIFAT-SIFATNYA
Kebenaran sesungguhnya meruopakan tema sentral dari
epistemology. Umumnya orang percaya bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk
mencapai kebenaran. Pendekatan terhadap kebenaran tampaknya masih mempunyai
pragmatic, seperti halnya sikap kita terhadap pengetahuan. Probelamatika
mengenai kebenaran sperti halnya dengan yang terjadi pada pengetahuan,
merupakan masalah tersebut ternyata mampu mengembangakan dan menumbuhkan
epistemology.
Telaah epistemologi membawa kita pada kesimpulan
bahwa perlu membedakan kebenaran menjadai tiga: kebenaran epistemological,
kebenaran ontological, dan kebenaran semantikal.
1.
Kebenaran
epistemological: penegertian kebenaran dalam hubungannya dengan penegetahuan
manusia. Kebenaran dasar yang ada di dalam obyek pengetahuan itu sendiri.
2.
Kebenaran
ontological: kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada sagala sesuatu
yang ada maupun diadakan.
3.
Kebenaran
semantikal: kebenaranan yang terdapat dalam tutur kata dan bahasa.
Menyebut kebenaran semantikal sebagai kebenaranan
moral disebabkan karena di dalam tutur kata dan bahasa menghianati atau tidak dalam
kebenaran epistemological ataupun
kebenaran ontological tergantung pada manusia yang mempunyai kemerdekaan
tutur kata.
Dalam arti apakah dan sejauh manakah pengetahuan
dapat dikatakan benar?
Pengetahuan adalah kemanuggalan subyek dan obyek.
Pengetahuan dikatakan benar apabila dalam kemanunggalan terdapat kesasuaian
antara apa yang ada di dalam pengetahuan subyek dan apa yang ada dikenyataan
ada di dalam obyek. Inilah yang kemudian menumbuhkan aliran Phenomenisme,
sederhanannya aliran ini mengatakan bahwa pengetahuan adalah hubungan antara noumenon (di dalam
obyek) dan phenomenon (bayangan, kesan yang tumbuh di dalam subyek). Maka
pengetahuanyang benar itu hanya terdapat dalam konsep-konsep saja. Beberapa
kalangan mengemukakan bahwa pengetahuan tidak lain merupakan kesan yang
diberikan obyek kepada indra kita, pengetahuan termasuk kebenaran adalah respon
kita terhadap rangsangan dari obyek-obyek tertentu.
Kemudian tunbuhlah aliran idealism dan empirisme
positivism. Implikasi mendasar lebih lanjut melahirkan aliran relativisme dan
subyektivisme yang akhirnya bermuara pada skeptisme. Kepastian dan kebenaran
pun menjadi buyar.
Kebenaran itu merupakan bagian dari proses budi
pikiran in statu activo. Artinya didalam proses aktif inilah terdapat
kesesuaian dan kemanuggalan antara subyek dan obyek. Pengetahuan sebagai suatu
prosese mempunyai awal dan akhir.
Konsep adalah bagian dari proses yang terjadi di
dalam intelektus dan intellectus yang belum bergerak lebih lanjut dalam proses
kemanunggalannya dengan obyek. Bila konsep itu dijadikan terminus quo maka
kebenaran bukanlah suatu hasil yang sifatnya resporikal tapi sesuatu yangh
sifatnya sendirian.
Terminus ad quem perlu ditelaah, alasannya karena
proses terjadinya konsep dirangsang oleh obyek, tapi konsep itu sendiri memang
tumbuh di dalam diri subyek. Terminus ad quem
dari pengetahuan adalah essensi nama ataupun “the what” dari obyek itu
saja. Tidak ada kemanuggalan resporikal yang sesungguhanya antara noumenon dan
phenomenon, antara subyek dan obyek karena yang ada adalah phenomenon yang
dibangun oleh intelek di dalam subyek
saja. Maka kembali lagi kita terjatuh dalam subyektivitas. Terminus a quem dari
pengetahuan dan yang menentukan kebenaran epistemological adalah the real
exsistence of the object termasuk dalam the what dari obyek. Dalam pengertian
inilah pengetahuan itu bersifat resporikal dan merupakan kemanunggalan antara
subyek dan obyek. Obyek pengetahuan tidak terbatas pada benda-benda konkret
material semata.
Bahasa merupakan ekspresi manusiawi per excellence
maksudnya dalam bahasa itulah terdapat kodrat manusia. Kebenaran dalam
hubungannya dengan bahasa menjadi hal yang sangat komples. Berkembanglah
semiotic yang mempelajari elemen- elemen yang mempelajari tanda,interpretasi
dan kondisi lainnnya. Orang membedakan maupun mengungkapkan hubungan semantik,
syntaksis dan aspek pragmatis fungsional dari bahasa. Timbul pula apa yang
dinamakan hermeneutic. Problem kebenaran dan kepastian dalam pengetahuan
membawa serta problem kepastian mengenal bahasa sebagai ungkapan kebenaran.
BAB V
KEBENARAN DAN SIFAT-SIFATNYA
Melalui pengetahuan manusia berusaha mendapatkan
kebenaran. Selanjutnya karena kebenaran adalah kebenaran dan kepastian adalah
kepastian, maka kepada kebenaran dan kepastian itu lalu lazim diberikan nilai
mutlak: apa yang benar, apa yang pasti, itu adalah mutlak. apabila kebenaran
dan di sini tentu saja yang dimaksudkan adalah kebenaran Epistemologikal, itu
ada pada pengetahuan, dan apabila sifat dan hakikat pengetahuan tersebut adalah
relasional, intensional, evolutif, dan diskursif, bagaimanakah kita dapat
mengatakan ada kepastian dan kebenaran yang sifatnya mutlak di dalam
pengetahuan manusia tersebut. Pengetahuan akan disebut sebagai pengetahuan yang
benar apabila terdapar suatu kesesuaian terpadu, apabila terdapat conformitas,
antar apa yang terjadi di dalam pengetahuan subjek di satu pihak dengan apa
yang senyatanya ada di dalam objek di lain pihak. Namuan karena pengetahuan itu
sifatnya selalu relatif dan diskursif, maka kita perlu menyadari bawa
conformitas antar subjek dan objek tersebut bukanlah satu conformitas yang
tuntas paripurna, yaitu conformitas yang semesta dan menyeluruh. Conformitas
itu akan selalu merupakan conformitas yang parsial, yang relatif.
Untuk memperjelas soal sifat-sifat kebenaran kita perlu
sekali mengadakan pembedaan antara diformitas total yang lazim disebut sebagai
diformitas positiva ( positiva difformity) dengan diformitas yang relatif atau
persial, yang lazim disebut sebagai diformitas negativa (negative difformity).
Di dalam pengetahuan yang benar akan selalu terkandug negative difformity, akan
tetapi tidaklah terkandung positive difformity. Kebenaran berada di dalam
lingkup relasional antara subjek dan objek. Maka itu perlu kita memahami
pengertian kebenaran ditinjau dari aspek subyeknya atau ditinjau dari aspek
obyeknya. Kebenaran ditinjau dari aspek subyeknya akan berarti kebenaran di
dalam pengetahuan yang konkret: di dalam pengetahuan si anau, si ini, ataupun
si itu. Dengan demikian maka ditinjau dari segi subyeknya kebenaran itu tentu
saja akan selalu bervariasi, bahkan dapat berkembang, dapat kurang sempurna,
dapat lebih sempurna dan lain sebagainya. Sementara itu kebenaran,
ditinjau dari aspek obyeknya, akan
selalu berarti kebenaran epistemologikal yang tidak tuntas, artinya obyek itu
sendiri adalah suatu totalitas yang kompleks, banyak seginya, banyak aspeknya.
Maka itu kebenaran ditinjau dari segi obyeknya akan selalu merupakan hal yang
kurang sempurna, yang masih ada kekurangannya, yang masih perlu disempurnakan,
jadi yang tidak mutlak sempurna, kepastiannya juga tidak menyeluruh.
Itulah sebabnya berkenaan dengan kebenaran dan
sifat-sifatnya diadakanlah pembedaan pengertian mengenai kebenaran
epistemologikal di dalam tiga kategori: kebenaran ditinjau secara formal,
kebenaran ditinjau dari segi subyeknya, dan kebenaran ditinjau dari segi
obyeknya. Kebenaran ditinjau secara formal adalah apabila pengetahuan benar
tersebut telah memenuhi hakikat apapun pengertian dasar dari kebenaran
epistemologikal itu. Kalau conformitas itu memang ada, maka secara formal
pengetahuan kita itu memenuhi hakikat kebenaran. Inilah yang disebut kebenaran
dalam arti formal yang istilahnya adalah veritas
formaliter spectata. Kebenaran ditinjau dari segi subyeknya adalah apa yang
sudah di utarakan diatas. Istilah yang lazim dipakai untuk ini adalah: veritas
subjective spectata. Sedang kebenaran ditinjau dari segi obyeknya hal itu pun
telah pula dikemukakan di atas juga. Istilah lazim adalah veritas materialiter
spectata yaitu kebenaran ditinjau dari materi obyeknya. Kadang-kadang juga
dipergunakan istilah veritas objective
spectata.
Kalau yang dikemukakan di dalam pengetahuan yang benar
tersebut adalah kebenaran yang lingkupnya adalah lingkup kontingen, maka
kemutlakan dan kepastiannya juga tergantung kepada batasan-batasan yang ada
baik berkenaan dengan tempat ataupun berkenaan dengan waktu. Sehubungan dengan
pembedaan antara lingkup yang kontingen di satu pihak dengan lingkup yang
permanen, established, necessary atau mapan di lain pihak, ada manfaatnya
memperhatikan pula mengenai tiga klasifikasi kepastian epistemologikal:
kepastian alami, kepastian manusiawi, kepastian metafisikal.
Kepastian alami,
yang biasanya disebut dengan istilah certitudo physica (physical certitude)
adalah kepastian yang didasarkan kepada sifat-sifat alamiah benda-benda.
Kepastiannya tergantung sejauh benda-benda itu masih tetap”bertingkah laku”
sesuai dengan dasar-dasar kodrat alamiahnya yang kita ketahui. Di dalam lingkup
kepastian alamiah inilah tumbuh pengetahuan ilmiah, didasarkan kepada
pengamatan ataupun eksperimentasi atas aksi dan reaksi alamiah dari
benda-benda, zat-zat, elemen-elemen.
Yang dinamakan kepastian
manusiawi, biasanya disebut sebagai certitudo moralis, dan kaitannya adalah
necessitas moralis. Disini apa yang disebut kepastian itu ditentukan ataupun
didasarkan kepada kodratnya manusia, dan manusia mempunyai kemerdekaan: merdeka
dalam arti bebas maupun dalam arti bebas untuk, walapun tidak sepenuhnya
mutlak.
Sedangkan yang dinamakan kepastian metafisikal pada hakekatnya adalah hal yang sifatnya amat
intelektual. Kepastian ini sifatnya mutlak karena penyimpangan atau
pengingkaran terhadap kepastian metafisik akan berarti kontradiksi intelektual
terhadap diri sendiri. Bertopang kepada kepastian metafisik dijabarkanlah apa
yang dinamakan principium identitas (principle of identity), principium
negationis (principle of negation), principium veritatis primariae (principle
of the primary truth), yang menjadi pangkal tolak landasannya kepastian-kepastian
intelektual lain-lainnya. Di sini kebenaran dasar menjadi dasarnya kebenaran,
pengetahuan dasar menjadi dasarnya pengetahuan. Kepastian metafisikal ini
terutama ditunjukkan kepada para Skeptisi,
yaitu orang-orang yang alirannya adalah meragukan akan adanya pengetahuan
manusia.
Kebenaran epistemologikal adalah selalu kebenaran dalam
kaitannya dengan pengetahuan manusia, bahkan pengetahuan seorang manusia. Maka
itu akan selalu bersifat subyektif, terbatas, dan evolutif, relasional,
diskursif, sesuai dengan sifat hakikat manusia yang adalah makhluk yang
terbatas, relatif, dan mengalami perubahan serta perkembangan, berada di dalam
lingkup tempat dan waktu, menyejarah dan memasyarakat. Pengetahuan manusia akan
selalu bersifat manusiawi, begitu pula halnya dengan kebenaran
epistemologikalnya. Itulah sebabnya maka kebenaran ditinjau dari segi subjeknya
dapat mengalami evolusi, perkembangan, dapat bertambah ataupun berkurang, baik
mengenai hal yang diketahu’inya maupun tentang cara mengetahui kebenaran tersebut.
Pengetahuan yang sifatnya diskursif, evolutif, parsial,
tidak akan pernah dapat menjangkau objek itu di dalam keseluruhan dan
kesemestaannya, in totalitate. Dengan demikian tidak pernah akan ada
pengetahuan yang sifatnya tuntas ditinjau dari segi obyeknya ini. Dengan
demikan jelas pula bahwa pengetahuan manusia mengenai objek itu dapat mengalami
perkembangan, dapat disempurnakan, banyak hal mengenai obyek itu yang dapat
diketahui. Inilah yang disebut mutabilis
et admittit gradus: dapat berubah dan dapat mengalami perkembangan,
peningkatan, pengurangan. Kebenaran dan kepastian dapat menjadi bertambah baik
secara kuantitatif maupun secara kualitatif, secara intensif maupun secara
ekstensif, atau sebaliknya menjadi kurang baik. pengetahuan dan kepastian yang
secara kualitatif dan kuantitatif dan kuantitatif menyangkut semesta ini akan
memberi kemungkinan yang lebih besar bagi manusia untuk membudayakan semesta
itu pula.
Dari situasi seperti ini dapat tumbuh antara lain sikap
dan cara berfikir yang cenderung memutlakkan apa yang dirasa benar. Dan
terjadilah sikap dan cara berfikir yang dogmatik satu dimensional, yang tidak
jarang membuat manusia terperangkap di dalam ketertutupan dan kebekuan. Situasi
seperti itu juga mengakibatkan adanya kecenderungan untuk memberikan nlai
mutlak dan pasti kepada kenyataan yang sebetulnya tidak pasti dan tidak mutlak.
timbullah apa yang disebut aliran Relativisme Radikal atau Relatifisme
Universal. Karena kenyataannya mengetahui objek di dalam totalitasnya itu tidak
mungkin, maka orang lalu memberikan harga mati secara mutlak kepada hal-hal
yang sifatnya subyektif ataupun pragmatif. Aliran-aliran seperti ini tidaklah
menolak adanya kebenaran dan kepastian, bahkan kebanyakan adalah menentang
aliran skeptisisme, akan tetapi aliran ini memberikan uraian yang tidak tepat
mengenai sifat dan hakikat dari kebenaran tersebut. Dari aliran inilah secara
mudah dapat tumbuh aliran-aliran yang dapat digolongkan ke dalam segala jenis
Subyektivisme dan Pragmatisme. Hikmah terdalam dari uraian mengenai kebenaran
dan sifat-sifatnya ini adalah janganlah kita memutlakkan hal-hal yang pada
hakikatnya tidak mutlak.
BAB VI
SALAH
DAN KELIRU
Menurut kodratnya pengetahuan adalah wahana dengan mana
manusia mencapai kebenaran. Maka tujuan dari pengetahuan itu pun adalah
tercapainya kebenaran. Sebab kalau menurut kodratnya pengetahuan juga
ditunjukan pula kepada kesalahan dan keliruan, akan susahnya kita manusia
membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Tentu saja yang dibahas di
dalam hal ini adalah tetap kebenaran epistomologikal. memang kita juga dapat
dan perlu mengadakan pembedaan antara kesalahan semantikal dan kesalahan
epistomologikal, sebagai mana halnya kita telah membahas tentang kebenaran
onotologikal, semantikal dan epistemologikal. Perlu diperjelas lebih dulu
tentang pengertian kesalahan dan
kekeliruan. Kesalahan apabila di terjemahkan kedalam bahasa inggris adalah falsity. Walaupun aliran-aliran tersebut
itu hampir semuanya tidak ingin terjerumus ke dalam apa yang dinamakan
skeptisisme ataupun dogmatisme, akan tetapi apabila pandangan mereka dipegang
teguh secara konsisten, maka kita akan terperangkap kembali ke dalam dogmatisme
atau ke dalam skeptisisme.
Kesalahan dan kekeliruan yang kita bicarakan adalah
selalu berkaitan dengan pengetahuan manusia. Yang artinya, berada didalam
kingkup kegiatan cognitif intelektual manusia. Maka itu seperti halnya
kebenaran, maka kesalahan itu pun terdapatnya juga di dalam proses kegiatan
cognitif intelektual manusia. Diformitas itu terdapat di dalam keadaan di mana
gerak pengetahuan subjek telah menuju kepada obyek sebagaimana adanya kegiatan
dividendo dan componendo telah mencapai tahap perpaduan atau titik sintesa.
Lazimnya kegiatan ini terungkap di dalam bentuk pernyataan cognitif
intelektual. Apa yang disebut kesalahan itu, kalau kita perhatikan dapat
terungkap di dalam dua jenis pernyataan yang cognitif-intelektual. Lain halnya
apabila kesalahan itu kita tinjau dari aspek subyek ataupun dari aspek
obyeknya, konfrontasi mutlak antara konformitas dan diformitas memang tidak
begitu terlihat. Kesalahan bersifat relatif, tidak mutlak, dapat di ubah, dapat
kurang ataupun dapat lebih.
Sehubungan dengan proses tindakan manusia di dalam
membuat kekeliruan ini, ada enam tataran pengetahuan. Pertama, adalah nescience.
Kedua, adalah ignorance. Ketiga, doubt. Empat, suspicion. Lima, opinion. Keenam
adalah certitude. Didalam tataran doubt ataupun opinion itu pada hakikatnya
belum terjadi suatu kepastian intelektual. Ada faktor lain yang iki
mempengaruhi. Faktor ini antara lain adalah faktor volitif manusia, yang dapat
memacu ataupun mempercepat dibuatnya suatu “intellectual assent”. Mengapa aspek
volitif, afektif dan psikomotorik dapat tumbuh demikian, hal ini pun tampaknya
dipengaruhi oleh berbagai faktor pula, misalnya kurang kuatnya disiplin
intelektual, adanya hawa nafsu tertentu, pamrih, keinginan, pengaruh
orang-orang lain, prasangka-prasangka, puas dengan yang sifatnya superfisial.
Yang dapat kita ambil dari pembahasan mengenai kesalahan dan kekeliruan adalah
bahwa apabila kita mengiginkan agar pertumbuhan cognitif intelektual untuk
mencapai kebenaran dan kepastian dapat terjadi secara sadar, terencana, teratur
dan sistematik, maka ia harus disertai dengan askese, dengan disiplin, dengan
latihan, dengan dengan laku dan pengendalian diri. Dalam hal ini kesalahan dan
kekeliruan pun mungkin menjadi jalan kepada kebenaran dan kepastian.
BAB VII
KEPASTIAN DASAR DAN DASARNYA KEPASTIAN
Ada dua macam bentuk aliran yang mempermasalahkan
kepastian mengenai adanya kebenaran. Keduanya dapat dianggap sebagai aliran
yang meragukan, mempertanyakan, memasalahkan adanya pengetahuan dan adanya
kebenaran. Aliran yang satu adalah aliran Skeptisisme Doktriner, artinya
menjadi kesimpulan dan keyakinan bahwa pengetahuan dan kebenaran itu memang
tidak ada. Di kalangan aliran Skolastik, masalah mengenai kepastian dasar dan
juga menjadi dasarnya kepastian, ini lazim disebut sebagai masalah mengenai Testimonium Conscientiae. Problem
kepastian tersebut di pandang sebagai problem testimonium, karena yang di
tuntut oleh masalah ini adalah adanya bukti, dan testimonium artinya adalah
pembuktian. Adapun istilah conscience dalam pengertian moral, bukan mengenai
hati nurani. Istilah conscience kalau diuraikan terdiri dari dua kata Cum (menyertai)
dan scientia (pengetahuan). Jadi conscience adalah pengetahuan yang selalu
menyertai segala pengetahuan.
Refleksi transendetal, yaitu usaha secara sadar
mengungkapkan hal ada akan tetapi hanya bersifat implisit, maka adanya
conscience seperti itu dapat kita ketahui secara sadar pula. Pembuktian
mengenai kepastian dasar memberi jaminan mengenai adanya pengetahuan dan adanya
kebenaran itu terjadi dengan melakukan proses eksplisitasi diri. Secara
definisif proses tersebut dapat dipertahankan melalui argumentasi yang disebut
elenchicon atau retorisio, yaitu menunjukkan bahwa barang siapa tidak
menyetujui hal ini sesungguhnya ia telah membantah dirinya sendiri. Kepastian
dasar ini adalah amat penting karena tidak saja merupakan jawaban yang mendasar
terhadap berbagai macam sikap dan ajaran seperti misalnya Skeptisisme dan
Relativisme, akan tetapi karena kepastian tersebut merupakan dasarnya segala
kepastian lainnya. Kepastian dasar ini apabila kita urai lagi ternyata
didalamnya memuat apa yang dapat di sebut sebagai kebenaran dasar atau
benar-benar primer, yang lazim dinamakan primary truths, yang juga amat besar
fungsionalnya bagi kukuhnya pertumbuhan pengetahuan manusia, terutama yang
sifatnya sistematik. Kebenaran-kebenaran dasar atau primary truths itu merupakan
hal yang amat penting di dalam pertumbuhan pengetahuan manusia, dan
sesungguhnya selalu diandaikan oleh proses pertumbuhan pengetahuan manusia.
Substance itu sifatnya mandiri, sedangkan accidents itu melekat pada substance,
akan tetapi tidak sama dengan substance tersebut. Dengan kata lain, manusia
mempunyai kesatuan substansial akan tetapi memiliki kemajemukan assidental.
Manusia mealui pengetahuannya dapat menyamah
kenyataan-kenyataan material. Berdasarkan kepada primary truths tersebut
manusia mengembangkan penelitian-penelitian eksperimental mengenai
gejala-gejala alamiah. Dengan landasan primary truths dapatlah di pahami betapa
manusia juga mengembangkan penalaran baik yang bersifat indukatif maupun yang
bersifat dedukatif, manusia mengembangtumbuhkan pengetahuan. Pengetahuan itupun
berkembang tidak hanya secara individual, melainkkan secara kolektif, sosial,
bahkan melampaui batas waktu, terutama lagi setelah manusia mengembangkan
peradaban baca tulis sampai kepada peradaban teknologi informatika saat ini.
Library research saat ini merupakan bagian penting di dalam proses pertumbuhan
pengetahuan.
Karena pengetahuan mengandung di dalamnya dinamika,
maka manusia juga berusaha mengatasi batasan tempat maupun waktu. Dan tumbuhlah
pengetahuan sejarah, yang menjangkau masa lampau akan tetapi juga menjangkau
masa depan. Sehubungan dengan masa lampau manusia mengembangkan apa yang
dinamakan heuristik, untuk mengetahui sumber-sumber pengetahuan mengenai masa
lampaunya itu. Terhadap masa depan manusia pun memasuki dunia futurable, baik
yang dapat dipastikan maupun hanya yang dapat di pekirakan. Kalau secara
epistemologikal ingin kita klasifikasikan, maka menurut jenis kepastiannya kita
dapat membedakan berikut ini:
1.
Pengetahuan yang memberikan kepastian dasar dan dasar kepastian.
2.
Pengetahuan yang (dilandasi oleh
kepastian dasar dan primary truths) memberikan kepastian berdasarkan
penelitian-penelitian eksperimental.
3.
Pengetahuan yang (dilandasi oleh kepastian dasar dan primary truths)
memberikan kepastian berdasarkan penalaran baik yang bersifat deduktif maupun
yang bersifat doktrinal.
4.
Pengetahuan yang (dilandasi oleh kepastian dasar dan primary truths)
memberikan kepastian berdasarkan atas sumber-sumber informasi, baik historis
maupun doktrinal.
5.
Pengetahuan yang (dilandasi oleh kepastian dasar dan primary truths)
mengenai masa depan.
Dari segalai kepastian tersebuat hanya satu yang
sifatnya “immediate” yaitu kepastian yang diperoleh dengan menggunakan
perantara, menggunakan media.
BAB VIII
KEPASTIAN
: HAKIKAT DAN SIFATNYA
Kebenaran itu ada, kepastian itu ada. Maka itu manusia
dimungkinkan untuk mencari kebenaran dan mencari kepastian. Melalui pengupasan
lebih lanjut, dari kepastian dasar tersebut dapatlah diangkat beberapa dasar
kepastian yang disebut sebagai primary truths, kebenaran-kebenaran primer yang
mengandung di dalamnya sifat pasti, tidak dapat diragukan secara
epistemologikal. Kepastian yang diperoleh manusia tidaklah hanya kepastian
dasar melalui, kebenaran yang dapat dicapai manusia bukanlah tersebut kepada
apa yang disebut sebagai primary truths semata-mata. Pengetahuan manusia tumbuh
berkembang, menjadi majemuk, baik mengenai cara mengetahuinya maupun mengenai
hal-hal yang diketahuinya, dan dari situ pun mansia menemukan kebenaran,
memperoleh kepastian. Bahwa kepastian (dalam hal ini sekali lagi yang kita
bahas adalah kepastian epistemologikal) itu ada, dan sudah terbukti.
Suatu kepastian epistemologikal terjadi apabila
seseorang berani menyatakan persetujuan cognitif-intelektualnya mengenai objek,
tanpa dengan adanya rasa khawatir sedikit pun akan yang sebaliknya. Kepastian
epistemologikal tentu harus dilihat di dalam konteks relasional antara subyek
yang mengetahui dan obyek yang diketahui. Walaupun kapastian itu mempunyai
dasar yang diangkat dari hubungan antara subyek dan obyek. Itulah namanya
kepastian, yang secara formal tentu saja dapat dikatakan sekali pasti selamanya
pasti. Membahas kepastian epistemologikal memang tidak begitu mudah, antara
lain karena apa yang disebut kepastian tersebut dilihat dari segi totalitas
obyeknya pasti menjadi relatif lagi. Sedangkan kepastian yang tidak memaksa
adalah bahwa sebetulnya subyek secara cognitif-intelektual tidak merasa harus
taat tunduk, akan tetapi ada faktor lain, faktor noncognitif, dan lazimnya
adalah faktor volitif atau afektif, yang memaksa manusia memberi pernyataan
intelektual-cognitif.
Sehubungan dengan itu maka sifat kepastian
epistimologikal lazim dibagi menjadi dua, yang pertama kepastian mutlak atau
istilahnya kepastian metaphisikal dan yang kedua kepastian yang tidak mutlak
yang istilahnya adalah kepastian hipotetikal. Dalam pembedaan ini yang
menentukan bukan faktor subyektif akan tetapi faktor obyektif, yaitu sifat
hakikat dari berbagai macam obyek pengetahuan yang dapat dikelompokkan ke dalam
tiga lingkup : 1. Lingkup metaphisik, 2. Lingkup phisik, 3. Lingkup manusiawi.
Di dalam lingkup metaphisik itu kepastian yang diperoleh adalah kepastian yang
sifatnya mutlak, artinya keraguan sama sekali tidak mungkin karena melawan
kepastian itu berarti “kontradiksi”. Dalam lingkup phisik dan lingkup
manusiawi, kepastian dapat terjadi, dan secara formal adalah tetap pula
kepastian, yaitu pernyataan cognitif intelektual mengenai obyek tanpa ada
kekhawatiran keliru karena sifat jelasnya obyek itu sendiri namun kepastian itu
adalah hipotesis, artinya sejauh kenyataan phisik ataupun kenyataan manusiawi
itu tidak menyimpang dari kodratnya kelazimannya.
Certitudo
metaphysica terjadi apabila kepastian tersebut didasarkan atas pengetahuan
yang tidak mungkin dilawan, ditolak. Kadar kepastiannya secara intelektual
mutlak. termasuk ke dalam kepastian mutlak ini adalah kepastian dasar dan dasar
kepastian (primary truths). Demikian mutlak sifatnya kepastian ini
sampai-sampai orang mengatakan bahwa Tuhan Yang Mahakuasa sendiri pun tidak
melawan kepastian ini, karena menyalahi atau menentang kepastian ini berarti
melakukan kotradiksi.
Certitudo physica
adalah kepastian pengetahuan yang didasarkan atas hukum kodrat phisik
alamiah sesuatu zat ataupun benda. Lingkup kepastian ini adalah di sekitar apa
yang disebut sebagai physica nature, yang dapat diketahui manusia melalui
proses deduksi ataupun proses induksi. Dasarnya adalah sifat konstan dari
kenyataan phisik alamiah tersebut. Kepastian ini dapat menyangkut pernyataan
tertentu saja.
Certitudo moralis
itu sebaliknya dapat diterjemahkan menjadi kepastian manusiawi, artinya
kepastian yang diperoleh berkenaan dengan pengetahuan kita mengenai manusia
yang mempunyai kehendak bebas (bai bebas dari maupun bebas untuk).
Maka pada dasarnya kepastian ini adalah kepastian yang
sifatnya hipotetikal. Walaupun sifatnya berbeda-beda, namun ketiganya adalah
tetap kepastian.
BAB IX
PENALARAN DAN
KEABSAHAN EPISTEMOLOGIKALNYA
Kepastian merupakan
sesuatu yang tidak bisa kita bantah dalam kehidupan ini dengan kita mengalami
secara langsung dan itu dijadikan sebagai suatu pengalaman. Begitu juga dengan
pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, pengetahuan merupakan sesuatu hal yang
pasti. Namun, terkadang manusia malah tidak berdaya dan bahkan tidak mempunyai
pangkalan yang kuat bagi kepastian pengetahuannya itu.
Perlu kita cermati bahwa
pengetahuan yang dimiliki manusia itu bersifat diskusif, evolutif, bahkan
menjadi multiplikatif, dan kompleks. Sedangkan kepastian dasar itu muncul dengan
apa yang dipikirkan langsung tanpa adanya mediasi terlebih dahulu. Padahal kita
tahu, bahwa pengetahuan itu muncul dan tumbuh dengan mediasi terlebih dahulu
dan terus tumbuh serta berkembang. Oleh karena itu pengetahuan dan penalaran
itu sangat erat hubungannya. Proses evolusi pengetahuan yang multiplikatif
tersebut muncul dari proses awal penalaran. Penalaran merupakan suatu proses
melalui mana manusia berdasarkan suatu pengetahuan sampai kepada pengetahuan
baru lebih lanjut. Ketika manusia melihat suatu kejadian, maka dengan refleks
yang dimiliki oleh manusia melakukan penalaran, dan dari penalaran tersebut
dijadikan sebagai pengetahuan baru yang ditemui.
Penalaran terbagi kepada
dua macam, pertama penalaran deduktif, dan
kedua penalaran induktif. Penalaran
deduktif memiliki arti yaitu suatu evolusi pemikiran dengan mana manusia
berdasarkan atas hal atau pengertian yang luas sampai kepada kesimpulan yang
sempit, dari yang general kepada pengertian baru yang sifatnya particular, dari
yang abstrak teoritikal kepada yang konkret empirikal. Sedangkan, penalaran
induktif adalah proses evolusi pengetahuan melalui mana manusia mengambil
kesimpulan yang sifatnya umum berdasarkan atas hal-hal yang sifatnya khusus,
dari particular kepada yang general, dari yang empirikal kepada yang
teoritikal.
Untuk mengkaji kedua
penalaran ini, dibutuhkan kajian mendalam yang hubungannya dengan epistemologi
mengenai kepastian dasar dan kebenaran. Bagaimana kita menyatukan dua hal tersebut
yakni penalaran dan kepastian dasar. Pertama penalaran deduktif merupakan
penalaran yang berjalan melalui proses silogisme. Dan ketika kita kaji lebih
dalam mengenai hal ini yang menunjuk kepada kepastian dasar. Ada dua unsur yang
mencerminkan kepastian dasar, yang pertama adalah sebab akibat dan yang kedua
adalah asas identitas. Silogisme sebab akibat ini ditujukan dengan adanya
kesimpulan yang ditarik dapat dipandang sebagai akibat adanya interaksi kausal
antara dua pemirsa. Silogisme hanyalah merupakan penerapan dari asas-asas yang
tergolong kepada kelompok kepastian dasar, maka dengan sendirinya jaminan silogisme
itu tidaklah sepenuhnya sama dengan jaminan yang ada pada kepastian dasar. Dan
tentunya ada syarat-syarat yang harus dipenuhi baik itu yang sifatnya
substansial atau pun struktural. Dari sinilah betapa pentingnya logika mempunyai peranan penting di
dalam evolusinya pengetahuan. Logika merupakan jalan yang harus di tempuh jika
kita ingin mengembangkan penalaran deduktif ini.
Sementara penalaran
induktif merupakan penalaran yang prosesnya bergerak dari hal-hal yang
particular menuju kepada kesimpulan yang sifatnya general. Proses ke arah
kesimpulan yang general memang mempunyai landasan yang sifatnya
permanen dan menggabungkan. Kalau elemen seperti itu tidak ada maka penalaran
induktif tidak lain daripada proses pengumpulan hal-hal partikular yang satu
dengan yang lain tidak mempunyai titik landasan konstan yang menggabungkan,
mempertemukan.
Maka dari itu, landasan
dari penalaran induktif adalah adanya kodrat (natural) yang sifatnya konstan
dan stabil. Jadi ketika seorang pemikir tidak bisa memahami mengenai adanya
kodrat sebagai sifat dasar yang stabil dan konstan itu akan selalu menemui
kesukaran dalam menghadapi problem epistemology berkenaan dengan penalaran
induktif ini. Penalaran induktif juga bersifat kondisional, maka dari itulah
penalaran induktif ini harus disertai dengan usaha pengamatan (observasi)
terhadap faktor-faktor konstan mengadakan pengkajian atas sebab-sebab dari
faktor-faktor tersebut sebagai
syarat-syarat yang harus dipenuhi dan tidak lain tidak bukan adalah apa yang
dinamakan dengan penelitian ilmiah
empirikal atas data-data.
BAB X
KESAKSIAN SEBAGAI
SUMBER PENGETAHUAN, PERCAYA SEBAGAI TINDAKAN INTELEKTUAL
Pada bab sebelumnya kita telah membahas bagaimana pengetahuan
muncul dari penalaran, tetapi ternyata pengetahuan juga tidak hanya muncul
melalui penalaran saja tetapi juga adanya kesaksian yang kita percayai.
Terutama sekali ketika kejadian itu terjadi pada masa lampau, maka dibutuhkan
referensi, dokumentasi dan informasi.
Namun, pada
dasarnya hal itu memunculkan masalah yang penting dan amat relevan. Masalah
pertama, kepercayaan. Masalah kedua yaitu yang berkaitan dengan eksistensi dan
keabsahan dari ilmu sejarah. Sejarah sebagai pengetahuan ilmiah mengenai masa
lampau merupakan suatu pengetahuan yang membuat kesimpulan-kesimpulan
berdasarkan atas sumber-sumber yang secara temporer tidak bersifat langsung.
Ilmu sejarah membuat kesimpulan-kesimpulan berdasarkan atas adanya saksi-saksi
masa lampau. Ketiga, masalah epistemological mengenai kesaksian dan kepercayaan
itu tentu saja mempunyai implikasi misalnya terhadap penghayatan KeTuhanan yang
maha esa. Keempat, masalah kepercayaan dan kesaksian ini tentu saja memiliki
kaitannya pula dengan tata hukum, terutama dengan kesaksian, dan saksi itu
tidak jarang menjadi jaminan dan bukti yang diberi kekuatan hukum.
Secara
epistemological saksi merupakan orang yang mengetahui secara langsung, dan
kemudian menyampaikan yang diketahuinya tersebut. Saksi ada yang langsung yaitu
mengetahui sesuatu itu sendiri, ada juga yang tidak langsung yaitu mengetahui
sesuatu karena ada orang lain yang mengetahui. Serta kesaksian itu ada yang
berupa kesaksian manusiawi ada juga kesaksian Tuhan melalui kitab yang di bawa
utusannya, terutama sekali bagi kita yang menganut agama samawi. Dari kesemua
itu ada hal yang amat penting dari masalah kesaksian ini yaitu masalah
kepercayaan, apakah saksi itu bisa dipercaya atau tidak, baik saksi yang berupa
barang atau juga saksi yang berupa manusia. Dan untuk mengetahui apakah saksi
itu bisa dipercaya atau tidak, yaitu pengetahuan, artinya bahwa saksi itu
memang mempunyai kemungkinan untuk mengetahui hal yang dikemukakan, yang
selanjutnya adalah kejujuran dari saksi itu. Dan jika kedua syarat itu terpenuhi
maka kesaksian itu memang dapat dipandang sebagai sumber pengetahuan yang
memiliki keabsahan epitemologikalnya. Kesaksian dapat dijadikan sebagai sumber
pengetahuan, Manusia mengembangkan pengetahuan tidak hanya dari penalarannya
saja yang memang dibuatnya sendiri tetapi juga dalam hubungannya dengan manusia
lain, bahkan dalam waktu yang berlainan.
Maka dari
itulah kebenaran dari kesaksian itu menjadi sangat penting atas perkembangan
ilmu sejarah. Ilmu sejarah tentu saja merupakan ilmu yang memberikan kebenaran
yang sifatnya kondisional. Terkadang kita sering melihat penulisan-penulisan
sejarah sering diselinapi oleh unsur-unsur yang terlalu subyektif. Bahkan tidak
jarang ilmu sejarah dipergunakan untuk mencapai tujuan pragmatik, seperti
kepentingan politik, ekonomi, ideologi yang kerap memalsukan sejarah.
BAB XI
SKEPTISISME
Skeptisisme atau dalam
bahasa Yunaninya Skeptomai yang
memiliki arti memperhatikan dengan cermat. Dalam konteksnya dengan filsafat
ilmu, skeptisisme merupakan satu-satunya aliran yang tidak mengakui adanya
kepastian dan kebenaran itu. Para skeptisi mulanya adalah orang-orang yang
mengamati segala sesuatu dan
menelitinya. Skeptisisme merupakan sistem pemikiran yang mengajarkan sebagai
sikap ragu-ragu sebagai sikap dasar yang fundamental dan universal. Ketika kita
meneliti sesuatu, kita jangan percaya langsung pada satu kondisi, kita harus
melihat sisi-sisi lain yang berhubungan dengan kejadian tersebut.
Skeptisisme sudah ada
sejak zaman kuno. Sextus Empiricus misalnya, dia pernah berkata “Tak seorang
pun kiranya akan meragukan bahwa sesuatu itu adalah seperti ini atau pun
seperti itu, akan tetapi masalahnya yang mendasar adalah apakah sesuatu itu
memang sungguh-sungguh seperti itu atau pun seperti ini”. Dan seiring
berjalannya waktu, skeptisisme menjalar hingga zaman modern.
Ada banyak variasi dalam
aliran ini. Ada skeptisisme yang bersifat moderat yang hanya meragukan beberapa
kepastian kebenaran. Namun, ada juga yang sifatnya doktriner, universal, dan
spekulatif teoritikal, artinya mengajarkan doktrin sistematik di mana
dikemukakan secara mendasar dan universal bahwa manusia tidak mungkin menemukan
kepastian kebenaran. Ada skeptisisme obyektif yang menerima kepastian praktikal
saja dan menolak adanya kepastian intelektual mendasar. Maka dari itu, muncul
perbedaan antara skeptisisme sebagai doktrin dan sebagai praksis.
Aliran
skeptisisme sebagai doktrin yaitu sebagai suatu kesimpulan sistematik
berdasarkan atas proses intelektual, dalam bentuk apa pun ajaran itu
dikemukakan, selalu mengandung di dalamnya kontradiksi. Ada pula yang
mengemukakan doktrin skeptisisme ini sebagai sikap untuk tidak melibatkan diri
dalam activitas intellectual.
Yang mungkin perlu kita
perhatikan adalah mengapa skeptisisme itu dapat terjadi. Faktornya adalah
karena pengetahuan itu merupakan bagian dan fungsi dari hidup dan kehidupan
manusia yang sifatnya kompleks. Dari situlah muncul perbedaan-perbedaan
diantara manusia kemudian muncul keraguan. Rene Descartes mencoba mengembangkan
metode yang disebut Methodical Doubt atau
dubium methodium. Teori ini mencoba
menemukan kebenaran kepastian dari teori skeptisisme, meskipun terkadang sulit,
tetapi metode ini merupakan langkah awal dan pemacu proses intelektual. Intinya
kita perlu mengkaji suatu kejadian itu dengan teliti dan secara kritikal agar
tidak salah kaprah.
BAB XII
ANTI-INTELEKTUALISME
Perkembangan
awal aliran anti-intelektualisme ini memang sudah lama sekali, perkembangan ini
sudah ada sejak zaman Eropa Kuno. Misalnya saja Stoa dan Zeno yang mengajarkan
teori ini bahwa bukan intelek atau pikiran yang menjadi perhatian kita dan
menentukan segala sesuatunya, melainkan hidup dan kehidupan. Dia mengajarkan
mengenai ordo naturalis dan mengenai sikap yang tegar di dalam
putarannya hidup dan kehidupan. Sementara itu ada satu tokoh lagi yaitu
Epicurus yang mengajarkan bahwa untuk dapat melaksanakan hidup dan kehidupan
itu manusia harus mengikuti asas mencari yang enak dan mengenakan. Sebab untuk
mencapai kenikmatan itulah manusia justru harus dapat menemukan yang disebut
harmoni atau keselarasan.
Dalam perkembangannya
anti-intelektulisme juga terjadi dalam perkembangan Eropa modern atau yang
disebut dengan anti-intelektualisme kontemporer. Anti-intelektualisme
kontemporer diartikan sebagai gerakan yang menimbulkan aliran pemikiran yang
terjadi bila sebelum perang Dunia II atau pun sesudah itu. Gerakan ini
mengajukan suatu slogan pemikiran: bukan manusia untuk pengetahuan akan tetapi
pengetahuan untuk manusia. Berbagai aliran yang dapat diklasifikasikan ke dalam
gerakan ini adalah eksistensialisme, phenomenology, personalisme, philosophy of
life, Tokoh-tokohnya antara lain Kierkigard, Nietzche, Henry Bergson,
Heidegger, Karl Jaspers, Karl Barth, J.P Sartre, Gabriel Marcell, Albert Camus,
dan Marleau Ponti.
Bagi aliran ini,
kebenaran itu bukanlah proses intelektual, tidak dapat ditujukan kepada
konsep-konsep abstrak essensialistik. Kebenaran adalah hidup, kebenaran itu
terjadi dibuat dan dipilih bukan dipikirkan, kebenaran itu ditentukan oleh
pilihan, situasi dan kebenaran.
Memang kita boleh
menolak intelektualisme yang berlebihan, namun, kita tidak perlu menolak adanya
intelek dalam hidup manusia. Dan karena gerakan ini sikap dasarnya adalah
anti-sistem dan anti-determinisme, tampaknya memang sukar pula gerakan ini
dapat membangun dan mewujudkan masyarakat dan kebudayaan baru dengan sistem.
Bagi kita amanat dari semua itu adalah: membuat manusia dan kemauan menjadi
tema dasar di dalam perkembangan epistemology, supaya dengan demikian evolusi
pengetahuan akan tumbuh di dalam jalan kebudayaan.
BAB XIII
RELATIVISME
Relativisme merupakan aliran yang paling membaur dari
berbagai aliran sistem ilmu maupun filsafat. Relativisme berasal dari referre
(latin), yang berarti membawa, mengacu, menghubungkan. Berkembang menjadi relatio
atau ikatan atau relasi suatu hubungan.
Relativisme merupakan suatu aliran atau paham yang mengajarkan bahwa
kebenaran itu ada, tapi tidak bersifat mutlak.
Relativisme dibagi menjadi dua: (1) relativisme
universal yaitu relativisme yang mengajarkan bahwa semua saja dapat sama sama
benar. (2) Relativisme parsial yaitu aliran yang membuat kebenaran parsial
menjadi kebenaran total (memutlakkan sesuatu yang tidak mutlak). Relativisme
ini muncul setelah manusia kurang lapang untuk berhadapan dengan kenyataan yang
kompleks.
Pengetahuan adalah hal yang kompleks, hal yang
relasional. Pengetahuan adalah selalu relasi antara subyek dan obyek. Jadi dua
duanya penting dalam aliran ini.
Ada beberapa macam aliran yang dapat digolongkan ke
dalam aliran ini yaitu:
1. subyektivisme-empirik (Hume) yang mengatakan kebenaran itu ditentukan
oleh pengalaman pancaindra manusia masing-masing.
2. subyektivisme-intelektualistik yang juga disebut aliran rasionalisme
(Descartes) yang mengatakan rasio adalah Sauber dan sekaligus ukuran
pengetahuan yang benar. Wujud lain dari subyektivisme-intelektualistik ini
adalah aliran idealisme yang menganggap kebenaran itu terjadi di dalam dan
ditentukan oleh kesadaran intelektual subyektif.
3. subyektivisme-pragmatik yang juga disebut voluntarisme aliran
ini yang menyatakan bahwa kebenaran tidak bersumber pada intelek atau ratio
akan tetapi berdasarkan kehendak, kemauan.
Sejarah falsafah bangsa Eropa modern merupakan sejarah
konflik yang terus-menerus antara aliran-aliran filsafat yang cenderung
menyatakan kedaulatan mutlak terhadap kebenaran, menyatakan claim absolut
atas apa yang dinamakan kebenaran.
Aliran-aliran ini mempunyai kaitan dengan perkembangan pemikiran di bidang
kenegaraan, politik, hukum, dan keagamaan. Simpang-siur dan terpecah-pecahnya
aliran ini menyebabkan sementara orang menganggap bahwa kebenaran itu ada,
tetapi bersifat subyektif.
BAB XIV
PERIODE EROPA KUNO
A. ZAMAN PRA-SOCRATES
Aliran Ionia (Asia Minor). Tokohnya Thales,
Anaximander, Anaximenes, Herakletos. Thales mengatakan bahwa the first
principle adalah air. Anaximander mengatakan bahwa the first principle itu
sifatnya harus indefinite, infinite. Sementara Anaximenes mengatakan
bahwa the first principle adalah udara. Herakletos sendiri lazim dipandang
sebagai penganut aliran: no permanency menurutnya everything is
changing.
Aliran Pithagorean. Tokoh utamanya adalah Pythagoras
(sekitar 532 SM) perhatiannya besar terhadap matematika. Aliran ini dibagi
menjadi dua yaitu aliran Akusmatik (bersifat mistik) dan aliran Mathematici.
Aliran ini menganggap bahwa ukuran kepastian dan kebenaran itu adalah sistem
numerikal.
Aliran Elea mempunyai tokoh yaitu Xenophanes,
Parmenides, zen. Namun yang paling berpengaruh di bidang ontologi dan
epistemologi adalah Parmenides yang berkaitan dengan masalah: One and Many,
permanence and change, absolute and relative. Parmenides ini bertentangan
dengan Herakletos dia menganggap semua itu satu adanya, dan perubahan itu tidak
ada.
Aliran Phisiologis (Naturalis) tokohnya adalah
Empodocles, Anaxagoras dan Democritus. Prinsip dasar yang menggerakkan sesuatu
menurut Empodocles adalah love and hatred. Anaxagoras berbicara tentang
“nous” yang berarti budi. Yang menjelaskan sifat hakikat budi itu
sebagai ruang, sebab budi harus mampu memuat semua.
Para Sophis berasal dari kata Sophia yang
berarti wisdom (kebijaksanaan).
Kelompok ini cenderung mempermasalahkan segala sesuatu secara mendasar,
dan menolak pendekatan apriori deduktif. Tokoh-tokohnya adalah Protagoras,
Gorgias, Prodicus. Protagoras dipandang sebagai tokoh relativisme awal. Menurut
Plato, Protagoras mengajarkan sesuatu di mana manusia bisa menentukan sesuka
hatinya mengenai benar dan salah.
B. ZAMAN SOCRATES-PLATO-ARISTOTELES
Socrates (470-399 SM) menghadapi masalah besar akibat
gerakan para Sophian, yaitu masalah kepastian. Socrates mengajarkan bahwa
kepastian dan kebenaran itu dapat dicari dan ditemukan dengan dialektika yaitu
dengan mempermasalahkan terus menerus sampai akhirnya menemukan kepastian
tersebut.
Plato (428-347 SM) lahir di Athena dari keluarga
terpandang yang menjadi pendiri sekolah yang disebut dengan “Akademi”, yaitu
suatu diskusi di serambi rumah. Karyanya meliputi Dialog-dialog Socrates dan Symposium.
Menurut Plato ini pengetahuan tidak sama dengan perasaan semata-mata. Plato
disebut sebagai aliran Idealis, sebab berpangkal dari suatu Ida yang masih
harus dibuktikan kenyataannya.
Aristoteles (384-322 SM) lahir di stagira, anak
seorang tabib kerajaan dan menjadi murid Plato pada akademi. Dan mendirikan
sekolah sendiri yang disebut Peripatatici. Dia merupakan seorang realis.
Karya-karyanya banyak diantaranya: Politics, Physics, The History of
Animals, De Anima, Methaphysics. Sebagai seorang realis dia mendasarkan
pemikirannya berdasarkan pengalaman
untuk memberikan uraian mendasar. Ajarannya yang mendasar mengenai
pengetahuan (epistemologi) mempunyai corak realis, pengetahuan sebagai hubungan
relasional antara subyek dan obyek.
C. ZAMAN SESUDAH SOCRATES
Zaman ini disebut juga sebagai period of decline. Dalam
zaman ini terjadi peristiwa penting yaitu masuknya pengaruh Judaisme dan agama
Nasrani ke Eropa, yang membawa masukan pengaruh alam pikiran semiotik ke Eropa.
Ada beberapa aliran dalam zaman ini yaitu stoicisme, Epikurisme, skeptisisme,
elektisisme, Neo pythagorean, dan Neo platonisme.
1.
Stoicisme tokohnya adalah
Zeno, Chrysipus dan Cleanthes. Aliran ini bersifat anti-intelektualistik. Pusat
perhatiannya adalah mengenai kodrat, hidup dan kehidupan.
2.
Epikurisme tokohnya adalah
Epicurus. Fokus dari aliran ini adalah menemukan kenikmatan hidup.
Epistemologinya bercorak sensasionalistik yaitu menganggap kebenaran itu
ditentukan oleh rasa enak ataupun tidak enak.
3.
Skeptisisme ini merupakan
aliran yang muncul karena banyak aliran yang saling berbenturan satu dengan
yang lain. Tokohnya adalah Pyrrho, Arcesilaus, Carneades.
4.
Eklektisisme yang bersifat
mencampur campurkan begitu saja ajaran-ajaran yang sudah ada.
5.
Neo Pythagorean aliran yang
menekankan soal Tuhan. Merupakan gejala pertemuan antara Hellenisme dan
Semitisme.
6.
Neo Platonisme aliran ini
juga merupakan pertemuan antara Hellenisme dan Semitisme. Fokus pada Tuhan,
Jiwa, Manusia, Dunia. Tokoh-tokohnya antara lain Plotinus dan Philo.
BAB XV
ZAMAN PERTENGAHAN EROPA
A. PEMBAGIAN
Pembagian sejarah epistemologi pada zaman pertengahan
ini adalah:
1.
Zaman Patristik (Abad I-IV
M)
2.
Zaman Skolastik (Abad
IV-XIII M)
3.
Zaman Aquinas (Abad XIII M)
4.
Zaman sesudah Thomas
Aquinas (Sampai Abad XVI)
Zaman ini merupakan interaksi antara Hellenisme dan Semitisme.
Kebangkitan Hellenisme ini memacu timbulnya Zaman Modern sebagai dari Zaman
Pertengahan Eropa.
Zaman Patristik (Patristik dari kata Patres
yang artinya para bapa yang diartikan sebagai perintis gereja di Eropa).
Problem utama dari zaman ini adalah mengenai adanya Tuhan Yang Esa, Trinitas,
Allah yang menjadi manusia, hubungan antara Tuhan dan Manusia, Dosa, yang
semuanya meliputi masalah epistemologi, ontologi, maupun moral. Perintis
ternama dari zaman ini adalah Gregorius, Basilius, Tertulianus, Origenes. Di
dalam proses ini muncullah theologi.
Zaman Skolastik diawali munculnya tokoh Agustinus yang
merupakan pemikir yang gigih membela gereja. Dia merasa tertantang oleh
masyarakat dan kebudayaan Yunani-Romawi, karena menurut mereka salah satu
penyebab jatuhnya kerajaan Romawi itu adalah akibat adanya agama Nasrani. Zaman
skolastik mulai tumbuh apa yang dinamakan sekolah-sekolah yang didirikan oleh
raja.
Thomas Aquinas merupakan tokoh besar di zaman
pertengahan Eropa. Dia berusaha membangun suatu perpaduan bernapaskan realisme
antara nalar dan iman, kodrat dan adikodrati, falsafah dan teologi.
Epistemologi Thomas Aquinas pada dasarnya merupakan uraian lebih lanjut dari
Epistemologi Aristoteles, yang titik-tolaknya adalah menerima pengetahuan
intelektual.
Zaman sesudah Thomas Aquinas ini banyak terjadi krisis,
di antaranya pertentangan yang terus menerus yaitu antara gereja dan negara,
perubahan kondisi sosial dan ekonomi dan masih banyak lagi. Tokoh-tokoh zaman
ini antara lain Da Vittoria dan Suarez yang kebanyakan berbicara tentang
politik dan hukum.
BAB XVI
ZAMAN MODERN EROPA
A. ZAMAN MODERN AWAL
Nicolaus dari Cussa (1401 M-1446). Dia adalah seorang
kardinal (Pejabat tinggi gereja). Seorang matematikus dan ahli ilmu ukur. Usahanya
adalah menumbuhkan koordinasi dan mencari titik temu dari aliran-aliran yang
berkonflik.
Nicolao Bernando Machiavelli (1469-1527 M). Dia
merupakan bapak ilmu politik atau ilmu negara modern. Selain itu dia juga yang
berusaha menerapkan ilmu modern terhadap soal-soal sosial-politik.
Gallileo-Gallilei (1564-1642 M). Dia merupakan seorang
profesor di Pisa dan Padua sekaligus serang Matematikus. Ia adalah peletak
dasar-dasar fisika modern. Dia menerima pendapat dari Copernicus yang
menyatakan bumi mengitari matahari. Hal ini yang menyebabkan terjadinya
persengketaan antara Gallilei dengan Paus (Gereja).
Rene Descartes (1559-1650 M) dia mengembangkan metode
yang dikenal sebagai dubium methodicum (methodical doubt) yaitu
mencari kepastian dengan jalan meragukan segalah hal sesuatu terlebih dahulu
yang mirip dengan jalan dialektika yang ditempuh Socrates. Descartes adalah
orang yang religius hal ini dibuktikan dengan usahanya untuk membuktikan adanya
Tuhan.
Benedict Spinoza (1632-1667 M) ia menolak adanya
plurality of substances. Ia adalah perintis aliran monisme (Everything is One).
Ia mengatakan bahwa yang ada itu sesungguhnya adalah pengetahuan yang satu
sebagai satu sistem integral. Karya-karyanya adalah Tractatus Theologico
Politis, Ethica, De Intellectu Emendationa.
Francis Bacon, (1561-1626 M). Ia adalah penentang
aliran skolatissisme dan juga menentang Aristoteles. Ia menganjurkan pendekatan
induktif untuk menemukan kebenaran. Menurut Bacon dengan nalar manusia memahami
alam, dengan ilmu menaklukkan alam, dengan sastra membentuk invaginasi mengenai
alam untuk mengatasi atau menghindar dari alam itu.
Gottfried Wilheim Leibniz (1646-1716), ia adalah
seorang juris, matematikus, diplomat, historian, filsuf dan teolog. Ia adalah penemu kalkulus. Ia juga adalah
pengembang monadologi: segala sesuatu di dalam semesta ini adalah pertumbuhan
dari berbagai Monad. Monad ini yang menentukan segala-galanya, dan seluruhnya
itu pun tergantung dari Tuhan. Selain itu dia juga mengajarkan tentang
pare-established harmony, antara segala sesuatu di dalam semesta.
Thomas Hobbes (1588-1676 M) dan John Locke (1632-1714
M) mereka adalah serang empiricist Hobbes banyak berbicara tentang kedaulatan (sovereignty)
dan juga cenderung mempertahankan kekuasaan politik absolut. Sementara John
Locke merupakan seorang teolog dan juga sebagai pembela dari freedom of
thought dan freedom of speech.
Newton (1642-1727 M), merupakan ilmuwan besar.
Teori-teorinya mengenai gerak, sinar, dan sebagainya adalah amat besar
pengaruhnya.
Di zaman modern awal ini filsafat dan ilmu mempunyai
kedudukan sejajar dengan teolog. Rasionalisme dan empirisme merupakan dua
aliran dominan yang mewarnai awal zaman modern. Natural Sciences berkembang
pesat.
B. ZAMAN MODERN PERTENGAHAN
Ditandai dengan lahirnya gerakan Aufklarung serta
munculnya pemikir-pemikir besar seperti Immanuel Kant, Hegel, Schopenhauer.
Zaman ini dikenal dengan zaman Aufklarung, gerakan
pencerahan, dalam bahasa Inggrisnya The Enlightenment. Tokohnya antara
lain Diderot, D’Alembert, Voltaire, J.J. Rousseau, Lessing Reimarius dan lain
sebagainya. Gerakan ini merupakan pemacu utama dari seluruh evolusi progresif
dari zaman Modern hingga saat ini, memacu kehausan akan serba pembaruan.
Diderot (1713-1784 M) merupakan anggota dari apa yang
dikenal sebagai kelompok ensiklopedi di Prancis. Seorang filsuf, sastrawan dia
juga merupakan editor dari ensiklopedi selain itu ia juga dipandang sebagai
perintis dari aliran Positivisme.
D’Alembert (1717-1781 M). Pernah belajar di hukum,
kedokteran dan matematika. Bersama dengan Diderot dia juga bekerja untuk
ensiklopedi. Dia juga merupakan perintis dari aliran Positivisme. Ia
beranggapan bahwa etika bukanlah masalah intelektual akan tetapi adalah masalah
hati.
Voltaire (1694-1778 M) ia menekankan perlunya
pendekatan ilmiah. Tulisan-tulisannya mengandung napas Humanistik. Ia sendiri
merasa sebagai orang yang percaya kepada Tuhan walaupun banyak orang
menganggapnya sebagai atheis. Voltaire menolak segala argumentasi dan
pertimbangan yang dasarnya adalah wahyu (samawi). Di akhiri hidupnya Voltaire
menunjukkan sikap yang amat memusuhi gereja dan agama.
J.J Roussseau (1712-1778 M) pengaruhnya sangat besar
terhadap perkembangan politik dan kebudayaan Eropa. Pikirannya terfokus pada
soal kebahagiaan kemerdekaan. Seperti kebanyakan tokoh lainnya Rousseau juga
berbicara mengenai Tuhan dan agama.
Idealisme dan Usaha Membangun Sistem Semesta.
Immanuel Kant (1724-1804), ia tertarik pada
filsafatnya Leibniz dan Wolf. Ia juga mempelajari fisika dari Newton dan
mempunyai perhatian terhadap psikologinya Locke. Selain itu dia juga merupakan
seorang kristen yang saleh. Ia merupakan scientist, filsuf, dan teolog.
Dia juga dipandang sebagai pemula aliran phenomenisme. Menurut Kant filsafat
adalah kegiatan intelektual, dan karena itu hanyalah kegiatan phenomenal, tidak
mempunyai hubungan dan dasar sama sekali terhadap pengalaman, terhadap
kenyataan.
Fichte (1762-1814 M). Menurutnya pengetahuan itu
merupakan evolusi dari kesadaran ini, bahwa pengetahuan baginya suatu gerak dan
juga suatu aksi. Dia menekankan bahwa seorang individu harus menyadari hak-hak
individual dari orang lain. Dia membagi
sejarah Eropa dalam beberapa fase evolusi yaitu tahap unreflective, otorita,
anarki, pencerahan, dan masyarakat yang manusiawi.
Schelling (1775-1854 M). Menurutnya segala sesuatu itu
pada hakikatnya satu. Subyek dan obyek, intelek dan benda, natur dan spirit,
maupun kemerdekaan dan keterpaksaan. Dia melihat sejarah manusia adalah suatu
drama di mana manusia menjadi aktor dan juga auctor nya. Dia mengatakan apa
yang disebut pure reason itu tidak mempunyai batasan waktu, batasan
tempat ataupun batasan arti.
Hegel (1770-1831 M), tema-tema yang dikembangkannya
adalah geist (jiwa, atma, Budi) dialektika, sejarah. Menurutnya sejarah
ini sebagai bagaikan dari evolusinya Sang Maha Semesta (Absolut), dan Sang Maha
Semesta ini adalah Geist.
Schopenhauer (1788-1860 M), menurutnya dunia merupakan
evolusi dari kesadaran yang terkandung hubungan antara subyek dan obyek.
Kehendak itu tidak diatasi dengan membuat intelligible. Dia dipandang
sebagai penganut dari determinisme.
Positivisme
Tokohnya adalah Saint Simon (1760-1825 M) dan Auguste
Comte (1798-1857). Saint Simon merupakan perintis gerakan sosialisme di
Prancis, dan orang pertama yang mengungkapkan konsep positivisme. Menurutnya
ilmu adalah sumber kepastian tertinggi. Sementara Comte adalah bapak sosiologi
modern. Menurutnya ilmu adalah berkenaan dengan sains seperti fisika, kimia,
astronomi fisiologi dan biologi.
Dari
positivisme ini maka kemudian muncul aliran-aliran yang lain diantaranya
evolusionisme dengan tokohnya Herbert Spencer, Psikologi dan Psikologisme yang
merupakan satu-satunya ilmu yang dapat memberikan hukum secara pasti mengenai
masyarakat, manusia dan kebudayaan, sosiologi dan sosiologisme yang menganggap
bahwa kebenaran itu tergantung kondisi sosiologikalnya. Determinisme ekonomi
yang menganut seleksi alamiah seperti hukum rimba “survival of the fittest”.
Karl Marx (1818-1883 M) adalah seorang pergerakan yang
mencita-citakan gabungan antara sosialisme Prancis dan ekonomi Inggris dan
filsafat Jerman. Marx mempunyai beberapa ciri khusus yaitu:
1.
Ilmu baginya tidak untuk
mengetahui tetapi untuk mengubah dunia;
2.
Perkembangan mengenai
ideologi modern dengan mempertajam arti dari ideologi;
3.
Mempunyai pengaruh yang
besar terhadap perkembangan pragmatis ekonomi dalam pengetahuan.
John Stuart Mill (1806-1873 M) dia adalah pengikut
ajaran dari Simon dan Comte. Merupakan filsuf dan ahli ekonomi. Perhatiannya
terhadap sejarah dan masalah perubahan sosial. Ia mencoba menerangkan realitas
di luar manusia dengan psikologi. Selain itu dia juga menerangkan tentang etika
dan problem sosial.
Dalam perkembangan epistemologi modern maka muncul
problem-problem mengenai metode ini. Dalam perkembangan ilmu alam mengatakan
hanya ilmu alam yang mempunyai kepastian sementara ilmu sosial tidak mempunyai
kepastian ilmiah. Hal ini yang menyebabkan ilmu sosial pecah menjadi dua
aliran. Di satu sisi menganggap metode ilmu alam bisa digunakan di ilmu sosial
tapi di sisi yang lain menganggap ilmu alam tidak bisa digunakan di dalam ilmu
sosial.
Zaman ini juga berkembang mengenai ideologi. Ilmu ini
tumbuh karena berkenaan dengan manusia, dunia, masyarakat, moral, politik, dan
hukum. Ideologi pada saat itu merupakan bagian dari struktur masyarakat yang
diwarnai oleh pertentangan kelas. Menurut Marx ideologi ini merupakan teori
yang diciptakan dan dikembangkan oleh para pemegang kekuasaan untuk mempertahankan
status quo. Dalam perkembangannya ideologi berubah menjadi dua ideologi
keagamaan dan ideologi non keagamaan.
Berkembangnya ilmu pengetahuan mendorong berkembangnya
teknologi pula. Karena dalam setiap ilmu ada beberapa bagian yang memerlukan
ilmu ukur. Di antaranya astronomi, kimia, fisika, dsb. Perkembangan ilmu
pengetahuan ini yang mendukung terjadinya perkembangan teknologi modern.
C. PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN ABAD XX
Sebelum Perang Dunia II ini pemikiran-pemikiran masih
dipengaruhi oleh positivisme dan perkembangan dari evolusionisme. Sementara
pengaruh dari Aufklarung juga masih terasa. Teologi pada zaman ini juga
mengalami perkembangan. Ada beberapa aliran teologi yang muncul. Ada teologi
yang dipengaruhi olah aliran rasionalisme, ada teologi yang dipengaruhi oleh
aliran idealisme ada pula yang dipengaruhi oleh positivisme itu sendiri.
Sehingga teologi dipandang merupakan pemikiran yang dikembangkan oleh manusia (bukan
wahyu), sehingga hal ini yang memunculkan atheisme modern. Selain aliran-aliran
tersebut historisme muncul pada zaman ini. Menurut aliran ini ilmu sejarah
dipandang adalah penentu dari hukum segala-galanya.
Selain itu teknologi menjadi hal pengetahuan. Pada
perkembangan ini teknologi menjadi terkait dengan industrialisasi, akan tetapi
makin terpadu dengan perkembangan ilmu. Selain itu ekonomi menjadi elemen yang
penting di dalam persaingan politik. Kemudian pertumbuhannya juga didukung oleh
teknologi tersebut. Zaman ini telah menjadi zaman yang amat kaya dengan
pemikiran maupun penemuan-penemuan. Namun hal ini juga merupakan zaman yang
ruwet karena ilmu pengetahuan semakin tumbuh menjadi majemuk.
Sesudah perang dunia II kesadaran manusia mulai
tumbuh, yaitu bahwa manusia mempunyai dua potensi yaitu membangun serta merusak
dunia. Suasana epistemologi pada masa ini diwarnai oleh kesadaran dalam diri
manusia tersebut, mengenai manusia itu sendiri yang sebagai pusat sejarah
dengan segala optimisme dan pesimismenya.
Karena pengetahuan selalu berusaha untuk menemukan
kepastian-kepastian secara deterministik, maka sebagai reaksinya manusia
mencoba untuk lepas dari hal itu. mereka mulai berpikiran kebenaran, kepastian
bukanlah problem intelektual semata, akan tetapi problem hidup manusia, problem
pilihan, problem eksistensi.
Di masa ini muncul beberapa aliran-aliran lain di antaranya:
1.
Penomologi yang dirintis
oleh Husserl yang menjadi jembatan antara alam pikiran lama dengan alam pikiran
baru. Aliran ini membicarakan tentang refleksi intelektual, intensionalitas dan
pengetahuan di dalam pengalaman manusia.
2.
Eksistensialisme yang
merupakan gerakan alam pikiran yang dipelopori oleh Kierkegard. Aliran ini
bersifat anti-intelektualisme, anti-determinisme, dan menempatkan segala
sesuatu merupakan proses dari hidup dan kehidupan manusia. Tokoh-tokohnya
antara lain Heidegger, Karl Jaspers, Gabriel Marcel, J.P Sartre.
3.
Personalisme gerakan ini
menitik beratkan pengertian manusia sebagai “persona”, sebagai pribadi. Aliran
ini makin memperjelas kedudukan pengetahuan dan hubungannya dengan manusia.
4.
Philosophy of Life
tokohnya adalah Henri Bergson dan Eduard Le Roy. Bagi gerakan ini pengetahuan
bukanlah hal yang harus dibuang namun reintegrasi dengan inti hidup dan
kehidupan tersebut dengan seluruh proses evolusinya yang masih terus menerus.
5.
Antropologi Kefilsafatan
pengembang dari gerakan ini adalah Martin Buber. Di Indonesia ada Prof. Dr. N.
Driyarkara dan Ki Hadjar Dewantara.
6.
Aliran Analisa Bahasa yang
merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran positivisme. Kepastian menurut
aliran ini tergantung pada kebahasaan.
7.
Neo positivisme yang
menekankan empirisisme serta menentang pemikiran-pemikiran yang bersifat non
empirikal. Berusaha mendalai hakikat dari ilmu ilmiah. Tokoh aliran ini adalah
para anggota kelompok Wina.
8.
Filsafat Ilmu yang
menganggap dirinya merupakan terdiri dari berbagai aliran pemikiran sehingga
aliran ini dipandang sebagai meta ilmu.
Selain aliran di atas ideologi juga berkembang pesat.
Masa itu ada konflik bipolar yaitu antar blok timur (Soviet Rusia) dan blok
barat (Amerika Serikat). Konflik ini merupakan konflik ideologi yaitu komunis
dan kapitalis. Sementara itu di samping ideologi ilmu pengetahuan juga
berkembang pesat baik ilmu pengetahuan alam maupun sosial.
Pada zaman itu pula muncul gerakan New Left
yang bersifat radikal yang menginginkan perubahan yang tampaknya tidak banyak
didasari oleh refleksi teoretikal. Inti dari gerakan ini adalah anti-establishment.
Selain gerakan ini ada juga gerakan Neo-Marxisme yang mengkritik terhadap
komunisme dan kapitalisme dan berbagai bentuk sosialisme yang sudah
mengorganisasi.
Ada beberapa bidang keilmuan yang mengalami
perkembangan. Pertama adalah ilmu pengetahuan saat itu diwarnai pula oleh
orientasinya kepada masa depan. Sehingga dalam ilmu pengetahuan berusaha dan
memikirkan bahkan membuat perencanaan untuk masa depan. Kedua keagamaan yang
tidak ditentukan sebagai organisasi dan ajaran, melainkan sebagai iman dan
penghayatan, sebagai kekuatan spiritual, bukan kekuatan fisik institusional.
Ketiga bidang ideologi yang dari bipolar menjadi multipolar.
Di periode ini telah lahir negara-negara muda yang kebanyakan menganut paham nasionalisme,
demokrasi, sosialisme. Namun dunia juga dilanda oleh berbagai krisis. Krisis ini
yang membuat ketimpangan di antara negara maju dan berkembang.
Secara singkat evolusi pengetahuan belum selesai hal
ini dikarenakan masing-masing jenis pengetahuan masih akan tumbuh menggurita.
Selain itu makin terkaitnya ilmu pengetahuan dengan teknologi. Sehingga hal ini
akan membedakan antara ilmu, filsafat, dan juga teologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar