PROBLEMATIKA
SITUS MAKAM RONGGOLAWE
DAN
KAITANNYA DENGAN MUATAN LOKAL AGAMA MATERI ISLAMISASI DI INDONESIA KELAS XI DI
KABUPATEN TUBAN
Proposal
Untuk
memenuhi matakuliah
Metodologi
dan Historiografi
Yang di
bina oleh Dr. Ari Sapto, M.Hum
Oleh
Dwi Lidiawati (130731615709)
![]() |
UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
JURUSAN
SEJARAH
Oktober
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Majapahit
adalah salah satu kerajaan Hindu Buddha terbesar di Nusantara. Kerajaan ini
berhasil menyatukan Nusantara di bawah kekuasaannya. Berkat sumpah Palapa yang
sangat terkenal dari patihnya yakni patih Majapahit. Kejayaan kerajaan
Majapahit tidak lepas dengan adanya perjuangan yang di lakukan oleh raja
pendiri kerajaan Majapahit yakni Raden Wijaya. Sebelum tegak berdirinya sebuah
kerajaan yang di beri nama kerajaan Majapahit. Raden Wijaya gigih dalam
bertarung melawan beberapa kerajaan yang berdiri pada masanya.
Salah satu
peperangan yang membuat berdiri kuatnya Majapahit adalah peperangan yang di
lakukan oleh Raden Wijaya bersama Lembu Sora, Ranggalawe, dan Wiraraja dalam
melawan kerajaan Daha. Menurut (Wirawangsa, 1979:88) menyatakan bahwa: Lembu
Sora, Ranggalawe, dan Wiraraja sangat besar andilnya dalam menggempur Daha.
Mereka bertiga tak bedanya benteng dan perisai bagi Raden Wijaya.
Ksatria-ksatria yang tahu akan tugas dan menjunjung tinggi prasetyannya demi
untuk negara junjungannya. Peranan tokoh Ranggalawe dalam Majapahit sangat
besar yakni membantu Raden Wijaya dalam mengibarkan kekuasaan Majapahit di bumi
Nusantara. Berkat jasanya Ranggalawe di angkat oleh Raden wijaya menjadi
adipati Tuban. Tuban telah menjadi daerah bawahan dari kerajaan Majapahit.
Pengangkatan
Ranggalawe menjadi seorang adipati di rasa kurang cukup bagi yang berjasa besar
dalam setiap peperangan-peperangan yang terjadi. Ranggalawe merasa pengangkatan
Nambi menjadi seorang patih tidak setara dengan apa yang dilakukan olehnya, Lembu
Sora, dan Wiraraja. Ranggalawe secara terang-terangan mengatakan bahwa ia tidak
setuju dengan pengangkatan Nambi menjadi seorang patih kerajaan Majapahit.
Perang antara pasukan Tuban dan pasukan Majapahit tak dapat di hindari. Perang
terjadi di Tambakberas (Wirawangsa, 1979:97). Peperangan tersebut menyebabkan
kematian Ranggalawe di tangan Kebo Anabrang. Dan Kebo Anabrang tewas terkena
kerisnya sendiri.
Jenazah adipati
Ranggalawe di angkat dari sungai. (Wirawangsa, 1979:88) setelah di sucikan
segera di tempatkan dalam keadaan Terhormat. Jenasahnya sudah di sucikan dan
disemayamkan di istana Majapahit. Kemudian terjdi Bela Pati yang dilakukan oleh
istri dalam kematian sang Suami. Ranggalawe hidup pada masa berkembangnya agama
Hindu. Pada kemajiannya juga di katakan bahwasanya Ranggalawe di semayamkan di
istana Majapahit. Kemudian pada masa selanjutnya makam yang berada jalan
Ranggalawe, kec Tuban, kabupaten Tuban Jawa Timur di yakini sebagai makam dari
jenazah adipati Ranggalawe bersama dengan beberapa adipati-adipati tuban
selanjutnya.
Agama dari
Ranggalawe adalah Hindu Buddha hal tersebut dapat di ketahui bahwasanya
Ranggalawe hidup pada masa berkembangnya agama Hindu dan Buddha. Dan di dalam
area makam terdapat ornamen yang berbentuk candi hindu yang diatasnya terdapat
stupa dari agama Buddha. Namun, dalam pemakamannya di lakukan identik dengan
pemakaman cara islam. Peneliti sangat tertarik dengan adanya situs makam
Ranggalawe yang dihubungkan antara adat pemakaman serta agama yang di miliki
oleh Ranggalawe sendiri. Sehingga peneliti mengangkat judul penelitian yakni “Problematika
Situs Makam Ranggalawe Dan Kaitannya Dengan Muatan Lokal Agama Materi
Islamisasi Di Indonesia Kelas XI Di Kabupaten Tuban”
Penelitian
terdahulu telah di lakukan oleh beberapa peneliti antara lain di lakukan oleh
Heri Agung Fitrianto dengan judul penelitian “Misteri Tentang Makam
Ranggalawe Di Tuban”. Menurut Heri Agung bahwasanya makam Ranggalawe
berbalut adat islam yang kental, namun nisan Ranggalawe sangat sederhana, jika
di hubungkan dengan kebesaran kedudukan seorang adipati Tuban.
B.
Masalah Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menentukan Rumusan Masalah yakni: problematika
situs makam Ronggolawe yang dihubungkan dengan agama dan adat pemakamannya? Dan
bagaimana kaitannya di dalam muatan lokal agama materi islamisasi di Indonesia
untuk kelas XI di Kabupaten Tuban?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah menganalisis problematika situs
makam Ronggolawe yang di kaitkan dengan agama dan adat pemakamannya. Dan
mengetahui kaitannya di dalam muatan lokal agama materi islamisasi di Indonesia
untuk kelas XI di Kabupaten Tuban
D.
Manfaat Penelitian
a.
Peneliti
1.
Dapat
memberikan wawasan baru mengenai situs makam Ranggalawe yang di kaitkan dengan
agama dan adat pemakamannya.
2.
Dapat
memberikan informasi mengenai kaitan penelitian situs makam Ranggalawe dengan
muatan lokal agama materi islamisasi di Indonesia untuk Kelas XI di Kabupaten
Tuban
b.
Untuk
Jurusan Sejarah
1.
Dapat
memperkaya referensi di jurusan sejarah dalam kaitannya sejarah situs Makam
Ranggalawe dalam materi Islamisasi
2.
Dapat
digunakan sebagai salah satu bahan kajian dalam matakuliah sejarah islam
3.
Bisa
memberikan stimulus atau rangsangan dalam penelitian antara agama dan adat
c.
Untuk
Pengembangan Ilmu
1.
Dapat
memperkaya wawasan dan mengembangkan pengetahui mengenai problematika situs
makam Ranggalawe
2.
Mengembangkan
pemahaman terhadap agama dan adat, baik agama islam maupun agama yang lainnya
E.
Ruang Lingkup
Untuk
memudahkan dalam penelitian ini, di fokuskan agar terarah dan berjalan dengan
baik, maka perlu di buat batasan masalah. Adapun ruang lingkup dalam penelitian
ini adalah:
1.
Peneliti
hanya mengidentifikasi agama yang di anut oleh adipati Ranggalawe
2.
Peneliti
hanya membahas situs makam Ranggalawe dan di kaitkan dengan struktur masyarakat
Tuban
3.
Peneliti
hanya mengaitkan situs makam Ranggalawe dengan muatan lokal agama materi
Islamisasi di Indonesia kelas XI di Kabupaten Tuban
F.
Kajian Pustaka
Ranggalawe
adalah salah satu tokoh yang berperan penting pada masa pembentukan kerajaan
Majapahit. Bersama dengan Lembu Sora, Wiraraja membantu Raden Wijaya dalam
menegakkan kekuasaan Majapahit. Ketika Raden Wijaya berhasil mendirikan
kerajaan Majapahit maka atas Jasanya Ranggalawe di angkat menjadi adipati
Wilwatikta, atau adipati Tuban. Pengangkatan Raden Haryo Ronggolawe sebagai
bupati Tuban pada 12 November 1293 (Adji, 2014:329). Dan peristiwa tersebut di
gunakan sebagai tanda hari jadi kota Tuban hingga saat ini.
Menurut buku Nusantara
Sejarah Indonesia bahwa unsur-unsur yang akan memberikan kepada Indonesia aspek
luar peradabannya pada abad-abad berikutnya, penetrasi islam dan Cina dan
Eropa, sudah ada ketika periode Hindu-Jawa mencapai puncak politiknya (Vlekke,
2008:75). Dapat diketahui bahwa pada masa Hindu-Jawa telah ada benih islam yang
akan menjadi besar di masa selanjutnya.
Majapahit
muncul menjadi sebuah kerajaan besar setelah mengalahkan kerajaan Daha dan
wijaya di nobatkan menjadi raja pada tahun 1293 M bertepatan dengan tahun saka
1215 (Poesponegoro, Marwati Djoened, 2010:453). Dari tahun di atas dapat di
ketahui bahwa Ranggalawe hidup di zaman berkembangnya agama Hindu dan Buddha di
Nusantara. Kemudian Ranggalawe meninggal pada tahun 1295 M. Dalam kronologi
peperangan di jelaskan beberapa sumber. Salah satunya oleh (Poesponegoro,
Marwati Djoened, 2010:455-456) menyatakan bahwa:
Ranggalawe yang menyatakan ketidak puasnya terhadap raja, mengapa
bukan dia sendiri atau Sora yang dijadikan pati di Majapahit tetapi Nambi,
padahal ia merasa lebih berjasa dan lebih gagah berani dan perwira daripada
Nambi. Oleh karena itu, iaia pulang ke Tuban ke Tuban dan menghimpun kekuatan.
Usaha Wiraraja, ayahnya, untuk menginsafkannya tidak berhasil. Muncullah
kemudian tokoh yang merupak biang keladi dari semua kerusuhan di Majapahit,
yaitu Mahapati. Dialah yang mengadu pada raja bahwa Lawe mau memberontak.
Pertempuran pun berkobarlah antara pasukan Ranggalawe melawan pasukan raja.
Peperangan ini terjadi pada tahun 1295 M. Dalam pertempuran itu Lawe gugur di
tangan Kebo Anabrang.
Sumber lain
yang mendukung tahun kematian adipati Ranggalawe adalah (Adji, 2014:169)
menyatakan bahwa:
Pengangkatan Nambi sebagai mahapatih
dan bukan Lembu Sora yang lebih berjasa pada Raden Wijaya itu kemudian
menimbulkan pemberontakan Ronggolawe atau perang saudara antara Tuban dengan
Majapahit yang berlangsung sengit di sungai Tambakberas tahun 1295 M. Perang
antara Tuban dan Majapahit berakhir dengan meninggalnya Ranggalawe di tangan
Kebo Anabrang.
Suasana keadaan
ketika Peperangan antara Wilwatikta (Tuban) dengan majapahit selayaknya perang
saudara. Menurut Bayuadhy terkait Ranggalawe adalah bahwasanya Adipati
Ranggalawe sigap, tanggap, dan penuh semangat mengumpulkan seluruh prajurit
Tuban (Bayuadhy, 2013:325).
Sepeninggal
Ranggalawe kedua istrinya yakni Mertaraga dan Tirtawati melakukan adat atau
ritual yang ritual itu menunjukkan bahwa Ranggalawe dan keluarganya beragama
non-islam yakni bela pati. Kedua putri segera memastikan diri untuk ikut bela
pati seiring dengan ajalnya sang suami (Wirawangsa, 1979:107).
Jenazah adipati
Ranggalawe di angkat dari sungai. Wirawangsa, 1979:88) setelah di sucikan
segera di tempatkan dalam keadaan Terhormat. Jenasahnya sudah di sucikan dan
disemayamkan di istana Majapahit. Kemudian terjdi Bela Pati yang dilakukan oleh
istri dalam kematian sang Suami. Bahwasanya pada kematiannya Ranggalawe di
semayamkan di Istana Majapahit. Dan kini di sebut berada di Tuban.
Dikaitkan
dengan munculnya agama Islam di Nusantara dapat di ketahui bahwasanya agama
islam berkembang dengan pesat di Nusantara di tandai dengan munculnya pusat
kerajaan yang bertumpu pada agama Islam. Perkembanan masyarakat muslim di
Malaka makin lama makin meluas dan akhirnya pada awal abad ke-15 M muncul suatu
pusat kerajaan Islam (Poesponegoro, Marwati Djoened, 2010:3). Berkembangnya
agama islam dapat di ketahui pada masa akhir kerajaan Majapahit, sedangkan masa
Ranggalawe adalah masa awal kerajaan Majapahit yakni abad ke-13.
Kedatangan
islam yang pertama ke Jawa tidak diketahui dengan pasti. Batu nisan Fatimah
binti Maimun di Leran (Gresik) yang berangkat tahun 475 H (1082 M) mungkin
menjadi bukti konret bagi kedatangan islam di Jawa, meskipun demikian, hal itu
belum berarti adanya islamisasi yang meluas di daerah Jawa Timur (Poesponegoro,
Marwati Djoened, 2010:4). Dapat diketahui pada abad ke-11 sudah ada orang islam
di Jawa, namun belum dapat di artikan adanya usaha islamisasi secara
menyeluruh.
Di depan
cungkup area situs pemakaman Ranggalawe terdapat tempat untuk menaruh dupa,
atau pembakaran lainnya yang berbentuk replika candi sinkrisme. Sinkritisme
antara Hindu dan Buddha. Masuknya Mahayana ke Jawa telah terjadi pada abad ke-9
(Wirjomartono, Skada, Sudradjat, Tjahyono, Widodo, Prijotomo, Prajudi, Siregar,
Murtiyoso, Saliya, 2009:184).
Menurut adat pemakaman pada umumnya bahwasanya
jenasah akan di upacarakan dan kemudian di simpan, bisa berupa penguburan biasa
di tanah, bisa juga di dalam rumah tempat si mati itu inggal ataupun di suatu
bangunan khusus (Wirjomartono, Skada, Sudradjat, Tjahyono, Widodo, Prijotomo,
Prajudi, Siregar, Murtiyoso, Saliya, 2009:267). Sedangkan menurut Islam di
lakukan dengan penguburan dan pemakaman. Problematika terkait pemakaman dari
orang-orang yang belum masuk islam juga terjadi pada raja-raja Gowa yang belum
memeluk agama islam yakni raja Gowa yang ke-14. Menurut (Wirjomartono, Skada,
Sudradjat, Tjahyono, Widodo, Prijotomo, Prajudi, Siregar, Murtiyoso, Saliya,
2009:271) bahwasanya pemakaman dengan penguburan juga di lakukan oleh I
Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data yang belum islam bangunan penutup itu
bahkan berupa kubah di atas dinding.
G.
Metode Penelitian
Menurut
syamsuddin yang dimaksud metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis
secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau (syamsuddin,1996:17). Penelitian ini merupakan penelitian sejarah, sehingga metode yang
digunakan adalah metode historis. Dengan menggunakan sumber-sumber sejarah
dalam menjelaskan penelitian yang berkaitan dengan islam di pesisir Tuban
(sunan bonang, syekh maulana asmorokondhi, mbah Bejagung). Dalam penelitian
historis terdapat lima tahapan yang harus dilakukan, yaitu:
a.
Heuristik
Heuristik merupakan pengumpulan data. Dari sumber-sumber sejarah
terdapat sumber yang dikatakan sebagai sumber primer, dan ada sumber sekunder.
Menurut Sjamsudin (1996:80) sumber primer adalah evidensi atau bukti yang
sejaraman dengan suatu peristiwa yang terjadi. Di dalam pengumpulan data sangat
di butuhkan adanya sumber dan fakta. Menurut Ali, M sumber sejarah merupakan
pengabdian kecil dari keseluruhan kejadian dan peristiwa yang betul-betul
pernah terjadi, sedangkan fakta-fakta adalah intisari dari sumber-sumber
sejarah (Ali, M. 2005:25). Menururut
Sjamsudin (1996:80) sumber primer adalah evidensi atau bukti yang yang sejaman
dengan sustu peristiwa yang terjadi. Sumber primer yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1.
Pustaka,
sumber primer yang digunakan oleh peneliti adalah buku berjudul “Serat
Ranggalawe’ karya R. Ranggawirawangsa. “Cerita Ranggalawe” serta karya
sejarawan Slamet Muljana berjudul “Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya”.
2.
Kidung
Panji Wijayakrama, Kidung Sorandaka, dan Prasasti Penanggungan. Dari ketiga
sumber itu tertulis dan di sebut nama Ranggalawe.
mSelain sumber primer, penelitian ini juga menggunakan sumber
sekunder. Sumber sekunder dalam penelitian ini berupa buku-buku penunjang.
Selain itu sumber sekunder juga berasal dari sumber lisan. Bagimanapun,
tetaplah benar bahwa menulis sejarah apapun dari sumber-sumber dokumen adalah
tugas yang hingga kini masih saja sulit dan memerlukan kecerdasan (Thomson, P,
2012:5). Dari pernyataan tersebut maka peneliti membutuhkan Sumber lisan ini
dapat di peroleh dari juru kunci situs makam Ranggalawe, bupati-bupati Tuban
sekarang yang selalu mengunjungi makam Ranggalawe di beberapa waktu, dari
masyarakat sekitar Tuban baik oral Tradisi maupun mitos yang dapat di gunakan
pembandin dalam penelitian.
b.
Kritik
Sumber yang telah di peroleh pada tahap heuristik di kritik supaya
menjadi data yang valid. Kritik yang dilakukan adalah kritik ekstern dan kritik
intern. Kritik
adalah menganalisi secara kritis sumber-sumber sejarah (Syamsuddin, 1996:20). Kritik ekstern berkaitan dengan otentitas atau keaslian sumber. Kritik
di lakukan baik dari sumber primer maupun sumber sekunder. Sumber primer yang
di kritik adalah sumber pustaka, kritik intern di lakukan dengan menggunakan
menganalisis buku pustaka baik isi, membandingkan dari sumber yang satu dengan
sumber yang lainnya. Kritik juga perlu di lakukan pada sumber sekunder.
c.
Interpretasi
Setelah sumber di kritik menjadi
sebuah data. Maka tahapan selanjutnya adalah interpretasi. Perjuangan Ranggalawe, Lembu Sora, dan
Wiraraja dalam memperjuangkan berdirinya kerajaan Majapahit yang didirikan oleh
Raden Wijaya. Ketika kerajaan Daha berhasil di kuasai pemerintahan Majapahit
berhasil berdiri dengan kekuatan-kekuatan yang luar biasa. Atas jasanya para
pahlawan Majapahit diberi kursi-kursi pemerintahan oleh Raden Wijaya. Ketidak
puasan Ronggolawe dalam pembagian ini membuat timbulnya suatu pemberontakan
dalam sumber pustaka serat Ranggalawe di sebutkan bahwasanya terjadi peperangan
antara Majapahit dan Tuban Peperangan ini terjadi pada tahun 1295 M. Dalam
pertempuran itu Lawe gugur di tangan Kebo Anabrang. Pada tahun 1295 M
Ranggalawe meninggal dan pada masa itu berkembang agama Hindu Buddha di Jawa
khususnya. Dapat di interpretasikan bahwasanya adipati Ranggalawe memiliki
agama Hindu, atau Buddha, atau sinkritisme Hindu Buddha.
Kedatangan islam yang pertama ke
Jawa tidak diketahui dengan pasti. Batu nisan Fatimah binti Maimun di Leran
(Gresik) yang berangkat tahun 475 H (1082 M) mungkin menjadi bukti konret bagi
kedatangan islam di Jawa, meskipun demikian, hal itu belum berarti adanya
islamisasi yang meluas di daerah Jawa Timur (Poesponegoro, Marwati Djoened,
2010:4). Belum bisa di pastikan bahwasanya adanya situs makam Ranggalawe sebagai
bukti bahwa Ranggalawe beragama Islam. Karena pada abad ke-11 tidak bisa di
pastikan bahwasanya telah terjadi islamisasi secara besar di pulau Jawa,
walaupun tempatnya di Jawa Timur juga. Peneliti menginterpretasi bahwasanya
situs makam Ranggalawe muncul bukan karena adipati Ranggalawe beragama Islam,
namun lebih kepada penerus atau rakyat Tuban pada masa selanjutnya yang
mengabadikan tokoh pahlawannya, dan di makamkan secara adat Islam. Karena adat
yang berkembang pada masa selanjutnya adalah agama Islam. Seperti kalanya makam
Sunan Bonang adanya cungkup di area makam adalah inisiatif masyarakat Tuban
untuk menghormati dan mensucikan jenazah Sunan Bonang.
Pada makam Ranggalawe di Tuban juga
di buatkan cungkup, dapat di interpretasikan bahwa masyarakat Tuban senang
menghormati jenazah para tokoh dan pahlawannya dengan cara semacam itu. Hal
demikian juga di temukan selain di Makam Sunan Bonang, makam Ronggolawe, juga
di makam Asmorokondhi, Makam Bejagung Lor, Makam Bejagung Kidul, Makam Syekh
Siti Jenar. Hampir ke semua makam itu memiliki cara yang sama yakni di cungkup,
nisan di tutup dengan kain putih, dan area cungkup makam di selimuti dengan
kain berwarna putih. Dari sekian Makam itu memang yang paling janggal adalah
makam Ranggalawe, karena Ranggalawe di ketahui sebagai seorang tokoh yang non
islam.
Interpretasi peneliti sangat kuat
bahwasanya memang adanya situs makam Ranggalawe di sebabkan oleh faktor
masyarakat Tuban itu sendiri dan geografi kota Tuban. Penelitian ini di
dasarkan pada penelitian struktural. Kota Tuban pada masa setelah masa
Majapahit menjadi kota pemukiman islam pesisir, yang di rasa kental dengan
nuansa islam. Akibat letak kota Tuban yang berada di pesisir laut Jawa
menyebabkan islam dengan mudah masuk dan berkembang, sehingga makam Ranggolawe
di bangun pada masa setelah budaya islam kental di kota Tuban. Karena dalam
sumber (Wirawangsa, 1979:88) bahwasanya Jenazah adipati Ranggalawe di angkat
dari sungai. setelah itu di sucikan, segera di tempatkan dalam keadaan
Terhormat. Jenasahnya sudah di sucikan dan disemayamkan di istana Majapahit.
Dalam Agama Hindu pembakaran jenazah
juga akan di ambil abu jasadnya. Interpretasi peneliti selanjutnya yakni
bahwasanya yang berada di makam Ranggalawe tersebut adalah abu suci dari
pembakaran jasad yang di lakukan melalui upacara sesuai agama Hindu Buddha.
Berdasarkan struktur masyarakat Tuban hal itu di gunakan untuk membuat kuburan
atau makam yang akan mengabadikan jasad Adipati Ranggalawe selakyanya
mengabadikan jasa yang di lakukan oleh Ranggalawe sebagai adipati Tuban.
d.
Historiografi
Tahap historiografi menuntut peneliti dalam merekonstruksi masa
lalu, dari tahapan-tahapan yang telah dilakukan. Setelah melakukan
tahapan-tahapan di atas, tahapan terakhir adalah tahap historiografi. Dari
pengumpulan data, di kritik, di interpretasi, dan di tuliskan secara kronologis
H.
Sistematika
Dalam penulisan penelitian ini, pada BAB I Pendahuluan akan
dijelaskan mengenai latar belakang masalah, masalah penelitian, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup, kajian pustaka, metode
penelitian, serta sistematika.
Selanjutnya pada BAB II menjelaskan tentang Masyarakat Tuban baik
melingkupi sejarah Singkat, kondisi Demografis dan Geografis, kondisi sosial,
ekonomi, dan budaya, dan kondisi politik dan pemerintah.
Pada BAB III membahas terkait kekurangan dari struktur antara lain:
hanya berupa generalisasi tidak bisa menyangkut bagian-bagian kecil dalam
masyarakat Tuban. Kurangnya bukti otentik dalam gambaran struktur yang jelas.
Pada BAB IV menjelaskan aktivitas untuk menutup kekurangan yakni
dengan mengkomparasikan antara makam Ranggalawe dengan makam yang lainnya.
Khususnya makam yang beragama non islam pula.
Pada BAB V yakni Penutup yang berisi mengenai kesimpulan dan saran.
Secara lebih rinci sistematika penulisan yang akan di gunakan
adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
B.
Masalah
Penelitian
C.
Tujuan
Penelitian
D.
Manfaat
Penelitian
E.
Ruang
Lingkup
F.
Kajian
Pustaka
G.
Metode
Penelitian
H.
Sistematika
BAB II POTRET MASYARAKAT TUBAN
A.
Sejarah
Singkat Kota Tuban
B.
Kondisi
Demografis dan Geografis Kota Tuban
C.
Kondisi
Sosial, Ekonomi, dan Budaya
D.
Kondisi
politik dan Pemerintahan
BAB III KEKURANGAN DARI STRUKTUR
A.
Bagian-Bagian
daerah yang tidak dapat di generalisasikan
B.
Bukti
otentik untuk gambaran Struktur yang jelas
BAB IV KOMPARASI MAKAM RANGGALAWE
A.
Makam
Ranggalawe dengan makam islam di Tuban
B.
Makam
Ranggalawe dengan Patih yang ada di Tuban
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR RUJUKAN
Adji, Bayu
Krisna. 2014. Babad Bumi Jawa. Yogyakarta: Araska
Adji, Bayu
Krisna. 2014. Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan Di Nusantara.
Yogyakarta: Araska
Ali, M. 2005. Pengantar
Ilmu Sejarah. Yogyakarta: LKis
Bayuadhy,
Gesta.2013. Ranggalawe Mendung di Langit Majapahit. Yogyakarta: DIVA
Press
Poesponegoro,
Marwati Djoened, 2010 (edisi pemutakhiran). Sejarah Nasional Indonesia Jilid
III. Jakarta: Balai pustaka
Poesponegoro,
Marwati Djoened, 2010 (edisi pemutakhiran). Sejarah Nasional Indonesia Jilid
II. Jakarta: Balai Pustaka
Sjamsudin, Helius.1996.Metodologi
Sejarah.Jakarta:Depdikbud
Thomson, P.
2012. Suara Dari Masa Silam: Teori dan Metode Sejarah Lisan. Yogyakarta:
Ombak
Vlekke, B H M,
2008. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG
Wirawangsa,
1979. Serat Ranggalawe. 1979. Jakarta: Depdikbud
Wirjomartono,
Skada, Sudradjat, Tjahyono, Widodo, Prijotomo, Prajudi, Siregar, Murtiyoso,
Saliya, 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Arsitektur. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada